Pengalaman Saya dengan Ayah Seorang Mantan Tentara KNIL
70 TAHUN ORANG MALUKU DI BELANDA
Oleh: Ulis Patty
Adalah generasi kedua keturunan Maluku di Belanda. Saat ini bekerja sebagai pekerja sosial, tinggal di Amersfoort, Belanda.
Ayah saya, lahir dan besar di Desa Nolloth, Pulau Saparua di Maluku. Persisnya pada tanggal 2 Agustus 1921. Ayah saya adalah anak tertua dari tujuh bersaudara. Keluarga saya di desa menuturkan bahwa ketika masih muda, dia biasa membantu ayahnya mengolah tanah, memetik cengkeh, dan memanen buahnya. Selain itu, dia pergi melaut untuk menjaring Ikan di malam hari, dan kembali di pagi hari, untuk membawa semua buah dan ikan ke pasar besar untuk dijual. Bersama adiknya mereka harus berjalan kaki sekitar 10 km dari desa kami untuk berjualan di Kota Saparua.
Tak lama setelah Perang Dunia Kedua dan Belanda kembali mengambil alih Indonesia, serta mulai merekrut tentara, pada usia 24 tahun ayah saya menandatangani kontrak dengan Koningklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL). Dia meninggalkan kampung, menikahi ibu saya, Gretje Tousalwa yang juga dari Desa Nolloth. Mereka “kawin lari” dan bersama berangkat ke Pulau Jawa.
Ketika Belanda harus merelakan Hindia lepas, orang tua saya tidak bisa kembali ke Maluku. Mereka para prajurit KNIL dan keluarganya diperintahkan oleh pemerintah Belanda, untuk sementara waktu dibawa ke Belanda.
Pada tanggal 22 Februari 1951, orang tua saya dan dua anak tertua serta keluarga lainnya, meninggalkan Indonesia menuju Belanda dengan kapal Atlantis. Tanggal 23 Maret 1951, mereka dan keluarga lainnya tiba di Pelabuhan Rotterdam Belanda, dan ditempatkan sementara di daerah Westerbork melalui Amersfoort. Kemudian dipindahkan pada tahun 1958 ke kamp barak, Woonoord Vaassen, tempat ayam, ibu dan kami sembilan (9) anak (5 anak perempuan dan 4 laki-laki tinggal).
Peti tentara dan koper lainnya ditumpuk di kamar tidur orang tua saya. Ditutupi kain batik kepunyaan ibu, dan di atasnya ada “piring nazar” serta uang untuk kolekta saat hari Minggu di gereja. Itu juga jadi tempat kami berdoa. Sedangkan pakian hitam orang tua saya tergantung di dinding.
Sebagai anak kecil, saya selalu ingin tahu tentang apa yang ada di peti tentara hijau, maupun koper itu. Suatu pagi ketika semua orang pergi. Saya menyelinap ke kamar orang tua. Dan saya memberanikan diri membuka peti KNIL tentara kayu berwarna hijau itu. Ternyata saat terbuka, di dalamnya pada bagian paling bawah, saya melihat jaring ikan tergeletak di samping seragam tentara. Ada juga pakaian musim panas ibu saya. Dan baunya seperti aroma rempah-rempah.
Karena tidak hati-hati dan memperhatikan dengan baik, hampir semua barang yang ada di atas koper hampir terjatuh. Saya membiarkan tutupnya menutup lagi karena terkejut. Lalu dengan cepat keluar dari kamar tidur. Saat itu saya tidak pernah mengerti, mengapa dia membawa jaring ikan dari Indonesia. Saya juga tidak pernah berani bertanya mengapa dia menyimpan jaring ikan begitu lama.
Ayah saya kemudian bekerja secara bergiliran pada sebuah pabrik, yang memproduksi produk aluminium untuk konstruksi pesawat terbang. Salah satu rekannya dari Belanda, terkadang mengundang kami untuk mengunjungi mereka pada hari Minggu dan sebaliknya.
Dia juga seorang sukarelawan, dilatih bersama orang lain sebagai perawat yang bekerja di rumah sakit kamp setempat. Kami memiliki tanda pertolongan pertama di pintu depan rumah. Dan orang-orang secara teratur datang dari kamp dengan luka terbuka dan memar yang harus dirawat serta dibalutnya.
Begitu juga, saat mereka demam, ayah akan memberika obat “Chefarine 4”. Terkadang dia juga mengirim orang ke rumah sakit, setelah berkonsultasi dengan dokter Tan (dokter di kamp saat itu).
Sebagai anak kecil berusia 7 tahun, saya kadang-kadang diizinkan pergi bersamanya ke rumah sakit, untuk mendapatkan obat. Kadang-kadang dia masih mengunjungi orang-orang yang sakit pada malam hari. Sesampainya di rumah, dia membersikan jarum suntik dan meletakan kembali pada tempatnya. Ibu saya meninggal pada awal tahun 1970-an. Lalu sebelum kamp dibongkar, kami pindah ke sebuah rumah batu di pinggiran kamp. Tahun demi tahun kehidupan kami jalani di situ. Dan selama itu pula, ayah tetap terkenang akan kampungnya.
Ayah saya sudah tidak bertemu keluarganya di Pulau Saparua sejak tahun 1946. Kedua orang tuanya sudah meninggal. Saat ibu masih hidup, ayah mengirimkan bingkisan dari Belanda untuk keluarga di desa. Setelah ibu meninggal, ayah beberapa kali kembali ke desanya di Maluku, pada akhir tahun 1970-an.
Saat dia kembali ke Belanda lagi. Dia berdiskusi dengan saya, apakah dia bisa kembali ke desa asalnya di Pulau Saparua untuk tinggal selamanya di sana? Saya sampaikan pada, “bapak memiliki segalanya di sini. Anak dan cucu bapak”. Sementara di desanya ayah sudah tidak punya apa-apa.
Mendengar pernyataan saya itu, ayah bangkit dari duduknya. Dia berjalan ke jendela dan menyapu pandangannya keluar. Saya pikir dia sedang melihat mobilnya yang diparkirkan di depan pintu, yang dengannya dia sangat berhemat. Dia berdiri mematung di situ, dan menatap agak lama keluar.
Ayah meninggal pada tahun 1985 setelah sakit sebentar. Kisah jaring ikan dalam peti kayu tentara KNIL berwarna hijau itu, benar-benar luput dari perhatian saya.
Bertahun-tahun kemudian saya menemukan peti tantara KNIL, yang sudah cukup lama berada di rumah adik laki-laki. Di dalamnya masih ditutupi dengan koran bekas, dari 70 tahun yang lalu. Atau persisnya pada tanggal 22 Februari 1951, ketika mereka meninggalkan Indonesia dengan kapal Atlantis ke Belanda. Jaring ikan dan perlengkapan ibu saya sudah tidak ada lagi. Sekarang ada mainan milik cicitnya di dalam peti, yang sekarang tergeletak di ruang tamu rumah adik saya.
Ketika pertama kali pergi ke desa kami di Pulau Saparua tahun 1997, mata saya terpaku pada jaring yang sama, yang tergantung di dinding luar rumah keluarga tempat saya tinggal. Ternyata ketika ayah datang ke desa asal ini, dia membawa jarring tersebut. Dan di malam hari, dia mengambi jaring lalu pergi menjaring ikan di laut bersama berberapa penduduk desa. Saat itu saya baru mengerti, bahwa dia benar-benar membeli jaring ikan saat di Pulau Jawa, karena berpikir akan kembali lagi setelah 6 bulan tinggal di Belanda.
Ayah saya selalu menghargai keinginannya. Dia tidak pernah berpikir pahit, tentang apa yang telah dilakukan padanya sebagai mantan tentara KNIL. Karena keimanannya, dia mampu memberikan tempat untuk semua ini.
Setelah konflik kemanusiaan pecah di Ambon (Maluku), pada tahun 1999, saya beberapa kali kembali ke Maluku. Ketika pergi ke gereja di desa kami pada hari Minggu pagi, saya melihat keluar melalui jendela yang terbuka, ke arah langit biru yang indah. Cuaca yang sangat indah. Di belakang saya mendengar suara air laut yang menghantam pantai berulang kali. Saya rasakan angin laut yang sejuk dan aroma rempah-rempah yang bertiup ke dalam gedung gereja “Bait Allah”.
“Dan saya melihat ayah saya Arnoldus Patty (patmayasang) berdiri lagi di depan jendela dan sekarang menatap lurus ke depan dengan jaring ikan di tangannya”.
Cerita ini saya persembahkan kepada orang-orang tua mantan KNIL dalam rangka memperingati kedatangan mereka 70 Tahun lalu ke Belanda. Maret 1951 – Maret 2021.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi