![Historical Flashback: Relasi Pela Beinusa Amalatu dan Hatuhaha 1 FB IMG 1630164547801](https://potretmaluku.id/wp-content/uploads/2021/08/FB_IMG_1630164547801.jpg)
Oleh: M. Jen Latuconsina (Akademisi Universitas Pattimura Ambon)
“Ela jalan bae-bae”, kalimat ini disampaikan seorang ibu kepada saya, saat usai mengisi bensin di depan pondoknya di kawasan Karang Panjang, Ambon Jumat kemarin (27/8/2021). Ibu itu adalah pela saya dari Negeri Tuhaha (Beinusa Amalatu) di Pulau Saparua sana. Lantaran indikator bensin pada motor saya sudah berkedip-kedip saat menuruni Karang Panjang tak jauh dari Caffe Panorama. Mata saya pun memandang sekitar kawasan itu, karena security di kantor mengatakan ada yang jual bensin pada satu dua pondok di situ.
Tepat pada sisi kanan jalan saya pun menepi, dan dalam dialeg Malayu Ambon saya teriak, “bali bensin dolo mama.” Ia pun keluar dan menanyakan “yang biasa ka pertalite?” saya menjawab “mama pertalite jua.”
Dari logatnya saya identifikasi ia berasal dari Negeri Ulath (Beilohy Amalatu). Sambil ia mengisi bensin saya menanyakannya, “mama orang Ulath ka ?”, ia menjawab “seng beta orang Tuhaha”. Saya lantas merespons “mama ini katong pung pela”, ia kemudian bertanya “dari Rohomoni ka?”, “bukan beta dari Ory (Pelau Kacil) mama,” jawab saya.
Lantaran buru-buru dengan posisi jalan menurun, untuk mengarahkan motor saya ke arah kiri jalan, dengan mata melirik sisi kiri dan kanan jalan, mengantisipasi datangnya mobil yang naik atau turun kawasan Karang Panjang, saya lupa menyapa ibu yang adalah pela saya tersebut. Ketika sudah nyaris di sebelah kiri jalan ibu itu pun merespons dengan berteriak “ela jalan bae-bae”, saya pun membalas sapaannya “ia mama pela.”
Relasi pela Hatuhaha (Pelauw, Rohomoni, Kabau, Hulaliu dan Kailolo), dan Tuhaha saya mendengarnya dari para orang tua kami. Beberapa tahun lalu saya pernah membaca sebuah majalah menyebutkan, bangsa Portugis menamakan keduanya sama yakni, Hatuhaha Grande (besar), Amarima Hatuhaha di Pulau Haruku, dan Hatuhaha Pequena (kecil), Tuhaha di Pulau Saparua.
Dalam sejarah Perang Alaka I (1570-1573) dan Perang Alaka II (1625-1637), kontribusi para kapitan dan melesi dari Tuhaha, datang membantu Hatuhaha saat melawan Portugis dan Belanda.
Sebagai bukti ikatan historical itu, dapat ditemukan makam para kapitan dan malesi Tuhaha di Alaka, yang berada di wilayah Hatuhaha, Pulau Haruku. Mereka gugur saat melawan Portugis dan Belanda pada Perang Alaka I dan Perang Alaka II. Para kapitang dari Tuhaha yang datang membantu Hatuhaha saat perang tersebut yakni, Kapitan Patipelohi, dan Kapitan Aipasa. Secara akademik ulasan bantuan Tuhaha kepada suadaranya Hatuhaha dapat kita baca pada karya Maryam RL Lestaluhu berjudul : “Sejarah Perlawanan Masyarakat Islam Terhadap Imprealisme di Daerah Maluku”, terbitan PT AL Ma’arif tahun 1989.
Tentu sebuah history flashback yang perlu direkonstruksi kembali, agar para generasi Hatuhaha dan Tuhaha tidak tergerus oleh “amnesia sejarah”, bahwa ternyata kedua komunitas ini memiliki ikatan persaudaraan yang sejati dalam relasi pela. Tuhaha di Pulau Saparua turut memberikan kontribusi yang besar bagi eksistensi Hatuhaha di Pulau Haruku di zaman dahulu kala, tatkala berkecamuknya Perang Alaka I dan Perang Alaka II, sehingga tetap berdiri kokoh hingga saat ini.
Stressing substantif saya adalah semangat referesif dan akademik, bukan debating yang tanpa dasar tentang kesejarahan, yang akan menghempaskan kita untuk semakin jauh dari nilai-nilai persahabatan dan persudaraan. Akhirulkalam meminjam ungkapan Edmund Burke (1729-1797), seorang filsuf berkebangsaan Inggris bahwa, “sejarah adalah suatu perjanjian di antara orang yang sudah meninggal, mereka yang masih hidup, dan mereka yang belum dilahirkan.”
![Historical Flashback: Relasi Pela Beinusa Amalatu dan Hatuhaha 2 IMG 20210826 175601](https://potretmaluku.id/wp-content/uploads/2021/08/IMG_20210826_175601.jpg)
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi