BuruHukum & Kriminal

Pengungkapan Dalang Pembakaran Kantor KPU Buru: Ini Motif dan Kronologi Lengkapnya

potretmaluku.id – Penyelidikan kasus pembakaran kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Buru kini mulai menemui titik terang. Peristiwa yang sempat mengejutkan publik itu terjadi pada 28 Februari 2025, dan sejak awal menimbulkan spekulasi terkait motif di balik aksi nekat tersebut.

Melalui kerja keras dan penyelidikan mendalam, jajaran Kepolisian Resor (Polres) Buru di bawah kepemimpinan AKBP Sulastri Sukidjang, SH, S.I.K, MM, akhirnya berhasil mengungkap dalang dan para pelaku dalam kasus ini.

Dalam konferensi pers yang digelar pada Sabtu, 19 April 2025, Kapolres membeberkan peran masing-masing tersangka serta alasan di balik tindakan kriminal ini.

Dampak Serius Terhadap Proses Demokrasi

Pembakaran kantor KPU Buru tidak hanya menyebabkan kerusakan fisik, tetapi juga berpotensi mengguncang kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemilu yang jujur dan transparan.

Pasalnya, kantor KPU menyimpan berbagai dokumen penting yang berkaitan dengan anggaran dan pelaksanaan Pilkada 2024. Dugaan adanya unsur kesengajaan pun langsung menjadi sorotan utama, mengingat waktu kejadian berdekatan dengan masa evaluasi anggaran.

Kejadian ini menjadi pelajaran penting bahwa sistem pengawasan dan transparansi dalam pengelolaan anggaran pemilu harus diperkuat, baik di tingkat pusat maupun daerah. Karena itu, langkah cepat dan tegas dari Polres Buru patut diapresiasi sebagai bentuk komitmen terhadap penegakan hukum.

Dalang, Eksekutor, dan Motif Utama

Dalam keterangannya, Kapolres mengungkap bahwa terdapat tiga orang tersangka utama dalam kasus pembakaran tersebut, yaitu:

  • RH (48), bendahara KPU Buru yang diduga sebagai dalang utama.

  • SB (45), mantan Komisioner Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Fenaleisela.

  • AT (42), warga sipil yang bertindak sebagai eksekutor langsung.

Motif pembakaran, menurut keterangan Kapolres, adalah untuk menghindari pemeriksaan dan pertanggungjawaban penggunaan anggaran Pilkada 2024, yang mencapai nilai fantastis sebesar Rp33 miliar.

RH sebagai bendahara KPU merasa terdesak oleh kemungkinan audit dari KPU RI, sehingga mengambil langkah ekstrem untuk menghilangkan jejak administrasi.

“Motifnya adalah untuk menghindari pemeriksaan penggunaan anggaran Pilkada 2024 dari KPU RI, berupaya untuk menghilangkan dokumen-dokumen laporan pertanggungjawaban anggaran Pilkada,” jelas AKBP Sulastri dalam konferensi pers.

Kronologi Lengkap Pembakaran

Berdasarkan hasil penyelidikan, proses pembakaran dilakukan secara terencana. RH, yang merupakan otak dari aksi ini, menyiapkan logistik pembakaran seperti bensin dan minyak tanah. SB bertugas membawa 4 jeriken berisi bahan bakar tersebut, yang kemudian diserahkan kepada AT, sang eksekutor.

Berikut adalah alur kronologis kejadian:

  1. Persiapan: SB membawa bensin dan minyak tanah dalam 4 jeriken sesuai instruksi RH.

  2. Akses Masuk: AT masuk ke kantor KPU melalui jendela belakang ruang rapat yang sudah dibuka sebelumnya.

  3. Aksi Pembakaran:

    • AT menyiram bagian bawah kantor dengan campuran bensin dan minyak tanah.

    • Ia lalu naik ke plafon dan menyiram seluruh bagian atas dengan bahan bakar tersebut.

    • Setelah semuanya siap, AT menunggu waktu yang tepat untuk menyalakan api.

Kapolres menegaskan bahwa tidak ada imbalan uang bagi SB dan AT dari RH. Mereka melakukan pembakaran atas dasar rasa “utang budi” kepada RH. Ini menunjukkan adanya hubungan personal yang cukup kuat, yang mampu mendorong seseorang untuk melakukan tindakan melawan hukum.

Pengembangan dan Proses Hukum

Kasus ini belum sepenuhnya berhenti pada ketiga pelaku tersebut. Polres Buru saat ini masih melakukan pendalaman dan pengembangan lebih lanjut, guna memastikan apakah ada pihak lain yang turut serta atau mengetahui rencana tersebut sejak awal.

Tiga tersangka dijerat dengan Pasal 187 ayat 1 juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP, dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara. Pasal ini mencakup tindakan pembakaran yang mengakibatkan kerusakan dan potensi bahaya besar bagi masyarakat atau fasilitas umum.

Kasus ini menjadi bukti bahwa pelanggaran hukum, khususnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu dan pengelolaan dana publik, tidak bisa ditoleransi. Aparat penegak hukum harus terus diberi ruang dan dukungan untuk menindaklanjuti berbagai pelanggaran dengan profesional dan transparan.

Bagi masyarakat, kasus ini mengingatkan kita bahwa pemilu yang bersih tidak hanya soal memilih calon kepala daerah, tetapi juga bagaimana dana publik dikelola dan dipertanggungjawabkan dengan benar.(*/TIA)

IKUTI BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button