
Oleh: Ardiman Kelihu (Mahasiswa S2 Fisipol UGM dan Fasilitator pada gerakan Interfaith di Maluku)
Hampir pasti ketika membicarakan politik di Maluku belakangan ini, orang selalu merujuk pada krisis solidaritas antar elit politiknya. Utamanya ketika membicarakan posisi dan kepentingan Maluku di level nasional. Istilah sehari-hari di Maluku yang tepat untuk menyimbolkannya adalah “politik katang” (kepiting). Mereka akan memberikan satu metafor “ibarat melepas segerombolan kepiting ke dalam ember”. Kepiting-kepiting yang akan berjatuhan karena berebutan untuk keluar. Sebuah metafor politik yang menandai kuatnya fragmentasi politik di level elit. Elit politiknya yang suka bersenggolan dan saling bajak karena kepentingan masing-masing kelompok.
Misalnya, saat membicarakan kepentingan gas alam Maluku di Masela, LIN, RUU Kepulauan, Otonomi Khusus Kelautan, hutan adat, hingga posisi menteri, hampir tak ada solidaritas para kepala daerah atau elit yang tampil dan melakukan political pressure secara besar-besaran, sebagai alat bargaining terhadap pemerintah pusat. Paling, tugas-tugas tersebut hanya dilakukan secara tunggal oleh seorang elit yang memang secara administratif berwenang melakukannya. Ibarat hanya untuk menggugurkan kewajiban formalnya masing-masing. Para elit kita hampir selalu absen dalam mengkonsolidasikan kepentingan Maluku secara kolektif.
Di tengah absennya gerakan politik kolektif para elit politik kita di Maluku, sangat sulit membayangkan hadirnya model “pemberontakan politik”, untuk menegosiasikan kepentingan daerah di pusat secara secara kuat. Selama ini kita hanya menggunakan gaya politik lama yang tidak terarah. Misalnya dengan mengasosiasikan diri ke dalam gerakan separatis seperti RMS untuk “menggertak” pemerintah pusat, atau sekadar membangun romantisme masa lalu. Itupun cenderung mendadak sehingga terkesan sangat sporadis dan momentual.
Sebagai daerah dengan tradisi komunalitas yang kuat, suka berkelompok (Masohi), serta dilengkapi pengalaman ekonomi-politik yang sangat panjang, saat berinteraksi dengan dunia internasional seperti Eropa, China hingga Arab, Maluku seyogyanya mempunyai cetak biru tentang gerakan politik kolektif yang mampu mengkonsolidasikan kepentingan politiknya di pusat. Bukan mendadak bergerak jelang pengumuman menteri kabinet dan klaim isu putra daerah.
Dalam tulisan ini, saya menyebut tipe gerakan politik kolektif yang dilakukan melalui solidaritas bersama para elit di Maluku ini dengan nada perlawanan (antagonism), persis seperti yang dilakukan Pangeran Nuku sebagai “model politik pemberontakan kolektif”. Sebuah model politik perlawanan yang menegosiasikan kepentingan daerah dengan pusat secara mutual.
Pertanyaannya, mengapa politik pemberontakan mesti menjadi format menegosiasikan Maluku dengan Jakarta atau Maluku dengan daerah-daerah lain di Indonesia? Model politik pemberontakan yang kolektif adalah upaya menggarap kepentingan dari akar rumput (grass root) secara antagonistik dengan membayangkan pusat sebagai satu rezim yang tidak pro-kepentingan Maluku? Dengan membayangkan pusat sebagai rezim politik yang demikian, pemerintah Maluku (melalui elit politiknya) dapat menaikan daya tawar ketika bernegosiasi dengan pusat. Tak lupa juga dengan tetap merepresentasikan berbagai macam fragmen kepentingan yang terserak di Maluku agar diakomodir oleh pusat.
Lantas mengapa harus mengasosiasikan politik negosiasi Maluku ini dengan “pemberontakan”? Pemberontakan yang dimaksud di sini bukan merujuk pada gerakan-gerakan separatis atau impeachment yang sering dibayangkan oleh kebanyakan orang di Maluku, melainkan lebih bersifat antagonistik. Bukan untuk melepaskan diri dari kendali pemerintah pusat melainkan mengganti kebijakan-kebijakan pusat yang selama ini tidak akomodatif terhadap Maluku dengan kepentingan yang benar-benar tergarap dari bawah (bottom up). Dari daerah. Dalam kaitan inilah politik pemberontakan lebih berupaya agar Maluku dapat mendefinisikan dirinya di tengah kebijakan politik nasional, dan bukan sebaliknya didefinisikan secara sepihak melalui kebijakan-kebijakan politik pemerintah pusat saja. Ini juga yang kemudian menjadikan kita untuk tidak selalu melimpahkan problem ketertinggalan atau kemiskinan karena kesalahan pusat, melainkan mengajak kita untuk mengoreksi setiap kebijakan yang diambil oleh elit politik daerah. Bagaimanapun mereka adalah representasi pusat di daerah.
Dalam situasi politik seperti ini, saya ingin merujuk harapan-harapan ini dengan merefleksikan kisah pemberontakan Pangeran Nuku yang di sekitar 1780-1810. Persis saat ia memobilisasi sejumlah faksi dari berbagai etnis seperti Papua, Halmahera, Seram Tidore, dan Jailolo untuk melawan Belanda .
Perjuangan politik Pangeran Nuku pada akhirnya membangun sebuah persekutuan multifront dari berbagai kelompok dan penjuru untuk merebut posisi kemenangan Maluku yang disebutnya sebagai “Maluku Raya” ditengah kepungan kolonial Eropa.
Menyibak Kisah Nuku
Nuku atau yang digelari Paduka Sri Sultan Saidul Djohas Muhammad Mabus Amirudin Syah Kaicil Parang terkenal karena kepandaiannya mengatur pemberontakan dari daerah-daerah pinggiran, yang merupakan sekutu Kesultanan Tidore. Daerah-daerah pinggiran yang dikonsolidasikan Nuku untuk melakukan pemberontakan seperti Seram Timur di Maluku, Raja Ampat di Papua, dan Gamrange di Halmahera. Sebuah gerakan politik yang berhasil memanfaatkan Inggris untuk mengalahkan Belanda, menaikan posisi politik Tidore sekaligus mengantarkannya sebagai sultan.
Meskipun dalam persembunyiannya di Seram Timur, Nuku mampu memobilisasi sejumlah subjek sekutu untuk melawan Belanda. Nuku yang saat itu masih berstatus Pangeran Tidore, mampu meyakinkan para penjarah dan masyarakat di daerah-daerah pinggiran untuk melakukan pemberontakan melawan monopoli Belanda yang telah menguasai tiga pemerintahan utama di timur : Banda, Ambon dan Ternate (Lihat Muridan Widjojo, Pemberontakan Nuku: Persekutuan Lintas Budaya di Maluku & Papua sekitar 1780-1810, 2013).
Mobilisasi ini tak lepas dari kepiawaian Nuku untuk membaca situasi geopolotik internasional yang melibatkan Inggris Prancis, Batavia, dan Belanda. Inggris yang saat itu dalam posisi kuat, mampu diajaknya berkoalisi untuk menyerang Belanda dan merebut Kesultanan Tidore.
Dengan berpindah-pindah dari daerah-daerah pinggiran, Nuku mampu menghasilkan dua capaian politik cemerlang saat melawan Belanda. Pertama, berhasil mengkonsolidasikan daerah-daerah pinggiran, dan kedua, mampu membangun koalisi politik bersama Inggris. Kedua capaian politik ini bertujuan untuk mengkonsolidasikan Maluku yang saat itu terpecah kedalam beberapa daerah kekuasaan akibat politik devide et impera-nya Belanda.
Dua hal yang dilakukan Nuku itu tak lepas dari kecakapannya dalam membaca situasi geo-politik dunia. Tak bisa dipungkiri bahwa pada saat itu, kebijakan-kebijakan ekonomi-politik di Eropa sangat berpengaruh terhadap situasi politik di Hindia, utamanya Maluku. Kecakapannya ini menjadikan Nuku menjadi “tokoh simpul” yang mampu merajut berbagai kepentingan politik sejumlah daerah dalam satu rantai perlawanan. Semua daerah pinggiran yang merupakan subjek sekutu Nuku (Tidore) lantas bergerak secara kolektif melawan dominasi Belanda sembari tetap menjaga persatuan di internal persekutuan.
Politik Pemberontakan Kolektif
Membaca kisah-kisah Nuku, mengingatkan kita pada model politik hegemonik dan demokrasi radikal yang diusulkan Ernesto Laclau & Chantal Mouffe (1999). Sebuah model politik perlawanan multifront yang mampu membangun rantai antar fragmen dengan beragam kepentingan politik. Berbagai kepentingan yang berbeda-beda oleh setiap kelomlok mampu diakomodir dalam satu kepentingan bersama (Laclau & Menyebutnya : nodal point) tanpa menghilangkan ke-berbeda-an masing-masing kelompok. Ibarat, masing-masing kelompok tetap diakui keberadaan dan kepentingannya dalam satu kepentingan bersama. Sehingga semua kelompok yang berbeda-beda tadi merasa tidak dirugikan karena terwakili oleh kepentingan bersama tersebut.
Sebagai orang Maluku, kita merindukan satu gerakan politik kolektif semacam itu. Gerakan politik yang dimobilisasi oleh berbagai aktor atau kelompok, dengan pelbagai isu , namun diartikulasi dalam satu kepentingan besar orang Maluku. Kepentingan yang mampu menyatukan berbagai fragmentasi politik tidak sehat yang sering terjadi diantara para elit politik Maluku. Semuanya bergerak dengan solider karena kepentingan bersama sebagai orang Maluku.
Model politik pemberontakan kolektif yang dilakukan oleh Nuku juga, mencontohkan tipe perjuangan politik kewargaan yang mengkonsolidasikan setidaknya tiga kepentingan dominan. Tiga kepentingan politik kewargaan tersebut merujuk pada yang diucapkan Nancy Frasser (2009) yaitu : representasi politik, redistribusi ekonomi (kesejahteraan) dan rekognisi (pengakuan). Bagi Nuku kepentingan representasi politik tersebut adalah : mengalahkan Belanda dan menaklukan Tidore. Kepentingan redisribusinya adalah : memakmurkan seluruh daerah sekutu yang menjadi subjek Tidore. Sementara rekognisi mencakup : pengakuan atas dirinya sebagai Sultan Tidore.
Tiga hal ini juga kelak bisa diadaptasi oleh elit politik kita membicarakan kepentingan Maluku. Setidaknya, dengan gerakan-gerakan politik pemberontakan kolektif, tiga kepentingan tersebut dan ter-cover. Berkaitan dengan posisi politik Maluku dalam berbagai kebijakan, kesejahteraan orang Maluku dan pengakuan atas Maluku sebagai prioritas kebijakan nasional.
Kejenuhan-Kejenuhan
Kita telah begitu jenuh ketika mendengar fragmentasi yang cukup tinggi antar sesama elit politik di Maluku. Seolah solidaritas komunal sebagai orang Maluku tidak bekerja dengan baik dalam perjuangan-perjuangan politik kewargaan. Padahal basis komunalitas tersebut dapat dijadikan modal politik bagi para elit untuk mengagregasi kepentingan Maluku di level nasional.
Persaingan politik yang berlangsung di internal sesama elit Maluku seolah telah melebihi titik maklum. Kita memaklumi bahwa politik adalah arena negosiasi dan kompetisi, tetapi bukan berarti tidak didukung oleh ikatan-ikatan kolektif untuk berpihak pada kepentingan Maluku. Alhasil, imajinasi politik yang diusulkan oleh masing-masing elit politik kita terkesan berjalan sendiri-sendiri. Sepi dan tidak mengakar secara kuat di akar rumput. Kesunyian yang tidak membasis ini membentuk elit politik kita menjadi sangat elitis berjarak dari masyarajat dan punya daya tawar yang lemah.
Pangeran Nuku adalah tubuh historis yang mestinya juga “menubuh” dalam tubuh elit politik kita. Sehingga solidaritas komunal orang Maluku tidak sebatas solidaritas primordial yang bersifat kultural dan apolitis, melainkan bisa bertransformasi menjadi kekuatan politik baru saat mereka menegosiasikan kepentingan politik Maluku dengan “Jakarta”. Itu artinya, negosiasi politik Maluku bekerja dengan basis pendukung yang solid, elit politik yang mengakar dan tak luput pembacaan terhadap gejolak geo-politik yang terukur. Dengan begitu, dlit politik Maluku pada akhirnya punya kekuatan politik yang membasis. Menubuh bersama massa di akar rumput.
Berpolitik dari Pinggiran
Maluku benar adalah daerah yang selalu diperhitungkan pada urutan yang kesekian. Ia adalah daerah yang kebahagiaannya menduduki peringkat kedua, tapi menetap sebagai daerah termiskin nomor empat nasional dalam beberapa tahun. Beberapa orang menambahkan label lain seperti 3T : Termiskin, Tertinggal dan Terbelakang.
Kita tidak mesti menghabiskan energi untuk berdebat soal pantas tidak pantas grafik pemeringkatan tersebut diberikan. Apa manfaatnya memperdebatkan hal itu jika elit politik kita pun masih berjalan sendiri-sendiri tanpa modal politik kolektif yang kuat? Lucunya di tengah debat itu, publik Maluku hampir secara berulang terkurung dalam debat politik periodik yang tidak terarah. Soal jatah menteri atau pejabat putra Maluku.
Apa artinya semua ini, kalau bukan sekadar untuk menaikan dignity atau kebanggan kita yang suka berlindung dengan mengeksploitasi label “putera Maluku”? Kita harusnya berpikir lebih dari itu agar bisa merumuskan : kebijakan-kebijakan politik yang berpihak pada Maluku. Bukan hanya menghasilkan kepuasan sombolik (labelling) sebagai anak Maluku.
Sebagi daerah “pinggiran”, para elit Maluku mestinya juga punya kesempatan untuk “duduk bersama” seperti saat Nuku mengkonsolidasikan kepentingan politik “Maluku Raya” dari persembunyiannya selama 15 tahun di Negeri Waru, Seram Timur. Gerakan-gerakan politik yang terkomunikasi antar daerah-daerah pinggiran bisa dimobilisasi dengan kuat, karena berbasis pada sejumlah kegelisahan yang nyata dan dialami sehari-hari oleh masyarakat.
Taruhlah elit politik kita bisa mengagregasinya dengan berpedoman pada situasi riil masyarakat Maluku di daerah-daerah pinggiran yang tertinggal, lalu mengkoneksikannya dengan peran-peran mereka (para elit) di level puncak, baik dalam bentuk keputusan formal atau mobilisasi gerakan sosial yang masif di akar rumput. Tentu saja berbagai langkah tersebut akan punya daya dukung yang kuat. Setiap orang akan bergerak karena secara bersamaan merasa terwakili oleh elit politiknya.
Masalahnya adalah, apakah elit politik kita di Maluku punya kemampuan menggarap basis massa dan kegelisahan yang terjadi di wilayah-wilayah pinggiran Maluku untuk kemudian dimobilisasi dalam satu gerakan sosial maupun protes politik ataukan tidak? Jika tidak, maka yang terjadi justru sebaliknya, para elit politik kita akan kembali saling membajak Maluku untuk urusan pribadinya. Atau bahkan mempersonifikasi kepentingan nasional seolah-olah cocok dengan apa yang dialami oleh masyarakat Maluku di daerah. Alhasil berbagai bentuk pengambilan kebijakan politik akan berlangsung secara top down. Didefinisikan oleh elit pusat lalu dimaklumi saja, seolah-olah itulah situasi yang dirasakan di Maluku.
Sikap saling bajak dan personifikasi diri para elit di hadapan kepentingan nasional menjadikan elit-elit politik kita mudah terpatron pada instruksi-instruksi partai politik atau haluan koalisinya, dibanding mengkonversi sejumlah kepentingan politik Maluku ke dalam tugas-tugas partai atau koalisinya. Para elit akan saling bajak dan sulit terkonsolidasi hanya karena “beda partai”, “beda gerbong”, atau haluan politik di pusat.
Tak heran perlawanan yang dihasilkan juga hanyalah perlawanan dalam kepatuhan.Pura-pura menggertak tapi, diam-diam menciut
Konsolidasi politik Pangeran Nuku dalam memperjuangkan kepentingan politik seluruh masyarakat Maluku penting dibaca kembali oleh para elit politik kita yang hobby sikut-sikutan tak sehat persis “gerombolan kepiting” di dalam ember. Refleksi praktis terhadap kisah pemberontakan Nuku adalah refleksi politik yang sekiranya bisa diadaptasi untuk menghasilkan satu “format politik antagonisme” untuk Maluku. Sebut saja “politik pemberontakan kolektif” dari Maluku.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi