Pendapat

Membawa “Berang” Masuk Kampus

PENDAPAT

Oleh: Apriliska Lattu Titahena (Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Administrasi Pendidikan UKSW)


Pagi itu suasana Universitas Pattimura Ambon sangat ramai dengan riuh tepuk tangan dari dalam ruang audutorium, yang menggema hingga keluar halaman. Banyak tetesan air mata haru nan bahagia mewarnai gedung megah itu.

Universitas terbesar nomor satu di Provinsi Maluku tersebut, sedang menyelenggarakan upacara peneguhan kelulusan bagi para mahasiswa mereka. Meski ramai, peneguhan wisudawan kampus berjargon Hotumese ini diatur sedemikian rupa, agar tetap mematuhi protokol kesehatan sehingga berjalan dengan begitu nikmatnya.

Prosesi wisuda periode April 2021 ini, berakhir dengan meneguhkan 1.715 orang wisudawan. Seusai acara berlangsung, terlihat dua orang wisudawan dengan ikat kepala merah keluar dan menemui keluarga mereka yang datang.

Dua wisudawan yang mengenakaan ikat kepala merah (kain berang) tersebut adalah mahasiswa Fakultas Hukum yang berasal dari Suku Nuaulu, di Pulau Seram. Uniknya, keluarga yang turut hadir pun menggunakan ikat kepala yang sama.

Sontak mereka menjadi sorotan dan langsung diwawancarai oleh para wartawan. Media-media pun menulis serta menyiarkan tentang penggunaan ikat kepala merah, pada saat wisuda tersebut. Dua wisudawan yang bernama Pati Soumory dan Pateki Sounawe, meyakini bahwa menggunakan berang merupakan budaya adat istiadat mereka.

Melihat kedua kawan yang mengenakan ikat kepala berang ketika wisuda, memberikan rasa sukacita tersendiri. Tentu beta pribadi berterimakasih kepada kawan-kawan yang telah membawa berang masuk kampus. Sekalipun awal-awalnya mendapat pertentangan berupa larangan tidak boleh mengenakan di dalam kampus sehingga menuai kontroversi. Namun kawan-kawan telah membuktikan bahwa berang bukan barang haram yang harus dilarang.

Penghargaan atas kebebasan penggunaan berang di kampus telah menjadi langkah maju yang sadar, bahwa kampus pun turut menjunjung tinggi hak-hak masyarakat adat. Membahas terkait konteks membawa berang masuk kampus lalu mengenakannya, beta yakin kawan-kawan mahasiswa di seantero jagat Maluku tentu saja sudah tidak asing lagi. Dan beta pun meyakini bahwa masing-masing dari kawan-kawan mahasiswa yang sering mengenakan berang punya ceritanya tersendiri. Apalagi bagi kawan-kawan dari Nusa Ina (Pulau Ibu).

Kain berang merupakan kain merah yang diikat pada kepala, sebagai lambang kebaranian, kegagahan, ketangguhan dan kebanggaan bagi laki-laki dewasa suku Alifuru. Sehingga sejak dulu, kain berang tidak dapat dilepas pisahkan dari laki-laki.

Kain berang menjadi sangat identik dengan laki-laki Alifuru sebab identitas kedewasaan akan melekat bersama dengan pengunaan ikat kepala merah ini. Lelehur suku Alifuru sering menggunakan ikat kepala merah ketika berperang.

Seiring berjalannya waktu, di masa sekarang ini penggunaan kain berang dapat dilihat pada waktu pelaksaan upacara adat, dan ketika menampilkan tarian adat perang Cakalele. Meski dulunya kain berang ini hanya dikenakan oleh laki-laki namun di zaman ini, kain ini telah dikenakan juga oleh perempuan. Dalam beberapa momentum, beta sendiri sering mengenakan berang. Dengan niat bukan melanggar ketentuan adat istiadat, namun sebagai bentuk pengharagaan untuk tetap menjaga dan melestarikan budaya.

Beta adalah seorang perempuan yang meyakini bahwa berang juga dapat dikenakan oleh perempuan, sebab perempuan adalah ibu generasi, yang mampu merawat peradaban dengan keberanian, ketangguhan dan cinta kasih. Sehingga berang yang adalah simbol keberanian dan ketangguhan pun layak dipakai oleh seorang perempuan.

 

WhatsApp Image 2021 04 22 at 17.24.05
Penulis menggunakan kain berang di kepala.(Foto: dokumentasi penulis)

Selama ini, Beta punya kebiasaan membawa berang kemana pun. Bukan karena beta mengistimewakan sehelai kain berwarna merah tersebut, atau mengagung-agungkan benda yang bernama berang itu. Tapi memang karena beta selalu tidak lupa menyimpannya di kantong celana/baju, ataupun menyimpannya di tas dan benda lainnya yang kemungkinan beta akan bawa dalam perjalanan. Maka telah menjadi sebuah kebiasaan untuk tetap membawa berang kemana pun, termasuk ke kampus.

Beberapa tahun lalu, Beta sempat mengenyam pendidikan di Universitas Pattimura Ambon. Di kampus ini beta sering membawa kain berang. Masa itu, ada pula banyak kawan-kawan lain yang sering membawa berang masuk kampus karena dianggap lumrah sebagai identitas bersama.

Beta kembali mengingat saat ujian sarjana dua tahun lalu. Hari itu masih pagi-pagi buta beta sudah bangun menyiapkan diri, untuk nantinya bertarung dalam ujian skripsi, agar mendapatkan gelar sarjana pendidikan dari Program Studi Pendidikan Fisika, FKIP, Unpatti.

Sekitar pukul 08.00 WIT, Beta bersama dengan beberapa adik-adik lelaki menuju kampus sambil menenteng jas, yang memang sengaja belum ingin dipakai. Sudah sejak semalam adik-adik Beta ini sangat sibuk untuk mengatur skenario demonstrasi, agar pihak kampus dapat menurunkan tagihan UKT dan mengeluarkan kebijakan perpanjangan waktu seleksi masuk kampus untuk jalur Mandiri.

Tentu saja, momentum demonstrasi ini tidak terlepas dari ornamen penggunaan kain berang selain jas almamater. Mereka hebat telah membawa berang masuk kampus. Di saat yang sama, beta juga membawa berang yang sudah disimpan pada saku jas. Di kisah ujian sarjana itu, tidak ada salempang bertuliskan nama lengkap dengan gelar S.Pd. Namun, tetap ada kain berang yang terikat di kepala beta.

Beta sendiri merasa sangat percaya diri ketika mengabadikan foto dengan mengenakan berang di kepala, sambil mengangkat kepalan tangan kiri saat meraih gelar sarjana kala itu. Rasanya pada momentum kelulusan, mengabadikan foto menggunakan berang adalah aturan tidak tertulis yang tersepakati secara naluriah. Beta pun sangat bangga, sebab perempuan yang mengenakan berang ini telah menjadi perempuan berpendidikan yang tidak lupa akan adat istiadat leluhurnya.

Beta berharap pihak kampus dan kawan-kawan mahasiswa yang sedang berproses mampu menampilkan ciri khas kemalukuan katong dalam kata maupun tindakan. Semoga rasa sadar mengenakan berang menjadi kesadaran kolektif untuk tetap menghidupkan serta melestarikan budaya orang Maluku. Cuma mau pasang “mari katong mencintai Maluku deng seng malu-malu dari beta perempuan Maluku yang malu kalo seng mencintai Maluku”.


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button