Pendapat

Republik Maluku Selatan, Ibarat Memegang Angin* (2)

PENDAPAT

Oleh: Sam Pormes (Generasi Maluku kedua di Belanda. Saat ini menjadi anggota parlemen dari Partai Hijau di Provinsi Drenthe. Pernah menjadi anggota Parlemen Belanda dari partai yang sama)


Tidak hanya pada tahun 70an dan 80an, saat munculnya Gerakan Progresif Maluku, tetapi juga sekarang, pandangan sejarah Hollandosentris ini ternyata masih hidup.

Pengibaran bendera bergambar Pattimura dan Che Guevara di berbagai demonstrasi antirasisme, atau RMS sebagai perjuangan anti-kolonialisme, adalah contoh yang kontradiktif.

Deskripsi perasaan terjajah yang paling cocok adalah seperti yang diungkapkan pendiri RMS, Ir. YA. Manusama, sehari sebelum proklamasi 25 April 1950.

Bagi para pendukungnya pidato Manusama itu merupakan orasi hebat. “Maluku tidak pernah ditindas, bahkan oleh kolonialisme Belanda sekalipun.” Sarekat Ambon dan Partai Indonesia Merdeka lah yang menyebarkan dan memanen nasionalisme Indonesia di Kepulauan Maluku.

Para pemimpin seperti A.J. Patty, Dr. G.J. Siwabessy, Abdul Kadir Tuakia, Hamid Kodja, Ir. Putuhena, Dr. J. Leimena, Dr. Tamaela, Dr. L. Samallo, Abu Sangadji, Hamid bin Hamid, Achmad Sukur, Dr. Tom Padttiradjawane, Amin Ely, Dr. J. Sitanala, W. Reawaru, L. Pelupessy, E.U. Pupella, Mohamed Padang, Abraham Koedoebun, Daan Teurupun dan banyak nasionalis lainnya, telah berkontribusi pada keseimbangan historiografi yang lebih baik. Di Maluku mereka dihargai dan dihormati, di Belanda tidak dikenal.

Legitimasi demokrasi RMS ternyata tidak seluas seperti yang diklaim. Ternyata gerakan anti kolonialisme pada tahun 1945-1950 dan sebelumnya, banyak pengikutnya di Maluku.

Pihak Islam juga banyak yang mendukung Republik Indonesia. Dan penduduk Kepulauan Selatan sebelum proklamasi, telah mengumumkan bahwa mereka ingin meninggalkan Maluku Selatan.

Yang juga ternyata kurang terekspos adalah pilihan sebagian besar prajurit KNIL Maluku mengabaikan saran Aponno agar tidak berangkat ke Belanda, dan menjadi tentara Indonesia atau bergabung ke masyarakat sipil.

Perjanjian RTC menetapkan bahwa wilayah yang bukan negara bagian secara teoritis dapat memperoleh status itu melalui referendum, yang diawasi oleh Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia (UNCI). Indonesia pun harus menyetujui hal ini. Ketiga syarat tersebut tidak terpenuhi.

Satu-satunya yang terjadi  adalah, sehari sebelum proklamasi, di Kota Ambon sudah dibagikan pamflet untuk rapat massal. Di luar Kota Ambon, belum ada yang mengetahui niat ini. Apalagi di pulau-pulau dan kabupaten yang jauh dari Ambon. Masih ada argumen tersisa yaitu: proklamasi berada di bawah tekanan waktu.

Pembubaran negara bagian Indonesia Timur baru terjadi pada 17 Agustus 1951. Maka masih ada waktu untuk meminta advis pada Dewan Maluku Selatan dan untuk menyelenggarakan plebisit.

Alasan untuk tidak memilih ini adalah karena mayoritas Dewan Maluku Selatan mendukung untuk bergabung dengan Republik Indonesia. Dan kala itu diketahui bahwa mayoritas muslim dan penduduk kepulauan Selatan  – dengan alasan yang berbeda- tidak mendukung RMS, yang didominasi oleh kelompok elit Kristen yang berasal dari Maluku Tengah.

Tidaklah aneh kalau tiga wakil dari Dewan Maluku Selatan, Pupella (penduduk RI), Hamid bin Hamid (muslim) dan Koedoeboe (kepulauan Selatan, saat itu tidak berada di Ambon). Mereka adalah anggota Parlemen Indonesia Timur dan pada saat proklamasi RMS, berada di Makassar.

Ada kesalahpahaman besar tentang dasar hukum keberadaan RMS di Belanda. Intinya adalah vonis dari de Nederlandse Vereniging voor Internationaal Recht, Asosiasi Hukum Internasional Belanda.

Dalam putusannya mereka menyatakan bahwa keberadaan RMS di Belanda sah. Bahwa oleh karena itu, Dewan Maluku Selatan, sebagai wakil dari penduduk Ambon dan wilayah Maluku Selatan, memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri yang menjadi hak penduduk itu sesuai hukum internasional, dengan memproklamasikan sebuah negara merdeka yaitu Republik Maluku Selatan, pada tanggal 24 April 1950.[2]

Asosiasi Hukum Internasional Belanda menyatakan Dewan Maluku Selatan berwewenang untuk itu dan oleh karena itu RMS adalah sah. Tapi ini adalah kebohongan.

Baik pendukung maupun penentang RMS menyatakan secara implisit dan eksplisit, Dewan Maluku Selatan tidak pernah diminta advis dan juga tidak pernah memutuskan untuk merdeka.

Keputusan Asosiasi Hukum Internasional Belanda pada 24 Juni 1950 secara sadar atau tidak sadar, dipengaruhi oleh rasa frustrasi karena kehilangan jajahan. Keputusan Asosiasi Hukum Internasional Belanda juga harus dinilai dengan latar belakang politik tahun 1950.

Ini dapat terlihat dari hal berikut ini. Lebih baik memberikan amnesti kepada penjahat perang Perang Dunia Kedua daripada mengurangi hukuman orang-orang, yang dulu atas alasan hati nurani menentang dinas militer ke Indonesia.

Sebagai contoh adalah pernyataan Anggota Parlemen Benno Stokvis pada tahun 1951: “Apakah wajar kalau kepada para pencuri, pemeras, penipu, dan juga penjahat politik dan penjahat perang diberikan kebebasan bersyarat, sementara orang-orang yang menolak dinas militer ke Indonesia tidak termasuk.[3]

Inilah latar belakang kenapa Asosiasi Hukum Internasional Belanda menyatakan rasa frustrasinya atas kehilangan Hindia Belanda. Dengan begitu mereka menipu seluruh rakyat  dan peradilan Belanda. Itu adalah pelanggaran berat terhadap integritas hukum mereka; dengan demikian dia merusak reputasinya.

Oleh karena itu, De Brabandere [4] salah dalam menggunakan putusan Asosiasi Hukum Internasional Belanda sebagai dasar landasan terpenting bagi pendapatnya.

Dari emailnya berikut ini ternyata dia tidak mempelajari putusan tersebut: “Catatan saya saat itu semata-mata tentang hak hidup sebuah negara menurut hukum internasional; pendapat itu tidak dimaksudkan untuk membuat pernyataan apakah RMS merupakan sebuah negara menurut hukum internasional.”

Tanpa persetujuan Dewan Maluku Selatan, keputusan Asosiasi Hukum Internasional cabang Belanda jelas tidak sah.  Bahwa pengadilan dan tribunal selanjutnya mendasarkan keputusan mereka pada putusan ini tidak dapat dikualifikasikan dengan cara lain selain sebagai Hollandosentrisme yang mendarah daging.

Bahwa mereka juga lalai untuk menguji pernyataan Asosiasi Hukum Internasional Belanda berdasarkan perjanjian, yang juga dirujuk oleh Higgins, itu adalah kesalahan.

Kesalahan dan penyesatan ini telah menyebabkan komunitas KNIL Maluku sejak 1950 ‘memperjuangkan sesuatu yang mustahil’.

Pertanyaan lain apakah benar tentara KNIL Maluku datang ke Belanda atas perintah dinas. Steijlen dan yang lainnya dengan tegas membuktikan hal ini. Tidak ada kesalahpahaman tentang itu.

Tapi ini bukan satu-satunya pertanyaan yang relevan untuk diajukan. Karena, ada pemikiran yang dikaitkan dengan istilah perintah dinas ini yakni seolah mereka terpaksa bertolak ke Belanda.  Seolah tidak ada pilihan lain.

Baca Juga: Memoar Covid-19

Yang jelas, tidak semua prajurit KNIL Maluku memilih perintah dinas ini. Meski jumlah persisnya tidak jelas, tetapi yang pasti ada beberapa ribu orang di Jawa yang memilih untuk berhenti menjadi tentara. Juga ternyata bahwa pada akhir tahun 1950 ada kemungkinan untuk memilih kembali ke Maluku.[5]

Mayoritas tentara KNIL di berbagai tangsi tidak mengetahui atau tidak diberi informasi tentang itu. Hanya 115 prajurit dan keluarga mereka yang ikut.

Dalam proses peradilan Aponno, hakim menetapkan bahwa nyawa tentara KNIL terancam, kalau mereka tetap tinggal di Indonesia. Tapi asumsi ini tidak diselidiki dan tidak dibubuhi argumen. Ribuan tentara yang tetap di Indonesia ternyata tidak terancam nyawanya dan tanpa kesulitan bergabung dengan masyarakat.

Bahwa orang-orang dan organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan partai-partai konservatif seperti ‘Door de Eeuwen Trouw (Setia Sepanjang Masa)’ memiliki kepentingan dalam hal ini juga dapat dianggap sebagai fakta.

Peran mereka harus diselidiki lebih lanjut setelah kedatangan orang Maluku di Belanda. Yang juga harus diselidik adalah komunikasi dengan tentara KNIL di tangsi-tangsi. Apakah semua tahu bahwa mereka bisa kembali ke kawasan-kawasan “yang tidak diduduki?”

Sangat menarik untuk berspekulasi bagaimana alur sejarah andaikan Asosiasi Hukum Internasional Belanda dulu serius melakukan pekerjaan mereka dan menetapkan bahwa RMS tidak sah.(*)

[2] Resolusi disahkan oleh Asosiasi Hukum Internasional Cabang Belanda pada tanggal 24 Juni 1950, ditandatangani oleh ketua Prof. dr. J.A. van Hamel dan Dr. K. Jansma, sekretaris. Lihat juga secara berkala pemberitahuan Asosiasi Hukum Internasional Cabang Belanda No. 29 September 1951.

[3] Bals Kees dan Gerritsen Martin Indonesia menolak 1989. P 109

[4] Dr Eric Brabandere adalah seorang pengacara internasional yang telah dikonsultasikan oleh Wattilete (RMS).

[5] Itu bagian Maluku yang bisa dibilang ‘kosong’. Di pulau-pulau selatan dan wilayah Muslim (Seram Timur dan Banda) tidak ada pertempuran sama sekali.


*Tulisan ini merupakan bagian Epilog dari buku yang ditulis Sam Pormes berjudul Naar Een Schaduw Grijpen, yang akan segera diterbitkan di Belanda. Ini merupakan buku pertama yang ditulis secara kritis oleh orang Maluku di Belanda tentang sejarah RMS.


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button