Pendapat

Dari Pingitan ke Peradaban: Kartini dalam Dua Wajah

PENDAPAT

Oleh: Olivia Ch. SalampessyWakil Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)


Sambil menikmati hangatnya teh hijau di pagi hari, saya menyempatkan diri membaca lembar demi lembar buku R.A. Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang – Door Duisternis Tot Licht, yang berisi surat-surat beliau.

Membayangkan Kartini, seorang gadis remaja di usia dua belas tahun harus mengucapkan selamat tinggal pada dunia luar. Tidak lagi pergi ke sekolah. Ia dikurung di rumah, dipingit oleh adat yang tak bisa dibantah.

Dari ruang kamarnya yang sepi, ia menghadirkan surat-surat yang lahir dari keresahan, diantaranya kepada Stella Zeehandelaar, Nyonya Rosa Abendanon, Nyonya Nellie van Kohl, Nyonya M.C. E. Ovink-Soer, juga Prof. Dr. G.K. Anton dan Nyonya.

Keresahan atas kesempatan yang tidak didapatkan perempuan di negerinya, sebagaimana cerita-cerita tentang perempuan di negeri jauh yang bisa bebas memilih jalan hidupnya. Keresahan atas adat yang begitu keras pada mereka yang hanya ingin belajar. Begitu kritis dan peka terhadap kondisi saat itu yang penuh ketidakadilan bagi perempuan.

Surat-suratnya yang melampaui tembok rumahnya, melintasi samudera, sampai ke tangan orang-orang yang terkejut karena seorang gadis Jawa bicara tentang kesetaraan, pendidikan dan masa depan bangsanya.

Surat-suratnya adalah panggungnya, yang walaupun tanpa mikrofon dan kerumunan yang bersorak, mampu membakar diam-diam. Bicara tentang perempuan sebagai fondasi peradaban dan pentingnya pendidikan bagi semua perempuan, bukan hanya untuk perempuan bangsawan saja.

…Kami memohon dengan sangat supaya disini diusahakan pengajaran dan pendidikan bagi anak-anak perempuan. Bukanlah karena kami hendak menjadikan anak-anak perempuan menjadi saingan orang laki-laki, melainkan karena kami yakin akan pengaruh besar yang mungkin datang dari kaum perempuan……..
Pekerjaan memajukan peradaban itu haruslah diserahkan kepada kaum perempuan. Dengan demikian maka peradaban itu akan meluas dengan cepat dalam kalangan bangsa Jawa. Ciptakanlah ibu-ibu yang cakap serta berpikiran maju, maka tanah Jawa pasti akan mendapat pekerja yang tangkas. Peradaban dan kepandaiannya akan diturunkannya kepada anak-anaknya. Anak-anak perempuannya akan menjadi ibu pula, sedangkan anak-anak yang laki-laki kelak pasti akan menjadi penjaga kepentingan bangsanya. (Surat kepada Prof. Dr. G.K. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902)

Sepenggal surat Kartini di atas, menguatkan saya, begitu pentingnya pendidikan bagi perempuan. Ini adalah senjata pamungkas Kartini dalam membangunkan bangsa Jawa yang tertidur lelap oleh kungkungan adat.

Pemikiran Kartini menginspirasi lahirnya gerakan-gerakan pendidikan, organisasi perempuan dan bahkan sebagai cikal bakal nasionalisme.

Kartini menjadi tokoh berwajah epik, yang melampaui zamannya. Di sisi lain, Kartini menampilkan wajah yang menyimpan luka, menjalani poligami yang tidak disukainya karena bakti dan cintanya kepada sang ayah. Yang tidak sempat melihat dan mengecap buah perjuangannya. Dua wajah yang saling melengkapi, yang hidup di antara harapan dan keterpaksaan.

Menyeruput teh hijau yang mulai dingin dengan rasa pahit yang lebih kuat, terlintas tampilan anak-anak perempuan, para gadis dan ibu-ibu berkebaya sambil menyanyikan lagu Ibu Kita Kartini, sebuah tradisi setiap tanggal 21 April.

Bersukacita disaat nilai-nilai kesetaraan, keadilan dan kemajuan bagi perempuan yang diperjuangkan Kartini, masih menjadi pekerjaan rumah yang belum dituntaskan selama seratus dua puluh dua tahun.

Berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan masih terus terjadi. Kekerasan seksual marak terjadi di ruang-ruang pendidikan dengan aktor orang-orang terdidik, yang seharusnya melindungi.

Perjuangan Kartini masih harus dilanjutkan dengan meyakini bahwa perubahan besar dapat dimulai dari ruang terkecil, dari kamar sunyi dengan secarik kertas dan berbagai pertanyaan, sebagaimana dilakukan Kartini.

Walaupun dalam pingitan tetap bisa menyalakan cahaya. Dunia boleh mengurungmu, tapi jangan biarkan pikiranmu ikut terkunci.(*)

IKUTI BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button