Pendapat

Saya Menyematkan Sikap Kritis dan Kepedulian pada Nama Anak-Anak

PENDAPAT

Oleh: Rusdin Tompo (Penulis & Pegiat Sekolah Ramah Anak)


Membuka-buka album foto lawas, saya menemukan satu foto ketika tengah melakukan aksi demonstrasi sambil menggendong Gandhi, anak saya yang ketiga. San Valentino Mahatma Gandhi, nama lengkapnya. Ketika itu, ia baru sekira lebih 2 tahun. Dia lahir tanggal 1 Februari 2003, jadi Kamis ini, dia genap berusia 21 tahun.

Saya mencoba mengingat kembali momen tersebut, juga lokasi aksi dilakukan. Aksi teman-teman Lembaga Investigasi Studi Advokasi Media dan Anak (Lisan) -NGO yang saya dirikan- dan jejaringnya itu, di kawasan Pantai Losari, tak jauh dari Rujab Wali Kota Makassar. Aksi dilakukan berkaitan dengan peringatan Hari Anak Nasional (HAN), 23 Juli 2005, bagian dari kampanye hak dan perlindungan anak.

Saya memang kerap mengajak anak-anak ke lokasi kegiatan. Saat melakukan pendampingan lapangan maupun ketika menjadi narasumber atau fasilitator. Semua anak saya pernah punya pengalaman merasakan “dunia aktivis” meski dengan intensitas berbeda.

Saya percaya anak-anak punya curiosity yang membuatnya secara alamiah akan bermain dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar, termasuk orang-orang yang baru dikenalnya.

Anak saya yang pertama, Gilang Benazir Adinara, mulai merasakan kehangatan warga dalam kegiatan pendampingan, saat usianya belum genap 3 tahun. Saya mengajaknya naik pete-pete (angkot) trayek Makassar-Takalar, untuk melakukan pendampingan Dewan Anak, di Kabupaten Takalar. Anak-anak ini merupakan binaan Plan Indonesia. Mereka berasal dari Desa Patani, Takalar Lama, Paddinging, Sanrobone, dan Banyuanyara. Tak jarang dia harus ikut berjalan kaki melewati pematang sawah ke lokasi dampingan di masa itu.

Gilang lahir 5 Mei 1997. Sebelum namanya seperti yang tertera di akta kelahirannya, saya sempat diperhadapkan pada 3 pilihan nama: Sri Bintang Pamungkas, Gemilang Surya Laksana, dan Gilang Benazir Adinara. Saya mengagumi sikap kritis dan keberanian Sri Bintang Pamungkas. Itu alasan, mengapa sempat terpikir menyematkan namanya menjadi nama anak saya.

Ir. Sri Bintang Pamungkas, SE, M.Si, Ph.D, merupakan politisi vokal pada zamannya. Dia berani menantang rezim Soeharto, penguasa Orde Baru. Dalam buku “Saya Musuh Politik Soeharto” (1996), dia mengungkap sikap politiknya. Salah satunya yang heboh, ketika ada aksi demo di Jerman terhadap pemerintahan Soeharto. Dia bersama sejumlah aktivis pro demokrasi, salah satunya, Yeni Rosa Damayanti, yang dijuluki bunga demonstran.

Sri Bintang Pamungkas merupakan dosen teknik mesin Universitas Indonesia (UI), yang kemudian bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan langsung namanya populer.

Pada tahun 1996, Bintang mendirikan Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI). Bintang pernah jadi tahanan politik Orde Baru. Dia didakwa subversif, makar. Sebuah stempel yang keras di masa represif Orba. Dia dipenjara sejak Mei 1997, dan baru dibebaskan di masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, ketika rezim berganti.

WhatsApp Image 2024 02 02 at 06.19.42

Nama Sri Bintang Pamungkas dan Gemilang Surya Laksana, tak jadi pilihan, setelah melalui suatu proses, yang disarankan seorang teman kerja di Radio Bharata FM. Gemilang Surya Laksana juga jadi alternatif, karena anak saya itu lahir, kurang 5 menit, tepat pukul 12 siang. Sementara nama Gilang Benazir Adinara, secara bebas dapat diartikan sebagai manusia hebat tiada dua.

Teman saya itu, Abd Razak, akrab disapa Yaya, tinggal di Jln Amirullah, Makassar, menyarankan agar saya menulis masing-masing nama itu pada secarik kertas. Nama-nama itu nanti diletakkan pada dahi bayi, sembari dibacakan doa. Sayang, saya sudah lupa bunyi doanya.

Bila nama yang ditaruh di dahi sanggup “dibawa”, maka bayi akan memberi respons senyum. Sebaliknya, kalau dia tidak sanggup membawa nama itu, reaksinya bagai bayi yang akan nangis. Percobaan itu perlu dilakukan beberapa kali, agar lebih yakin.

Singkat cerita, nama Gilang Benazir Adinara, yang akhirnya kami (saya dan istri) pilih. Namun, spirit dan suasana kebatinan pemberian namanya, tak jauh dari suasana politik bangsa kita, kala itu.

Malam sebelum dia lahir, atau pada 4 Mei, saya sebagai reporter radio meliput peringatan AIDS Candlelight Memorial, yang dihelat KRA-AIDS di Fort Rotterdam. Ini merupakan peringatan malam renungan AIDS pertama di Makassar. Kelompok Relawan Antisipasi (KRA) AIDS ini dipimpin Zulkifly Amin.

*

Anak saya yang kedua, Galang Nuraga Attar Nusantara, lahir 20 Februari 2000, pada awal milenium ketiga. Nama yang berarti, menggalang empati demi keharuman Nusantara ini, juga punya latar peristiwa yang dekat dengan aktivitas saya. Saat dia lahir, saya sudah di Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulawesi Selatan.


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

1 2Next page

Berita Serupa

Back to top button