PendapatMaluku

Perlu Saling Percaya Hadapi COVID-19

PENDAPAT

Oleh: Elifas Tomix Maspaitella (Ketua Majelis Pekerja Harian (MPH) Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM)


Mencermati fenomena penanggulangan covid-19 akhir-akhir ini di Kota Ambon, kami kira kita sedang menghadapi situasi traumatis yang tinggi, jika tidak mau disebut sebagai adanya semacam distrust dalam seluruh proses tersebut. Faktor penyebab distrust ini jamak, tidak tunggal. Tingginya tingkat distrust itu memang harus diuji.

Kita tentu belum lupa bahwa pada tahun 2020, tingkat ketidakkepercayaan masyarakat di Maluku terhadap ada tidaknya covid-19 sangat tinggi, 29.18% pada data oktober 2020, sesuai laporan Badan Penanggulangan Bencana Nasional.

Cara yang tepat untuk mengembalikan kepercayaan rakyat adalah dengan edukasi, sebab masyarakat perlu memahami pandemik ini secara jelas dan terbuka. Masyarakat yang hidup di zaman post-trust ini memerlukan penjelasan yang detail, dan butuh legitimasi untuk keabsahan informasi.

Dalam hal ini para dokter diharapkan dapat menyebarluaskan informasi tentang covid-19 mengimbangi beragam informasi yang diperoleh secara bebas dari berbagai sumber, dan kadang mengacaukan pemahaman karena bebas tafsir. Pemerintah, dalam hal ini satuan tugas (Satgas) juga perlu memberi informasi tentang kebijakan yang ditempuh secara terbuka, dan langkah-langkah praktis penerapan yang dilakukan secara konsisten. Di sisi lain perilaku dalam penanganannya pun perlu dilihat karena perilaku yang membias menjadi preseden bagi masyarakat.

Kami sadari bahwa dalam kondisi seperti itu, peran tokoh agama, tokoh masyarakat begitu penting untuk mengajak masyarakat lebih tenang dalam bersikap sambil terus mendukung usaha memutuskan mata rantai penyebaran virus corona dan meningkatkan ketangguhan tubuh baik melalui imunitas tubuh maupun vaksinasi.

Sebab kita ingin agar bisa beraktifitas seperti sediakala, walau disadari bahwa sebenarnya kita sudah harus membiasakan diri dengan pola atau sistem yang telah berubah ini, bahwa ke depan setiap orang harus secara mandiri menjaga ketahanan tubuhnya sambil melakukan aktifitas hidup dan kesosialannya.

JEMPUT DAN PEREBUTAN JENAZAH

Aksi pengambilan paksa jenazah di Rumah Sakit sudah terjadi beberapa kali pada dua minggu terakhir ini. Di sini kita juga diingatkan dengan pencegatan iringan jenazah di jalan pada masa awal covid-19 di Kota Ambon.

Hal ini terjadi karena adanya kebijakan yang tidak sinkron di Rumah Sakit rujukan berkaitan dengan hasil rapid antigen dan swab/pcr/tcm, dan kesan kuat adalah SOP Rumah Sakit yang belum tersistem secara tertib antara proses seseorang masuk, dilakukan tes rapid antigen/swab dan ketika yang bersangkutan meninggal dunia.

Di sini terjadi perang atau adu tanding informasi antara penjelasan dokter dan tenaga medis dengan pendapat umum yang dimiliki masyarakat sebagai hasil olahan informasi yang diperolehnya di media sosial atau sumber lainnya.

Pada sisi lain, upaya satgas menjemput jenazah di rumah duka pun memperlihatkan semakin tidak tersistemnya penerapan SOP itu sendiri. Dan fenomena ini menjadi pengalaman atau semacam batu uji guna terjadinya perang tanding informasi di antara pemerintah sebagai representant dari kebijakan penanganan covid-19 dengan masyarakat sebagai publik.

Dalam konteks ini, siapa mewakili siapa? Itu pertanyaan penting dalam rangka mendamaikan situasi yang masih perlu dibenahi ini, dan pada sisi itu perlu ada kedewasaan dalam berpikir, berbicara dan bertindak, sebab masyarakat butuh transparansi kebijakan dan keadilan dalam tindakan institusi yang menjadi garda terdepan dalam proses penanganan covid-19.

Para dokter dan tenaga kesehatan pun perlu perlindungan privasi dan penghargaan terhadap profesinya. Profesionalitasnya dituntut tetapi butuh pula sistem atau SOP yang menopang pelaksanaan tugas mereka, termasuk jaminan kesejahteraan. Keluarga pasien yang terkonfirmasi juga memerlukan informasi akurat, selain memang harus belajar juga menerima realitas yang ada dalam proses penanganan covid-19.

Bila situasi ini terus berlanjut, dapat diperkirakan, kita memerlukan waktu yang teramat panjang guna memutuskan mata rantai covid-19, padahal kita semua terlilit dalam sistem yang sama yaitu usaha menanggulangi covid-19 secara global.

VAKSINASI

Ini juga satu hal yang masih terjadi debat terbuka antara yang bersedia untuk divaksin dan tidak bersedia. Mungkin butuh riset mendalam mengenai dua kelompok ini, sebab ada orang yang tidak bersedia karena takut, atau ada penyakit bawaan (komorbit), ada yang ikut-ikutan dalam arti karena dalam keluarga belum ada yang divaksin, tetapi ada juga yang tidak mau karena percaya tidak ada covid, dan sebagian lain menganut teori konspirasi yang juga memiliki beberapa variannya.

Baca Juga: Wagub Maluku Imbau Warga Mau Divaksin Demi Kesehatan dan Keselamatan[/box]

Di sisi lain, masyarakat yang tidak mau divaksin juga menjadikan pengalaman umum, karena melihat ada pelaku perjalanan yang ternyata tidak pernah menjalani tes rapid antigen atau swab, dan yang baru pulang dari suatu perjalanan tidak pernah melakukan isolasi mandiri di rumah tetapi langsung bekerja atau tampil di ruang publik.

Setidaknya itu juga yang menjadi alasan dari fenomena distrust dalam masa penanggulangan covid-19. Saya hanya mau menyampaikan pengalaman saya terkait dengan vaksinasi. Saya divaksin dalam kelompok penerima pertama vaksinasi di Provinsi Maluku pada 15 dan 29 Januari 2021 di RSUP Dr. J. Leimena Ambon.

Apa yang saya rasakan saat divaksin? Lapar dan mudah ngantuk. Saya pribadi menganggap, itu alarm yang mengingatkan saya harus beristirahat atau segera makan. Dan saya percaya itu membantu meningkatkan daya tahan (stamina) tubuh saya dalam bekerja/melayani sehari-hari. Setelah divaksin, pada Februari 2021 saya bertamu ke kantor Gubernur Maluku dan saya harus menjalani rapid antigen sesuai kebijakan di situ. Saya menjalaninya.

Baca Juga: Talucu Lidah di Ikan Kuah Kuning

Bulan Maret 2021, saya melakukan perjalanan penerbangan ke Bacan via Makassar, Menado dan Ternate, dan saya harus melakukan rapid antigen lagi. Sepanjang Maret-Mei karena saya pelaku perjalanan saya sudah berkali-kali dites rapid, di Ambon, di Piru, di Dobo, di Tual, di Tiakur.

Saya tahu bahwa penerima vaksin pertama bersama saya juga ada yang positif terkonfirmasi covid-19, dan dari penjelasan yang saya baca dan dengar dari para dokter, orang yang sudah divaksin pun bisa tertular, sama dengan mereka yang pernah tertular, ada potensi untuk juga tertular.

Apa artinya? Pertama, kita semua kelompok rentan dalam arti kapan saja bisa tertular. Maka kita harus mempersiapkan diri secara jasmani dan psikhis. Kedua, setiap orang mau sehat. Tetapi jika kita tertular, yang menyembuhkan diri pertama-tama adalah ketahanan tubuh kita, dan kedua proses perawatan atau pengobatan medik. Ketiga, pada akhirnya kita harus terbiasa dengan covid-19, semacam “hidup dengan covid-19”.

Maka kita harus memahami dan taat menjalani semua ketentuan protokol kesehatan juga mengikuti seluruh protokol di instalasi kesehatan sebagai suatu kebiasaan baru. Maka, vaksin adalah usaha mandiri untuk membantu membiasakan diri dengan situasi baru yaitu keadaan dunia di mana covid-19 telah menjadi salah satu fenomena kesehatan global.

ElTom
Elifas Tomix Maspaitella

Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button