Pendapat

Republik Maluku Selatan, Ibarat Memegang Angin* (1)

PENDAPAT

Oleh: Sam Pormes (Generasi Maluku kedua di Belanda. Saat ini menjadi anggota parlemen dari Partai Hijau di Provinsi Drenthe. Pernah menjadi anggota Parlemen Belanda dari partai yang sama)


“The black man wants to be like the white man. For the black man there is only one destiny. And it is white. Long ago the black man admitted the unarguable superiority of the white man, and all his efforts are aimed at achieving a white existence.” – Frantz Fanon

KELAHIRAN gerakan nasional merupakan salah satu titik balik, dalam sejarah Indonesia dan Belanda pada abad ke-20. Waktu itu muncul pula perbedaan pendapat di kalangan orang Maluku.

Ada kelompok, terutama para imigran di Jawa yang mengidentifikasi diri dengan kolonialisme Belanda. Mereka setia kepada keluarga Kerajaan Belanda. Pendukung mereka sebagian besar terdiri dari orang-orang Kristen Ambon dan Kepulauan Lease, yang memegang posisi istimewa dan merupakan bagian dari tentara Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (KNIL) asal Maluku.

Hasil yang paling mencolok dan nyata dari kecintaan terhadap Belanda ini, adalah proklamasi Republik Maluku Selatan (RMS). Sebenarnya RMS tidak memiliki sejarah panjang, tetapi gagasan itu sudah terbentuk, ketika didirikannya partai-partai seperti Moluks Politiek Verbond (Persatuan Politik Maluku), Persatuan Timor Besar dan Twaalfde Provincie (TWAPRO).

Yang menyatukan mereka adalah kepercayaan pada mitos ‘Kesetiaan Sepanjang Zaman’, (Door de eeuwen Trouw) ketakutan akan dominasi Islam. Makanya mereka berjuang untuk secara politik tetap menjadi bagian dari Kerajaan Belanda.

Keyakinan ini diperkuat oleh dukungan parpol paling konservatif sayap kanan di de Staten-Generaal (Dewan Perwakilan Rakyat) dan sekutu mereka di berbagai ormas.

Perhatian mereka terhadap kepentingan daerah-daerah Kristen di Hindia Belanda terus berlanjut, dan hak menentukan nasib sendiri bagi Maluku Selatan dan kawasan-kawasan lain tetap dipertahankan.

Dukungan politik yang luas di antara kelompok-kelompok ini tercermin dalam keyakinan mereka akan superioritas ras dan budaya mereka.

Kemunculan Republik Maluku Selatan

Ketika terbukti perjuangan mempertahankan federasi adalah utopia belaka, dan parlemen negara bagian Indonesia Timur memutuskan pembubaran dan bersedia untuk bergabung dengan Republik Indonesia, maka muncullah Republik Maluku Selatan (RMS).

Di samping itu ada keyakinan kuat akan adanya dukungan Belanda. Asumsi ini tidak hanya telah lama tertuang ke dalam sejarah ‘Maluku-Belanda’, tetapi juga telah direproduksi secara ideologis di kalangan diaspora Maluku di Belanda generasi kedua, ketiga dan keempat.

Setelah beberapa lama, dan setelah munculnya generasi baru (kedua), barulah ada ruang untuk refleksi kritis terhadap peran ‘orang tua’ mereka dalam sistem kolonial. Generasi ini dipengaruhi oleh gerakan antirasisme, antikolonialisme dan dunia ketiga. Dengan demikian mereka bersikap kritis terhadap RMS dan mengkualifikasikannya sebagai cita-cita yang dibangun secara kolonial.

Dengan demikian mereka menyadari, tidak ada kepulauan di Indonesia yang dijajah oleh Belanda sekejam dan seefektif Maluku. Maka mereka menemukan sejarah yang berbeda dari apa yang disajikan kepada mereka di Belanda.

Bukan Soumokil, tapi Alexander Jacob Patty dan Urbanus Pupella lah yang merupakan personifikasi perjuangan melawan penjajahan, eksploitasi dan penindasan. Dengan begitu RMS dan pemikirannya disamakan dengan konservatisme Kristen dan cinta Oranje.

Republik Maluku Selatan
Alexander Jacob Patty.(Foto: Net)

Tentara KNIL Maluku di Belanda yakin bahwa mereka lebih baik daripada orang Indonesia lainnya. Mereka selalu beranggapan, status mereka “sama dengan orang Belanda”. Meski demikian, dalam hal ini mereka tidak boleh juga dipersalahkan.

Peneliti Tunisia Albert Memmi (1983) berpendapat bahwa perilaku kolonial semacam ini, termasuk sifat orang-orang yang telah menginternalisasi penindasan mereka sendiri. “Ini harus dilihat sebagai upaya untuk melarikan diri dari penderitaan hidup mereka.”

Berdasarkan pengamatan dan penelitiannya, Memmi menarik kesimpulan bahwa orang-orang terjajah, percaya bahwa mereka dapat melarikan diri dari keadaan politik dan sosial mereka, menyesuaikan diri dengan sikap penjajah terhadap diri mereka.[1]

Dengan memilih untuk mengabdikan diri pada penjajah dan hanya membela kepentingannya, mereka akhirnya mengadopsi ideologinya, bahkan terhadap penjajah yang sama dan terhadap diri mereka sendiri.

Mereka pada akhirnya seolah-olah termistifikasi, diuntungkan, dan pada saat yang sama disalahgunakan sedemikian rupa. Sehingga sistem yang tidak adil itu diterima (untuk dipertahankan dan disetujui).

Sebagai orang terjajah jiwa mereka lebih tertekan, dibanding dengan para korban dari penjajahan materiil. ”Sejarah perkembangan komunitas KNIL Maluku di Belanda bercirikan pendekatan Hollandosentris.”

Proses menghilangkan perasaan terjajah bukan hanya proses politik rasional, tetapi terutama merupakan gerakan emosional. Ini termasuk menjauhkan diri dari segala sesuatu yang ‘dicintai’ oleh generasi pertama (orang tua kita). Sebagian besar generasi kedua tidak memiliki keberanian untuk melihat secara kritis peran dan kinerja KNIL, yang bagaimanapun juga dinilai dubius dan tercela.(bersambung)

[1] Albert Memmi lahir di Tunisia. Pada tahun 1970 ia diangkat sebagai profesor di Paris. Karyanya terdiri dari kumpulan cerita pendek dan antologi tentang rasisme, kolonisasi, dan dekolonisasi. Karya Albert Memmi telah diterbitkan di sekitar dua puluh negara dan telah memenangkan beberapa penghargaan.


*Tulisan ini merupakan bagian Epilog dari buku yang ditulis Sam Pormes berjudul Naar Een Schaduw Grijpen, yang akan segera diterbitkan di Belanda. Ini merupakan buku pertama yang ditulis secara kritis oleh orang Maluku di Belanda tentang sejarah RMS.


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button