Anisah Usman, Puisi, dan “Pappasangta” RRI Makassar
Sebagai penulis, pelaku seni, dan pekerja buku, kami di Makkareso menilai pantas memberikan apresiasi kepada Rahman Arge yang selama hidupnya sudah berkontribusi di bidang seni budaya bagi daerah Sulawesi Selatan. Makkareso itu, Makassar Creative Society, beralamat di Jalan Bau Mangga III, yang merupakan rumah kediaman Dr. Syahriar Tato, seorang aktor, seniman, akademisi, dan mantan birokrat.
Salah seorang peserta lomba itu adalah Kembara Daeng Sirua, yang biasa menjadi pembawa acara tamu di “Pappasangta”. Dg Sirua lalu melontarkan ajakannya agar teman-teman di Makkareso mau mengisi acara di malam Jumat tersebut.
Hampir berbarengan dengan itu, secara kebetulan, saya juga diminta memonitor acara ini oleh Anisah Usman. Singkat cerita, setelah menyimak acara ini setiap pekan, saya menemukan format yang kelak ditawarkan sebagai warna baru program acara “Pappasangta”.
Saya lalu menemui Ibu Arwinny Puspita, Kepala Bidang Program Siaran, dan Ibu Darmawati Tahir, Kepala Seksi Programa 4, untuk menyampaikan tawaran mengisi acara “Pappasangta” secara rutin. Kepada keduanya, secara terpisah, saya sampaikan niat untuk ikut memperkuat acara ini, dan memberikan gambaran apa yang akan dilakukan. Gayung bersambut, kami (Makkareso) dipersilakan mengisi acara ini secara rutin. Pengertian ‘rutin’ di sini, maksudnya cukup sekali sebulan, atau dua kali sebulan, sesuai kelonggaran waktu.
Maklum saja, waktu siaran acara di malam hari, yang sudah bisa dibayangkan bakal menjadi tantangannya. Saya juga menyampaikan bahwa tidak akan ngotot atau memaksakan diri mengisi acara ini setiap minggunya. Saya khawatir, teman-teman di Makkareso tidak selalu punya waktu luang, juga akan kesulitan mencari orang yang mau datang membaca puisi di malam hari. Malam hari, apalagi malam Jumat, merupakan tantangannya. Itulah mengapa, kami belakangan secara berseloroh menyebut saat-saat membaca puisi di “Pappasangta” sebagai malam Jumat keramat.
Perlu disampaikan, sebelum kami ikut nimbrung, acara ini hanya berupa pembacaan puisi oleh dua penyiar yang bertugas malam itu, atau oleh fans dan pendengar yang membacakan puisinya secara live via telepon. Kadang, penyiar hanya membacakan pesan-pesan, dalam bentuk kalimat puitis, kata-kata/pesan-pesan bijak berbahasa Makassar (pappasang), atau sekadar curhatan yang dikirim melalui fanpage RRI Pro4.
Acara ini semula bernama “Pancaran Sastra”. Karena ada kebijakan siaran-siaran RRI Pro4, yang menyasar segmen budaya, mesti berbahasa daerah maka namanya diubah menjadi “Pappasangta”. Sebagaimana namanya, acara ini dibuat dengan maksud untuk menggali kembali sastra lisan berupa kelong, pappasang, pa’doangan, syair aru, pakkio bunting, serta nilai dan kearifan budaya Sulsel lainnya.
Perubahan nama tidak mengubah maksud dari pembuatan acara ini sebelumnya. Malah sangat diharapkan agar kreativitas dari penulis dan penyair-penyair muda mau menyisipkan pesan-pesan bijak leluhur itu ke dalam karya sastranya.
Saya merasa terpanggil untuk ikut mengisi acara ini karena tiga alasan. Pertama, sebagai mantan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Daerah Sulawesi Selatan, ada semacam tanggung jawab moral untuk memberikan contoh bagaimana membuat program siaran yang edukatif dan menginspirasi. Kedua, sebagai Ketua Forum Komunikasi Pemerhati (FKP) RRI Makassar, saya mencoba berkontribusi memperkenalkan program-program RRI kepada masyarakat, yang mungkin bisa menjadi sarana bagi mereka mengomunikasikan program kegiatan dan gagasan-gagasannya. Dan ketiga, sebagai penyuka puisi, saya berusaha menjadi mediator bagi para penulis dan penyair mendapatkan ruang untuk mengekspresikan karya-karya mereka.
Dalam prosesnya kemudian, acara ini dibuat sedemikian rupa agar menarik sebagai sebuah pertunjukan udara (air show) yang menghibur. Maka kami bereksperimen meramu acara dengan mengutak-atik para pembaca dan tema puisi agar pas di telinga, juga agar lagu yang diputar menyertai puisi itu nyambung dengan tema puisinya.
Kami, misalnya, mengatur ‘skenario’ puisi apa yang pertama akan dibaca, siapa pembaca puisi pertama, juga pembaca berikutnya sebelum lagu diputar. Konsep ini tidaklah baku, tapi dinamis agar tak menimbulkan pola yang monoton.
Kolaborasi spontan antarpembaca puisi juga coba dilakukan. Misalnya, puisi dialog antara ibu dengan anaknya. Juga ketika duet AR Dg Rate, yang dikenal sebagai pasinrilik, dengan Maysir Yulanwar, dalam salah satu segmen pembacaan puisi. Supaya selalu ada yang baru, kami berupaya menyuguhkan beragam genre sastra.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi