Oleh: Joberth Tupan (Mahasiswa Doktor Studi Pembangunan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga)
Rabu (2/3/2022), buku berjudul, “Memoar Covid-19: Catatan Autoetnografi Lintas Benua” telah di-launching. Buku yang dirilis oleh Penerbit Lawwana ini merupakan kompilasi catatan Pendeta Izak Y. M. Lattu selaku penyintas Covid-19 pada tahun 2020.
Buku ini menyajikan perjumpaan sosial lintas agama yang mengambil latar perjalanan penulis ke Amerika Serikat sampai kembali ke Indonesia, kemudian harus dirawat di Rumah Sakit karena terkena Covid-19.
Sebelum buku Memoar Covid-19 di-launching, saya telah membaca draft-nya tahun lalu. Saat itu, saya, penulis, dan beberapa teman sedang melakukan perjalanan ke Pulau Seram, Maluku, menggunakan kapal feri.
Di atas kapal feri, saya membaca lembar per lembar draft buku tersebut, dan menyadari bahwa catatan autoetnografi penulis mampu mengungkap ranah solidaritas di tengah pandemi Covid-19. Bahkan, bilik di Rumah Sakit diistilahkan sebagai ante-sacred-sphere — ante-sacred-sphere diceritakan dalam salah satu chapter buku yang dipublikasi di luar Indonesia.
Acara launching buku Memoar Covid-19 dihadiri oleh 130-an audiens secara daring, termasuk delapan narasumber. Acara tersebut dimoderatori oleh Pendeta Irene Ludji, dan dibuka dengan sambutan singkat Mas Cahyo selaku editor buku.
Setelah itu, para narasumber diberikan kesempatan untuk menceritakan pengalaman bersama penulis saat harus berjuang melawan ganasnya Covid-19, tetapi juga merespon isi buku Memoar Covid-19.
Setelah mengikuti acara launching buku Memoar Covid-19, saya berinisiatif untuk menulis enam catatan reflektif yang berkaitan dengan respon beberapa narasumber maupun penulis.
Pertama, saya merasakan empati mendalam ketika istri penulis, yang biasa saya sapa Usi Teti, mulai bercerita. Usi Teti bercerita tentang bagaimana ia harus menjaga keseimbangan antara ruang profesional sebagai dokter dan ruang personal sebagai seorang istri.
Kendati dilanda kekuatiran karena penulis harus disedasi — Usi Teti mengetahui itulah kondisi terparah sebagai seorang dokter — namun sebagai istri, point-point positif juga tetap disalurkan atas perasaan cinta terhadap penulis.
Kedua, peran para kerabat dalam melawan disinformasi dan hoax yang berkembang saat itu tentang kematian penulis. Pak Toar Sumakul menceritakan bagaimana usahanya melawan kabar-kabar tersebut bermodalkan voice note dari penulis untuk mengonfirmasi bahwa penulis masih hidup, kendati sedang tidak baik-baik saja.
Saya ingat betul, saat itu kabar kematian penulis juga terdengar sampai ke Maluku. Namun tidak hanya Pak Toar yang melawan kabar-kabar itu, ada juga Pak Wilson Therik di Salatiga dan beberapa pendeta di GPM.
Ketiga, Covid-19 dipelintir oleh sebagian kalangan untuk menunjukan kebencian terhadap pemeluk agama lain. Sebagaimana yang diceritakan Pak Khoirul Anwar tentang kabar penulis, yang adalah seorang pendeta dan pengajar pada universitas Kristen, saat terserang Covid-19 dimaklumi sebagai azab oleh kalangan Muslim radikalis. Sebaliknya, kalangan Muslim pluralis justru berempati dan mendoakan keselamatan penulis.
Keempat, Covid-19 mendorong terciptanya panggung bersama bagi agama-agama untuk memperformansikan solidaritas. Hal tersebut disampaikan oleh Pendeta Jacky Manuputty tentang bagaimana agama-agama belajar memposisikan diri sebagai sumber makna, pusat informasi dan edukasi, serta penggerak solidaritas pada era Covid-19. Pendeta Jacky kemudian mendorong gereja untuk membantu penulis saat itu.
Kelima, penulis berkesempatan menjawab tiga pertanyaan dengan menjelaskan; (1) situasi saat koma sebagai sebuah fase perjumpaan dengan keluarga yang telah meninggal, termasuk ayah penulis; (2) para perawat dianggap sebagai keluarga, dan relasi itu masih terawat sampai sekarang; (3) ruang virtual menjadi salah satu akses untuk mencari yang Ilahi.
Akhirnya, buku Memoar Covid-19 membantu pembaca menemukan realita lain saat Covid-19 melanda Indonesia.
Buku yang mudah dicerna oleh seluruh kalangan, dan penuh drama sosial yang menyentuh sisi afeksi pembaca.
Selamat atas peluncuran buku “Memoar Covid-19: Catatan Autoetnografi Lintas Benua” kakakku, Caken Lattu. Semoga buku ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Salam,
Kub, Etty, dan Sela di Ambon
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi