Oleh: Izak YM Lattu
Pemerhati sosial budaya dan dosen pada Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
Selama bulan Maret ini penulis akan menuturkan kisah bagaimana dirinya terpapar Covid, dan bagaimana bisa sembuh dari Covid. Setiap hari, kecuali hari Minggu, akan ada satu kisah yang kami tampilkan. Ini bagian ke-24 dari tulisan bersambungnya
Tanggal 13 April 2020, seperti biasa, tenaga medis sudah datang pukul lima pagi. Baju hazmat putih dan helm kuning setia menemani perawat. Peralatan mandi pasien lengkap dengan handuk kecil dan baju ganti dijinjing di tangannya. Pagi itu, semua pasien dibersihkan. Sipin, kata Orang Jawa. Itu istilah yang lebih tepat. Badan saya dibersihkan dengan handuk kecil yang sudah dibasahi air dan sabun.
“Selamat pagi,” sapa perawat ketika pintu kamar ICU dibuka. Perawat menuju tempat tidur saya di pojok ruangan sebelah kanan. “Kami bersihkan badannya dulu,” lanjut perawat tadi. Saya sama sekali tidak bisa bangun dari tempat tidur. Pasrah pada tekun dan sabarnya perawat. Malu? Terlintas sedikit, tetapi saya
lawan. “Sudah tugas perawat membersihkan pasien,” pikir saya sambil coba melawan rasa malu.
“Sejak ditidurkan tanggal 31 Maret, saya sudah dimandikan seperti ini,” kata saya dalam hati. Selama masih tertidur beberapa belas hari lalu, perawat sudah memandikan saya. Baju dibuka dan diganti tanpa saya sadar. Baju rumah sakit itu berbentuk piama. Warna putih dengan logo RSUP Dr. Kariadi. Hanya diikat dengan dua tali di depan. Gampang sekali dibuka jika terjadi situasi darurat.
Di ruang ini, semua pasien terbaring dengan kondisi parah. Menggunakan ventilator, kateter dan infus di kaki atau tangan. Karena pernah mencopot semua alat bantu, infus dipindahkan dari tangan ke paha kanan saya. Dua jalur sekaligus. Satu cairan pengganti air minum dan satu lagi untuk obat. Jarum-jarum infus langsung ditancapkan pada pembulu vena saya. “Obat dan cairan lebih cepat disalurkan ke semua bagian tubuh,” jelas perawat waktu saya tanya mengapa di paha kanan.
Di ruang ICU ini, waktu kunjung perawat lebih banyak. Lima kali dalam sehari pasien dikunjungi. Pukul 5 pagi, pukul 10 pagi, pukul 13, pukul 6 sore dan pukul 10 malam. Itu sudah kunjung rutin. Kadang-kadang dalam situasi darurat, kunjungan bisa lebih banyak. Tergantung kondisi pasien. Makan, mandi, minum obat, dan buang air kecil-besar pasien dilakukan dalam waktu kunjung ini. Tidak bisa sendiri. Semua dibantu perawat.
“Terimakasih telah membantu. Maaf telah merepotkan,” kata-kata ini biasanya saya tuliskan kepada perawat setiap kali dikunjungi. Spidol warna hitam dan kertas putih itu menjadi suara hati saya. “Sama-sama. Ini sudah tugas kami,” begitu umumnya perawat menjawab. Meski tidak bersuara, saya berusaha menghargai tugas mulia ini. Perawat mungkin tidak mengharapkan ucapan terimakasih, apalagi hanya tertulis di kertas. Saya hanya berusaha hormat dan salut pada pengorbanan mereka.
Tugas ini berat bagi perawat. Mereka harus melawan rasa takut. Beberapa perawat yang menjadi korban Covid-19 di bulan Maret 2020 ditampik warga. Pemakamannya ditolak. Para pahlawan ini dianggap sampah jika menjadi korban pandemi. Tugas berat tanpa penghargaan, begitu nasib perawat pada bulan Maret- April 2020. “Tulisan terimakasih ini mungkin menghibur mereka,” pikir saya ketika menggoreskan tinta spidol pada kertas hvs di tangan.
“Situasi sekarang ini memasuki masa winning,” kata perawat mengedukasi saya. Angka saturasi pada monitor sudah menunjukkan 98. Masih menggunakan ventilator, tetapi perbaikan terlihat dari angka itu. “Kami akan latih untuk tidak pakai ventilator,” jelas perawat yang dari tadi berdiri di samping kanan saya . “Ha? Lepas ventilator?” gumam saya dalam hati. Saya mulai panik dan tidak tenang.
“Bagaimana saya bisa hidup tanpa ventilator ini?” tanya saya dalam hati lagi Dua minggu menggunakan ventilator membuat saya takut melepaskan alat bantu nafas itu. “Kami akan coba secara bertahap mengurangi kapasitas ventilator,” jelas perawat itu.
Pada fase winning ini, pasien dilatih untuk tidak tergantung pada ventilator. Memang menakutkan. Mengkhawatirnya membayangkan sesak nafas tanpa ventilator itu . Namun, harus berjuang agar bebas dari alat ini, “Supaya nanti bisa pindah ke ruang tanpa ventilator,” tambah perawat itu menyemangati saya.
“Ventilatornya akan kami lepas siang ini,” kata perawat yang mengunjungi saya pukul 10 pagi. “Iya,” kata saya dalam hati dan sambil menggangguk kepala. “Kami akan observasi lagi selama beberapa hari. Jadi masih tetap di ruang ICU,” ujar perawat tadi setelah mengganti infus yang telah habis. Dua jempolnya diancungkan pada saya. Saya melihat keluar, perawat yang mengecek angka-angka pada monitor juga memberikan jempol pada saya.
“Puji Tuhan,” kata saya dalam hati. Tanggal 12 April 2020, ventilator yang menempel selama 14 hari di mulut saya akhirnya lepas. “Ini mujiza!” kata hati saya. Doa keluarga dan para sahabat didengar Tuhan. Sebelum masuk ke rumah sakit, saya membaca berita tentang perawat yang bercucuran air mata mematikan ventilator pasiennya. Kali ini ventilator dimatikan perawat dengan senyum, mungkin. Senyumnya tertutup masker ganda dan helm yang dipakainya setiap kali bertemu dengan saya.
“Kami sangat senang,” kata perawat sambil memasukan cairan makan ke hidung saya. “Bahagia sekali melihat pasien membaik,” lanjut perawat itu. “Begini orang yang bekerja dengan hati,” kata saya dalam hati. Kesembuhan pasien adalah kebahagiaan perawat-perawat ini.
“Saya lepas ventilatornya sekarang yah,” kata perawat tadi setelah membantu “makan” siang saya. Tangan perawat itu dengan cekatan mengutak-atik mesin penyambung hidup itu. Mesin yang memiliki dimensi facinas et tremendum, menarik dan menakutkan, itu. Sekali tekan mesin ventilator itu mati. Dengan sabar,
selang ventilator dicabut. Perlahan. Harus perlahan supaya mulut saya tidak luka. Agar gigi saya tidak tanggal. Selang yang berada di tenggorokan saya selama 14 hari itu akhir keluar.
“Alhamdullilah,” seru perawat itu. “Puji Tuhan. Terimakasih banyak,” kata saya dengan suara serak yang hampir tidak terdengar. Saya coba bicara lagi. Sama. Sekuat apapun saya coba bicara, suara yang terdengar hanya bisikan kecil. “Suaranya memang belum bisa keluar maksimal,” ujar perawat tadi menjawab kebingungan saya. Pita suara saya tertekan selang ventilator selama 14 hari. Harus dilatih perlahan-lahan.
Setelah tanggal 14 April itu, hari-hari saya di ICU agak berbeda. Saya mulai bisa membuka HP saya yang lama mati. Perawat membantu charge HPnya. Colokan listrik memang persis di atas kepala saya. Tidak bisa saya jangkau sendiri. Kabel di dada, kateter dan infus di paha, serta selang di hidung, saya tidak bisa bergerak
banyak. Pesan singkat masuk berururat. Ratusan, mungkin.
“Ada kiriman lagu-lagu di HP. Coba liat,” kata Retno waktu saya sudah dapat menggunakan HP lagi. Mahasiswa saya di Kaki Merbabu, alumni yang ada di berbagai tempat dan jemaat gereja di Semarang dan Surabaya mengirimkan lagu.
“Tenanglah kini hatiku. Tuhan menuntun langkahku,” salah satu penggalan lagu yang dikirim. “You raise me up,” bunyi lagu lain. Air mata bercucuran. Tuhan mengirimkan begitu banyak malaikat. “Terimakasih Tuhan, begitu banyak orang yang mendukung saya,” kata dalam hati sambil membersihkan butiran-butiran air
mata bahagia.
“Puji Tuhan nyongee,” teriak Mama waktu tahu saya sudah tidak lagi menggunakan ventilator. “Mama ini bernafas dengan doa,” kata Kaka De menjelaskan pergumulan Mama waktu itu. Mama memang hampir setiap hari tidak bisa tidur dengan nyenyak. Detik-detik hidupnya selama 14 hari ini hanya dihabiskan dengan membaca Kitab Suci dan berdoa. Saya tersenyum pada Mama. Coba memberikan pesan bahwa saya sudah membaik.
“Halo ade. Bagemana kondisi?” tanya Bu Empi, kakak tertua saya, melalui video call. Tidak sampai menit Bu Empi bertahan melihat video saya. Tangisannya meledak. Selang masih ada di kedua hidung saya. Dia tidak tega melihat adiknya yang dia jaga sejak kecil terbaring tak berdaya seperti itu. “Sudah ee ade. Tetemanis sayang, katanya sambil menutup telpon dia tidak sanggup melihat adiknya dalam kondisi seperti itu.
Jarak umur saya dengan Bu Empi cukup jauh. Saya baru lahir ketika dia sudah berada di kelas enam sekolah dasar. Saya yang sejak kecil sudah gemuk itu dia gendong sana-sini. “Waktu bermain kelerengpun Bu Empi ajak,” jelas ayah waktu beliau masih hidup. Saya digendong Bu Empi di tangan satu dan tangannya yang lain menyentil kelereng. Main ke mana saja dia pasti membawa saya yang masih kecil itu.
“Kaka, ini pisang goreng. Ayo cepat bae supaya bisa makan pisang goreng kombali,” kata adik saya, Max, melanjutkan video call Mama, Kaka De dan Bu Empi. Max menjadi polisi di Minahasa. Sudah lebih dari dua puluh tahun dia ditugaskan di sana. Sejak itu, dia tidak pernah pindah dari Tanah Nyiur Melambai. Dia tahu betul saya suka pisang goreng. Setiap kali ada acara di Manado, dia selalu menyediakan pisang goreng bagi saya.
“Cepat sembuh biar kita bisa makan biapong di Sarinah lagi,” lanjut Max. Hampir setiap kali datang keMinahasa, dia pasti mengajak saya nongkrong di sana. Sarinah, rumah kopi tua yang menjadi ikon Kawangkoan, dekat rumah Max. Biapong bakarnya tidak ada duanya. Max coba menyemangati saya dengan caranya sendiri. Semua cara dipakai keluarga untuk menaikan imun saya.
“Hi Daddy,” kata Jessy dan Jenny ketika video call Retno menyala. Jessy berusaha tegar menatap pada kamera HP sambil memberikan senyum pada saya. Lesung pipinya terlihat dengan jelas. Waktu dia lahir di Solo tahun 2009, saya dikagetkan bidan. “Pak anaknya punya,” kata Bidan. Belum habis kalimatnya saya sudah menyambung, “punya apa Bidan. Ada yang aneh?” tanya saya agak khawatir. “Ga Pak. Dia punya dua lesung pipi di kiri dan kanan,” kata Bidan itu sambil tersenyum.
“I miss you,” kata saya pada mereka. “I miss you too,” jawab mereka hampir bersamaan. Saya berusaha tersenyum selebar-lebarnya agar mereka tahu saya sudah sembuh. Saya ingin mereka senang bapaknya akan segera pulang. Saya dan Jessy bercerita cukup banyak. Jenny hanya bertahan di depan kamera beberapa
menit.
“Jenny! Usi! Koq lari?” tanya saya di balik layar. Sejak tahu akan punya ade, Jenny memutuskan sendiri untuk dipanggil Usi. “I am no longer an Ade. Now, I am an Usi,” (saya bukan lagi ade. Sekarang saya Usi), kata Jenny waktu tahu ibunya mulai hamil. Dia senang sekali dipanggil Usi.
Jenny tidak tega melihat kondisi saya seperti ini. Dia lari ke belakang rumah sambil menangis di sana. Beberapa menit dia menangis. Hanya mau kembali setelah dipeluk ibunya. “I love you so much Daddy. Sampe di Jantong hati. Go home soon” kata dia sambil tetap menangis. “I love you so much too. Sampe di Jantong hati,” balas saya dengan melemparkan senyum padanya.
Senyum saya waktu itu adalah ucapan syukur dan bahagia. Saya bisa keluar dari ventilator dengan selamat. “Baru pertama kali ini ada pasien yang selamat dari ventilator di ruang ICU RSUP Dr Kariadi,” jelas tenaga medis waktu melepaskan alat bantu nafas itu. Pasien-pasien sebelum saya, tidak bisa keluar hidup-hidup dari mesin pemompa oksigen itu. “Mujizat. Terimakasih Tuhan!” seru saya dalam hati.
(bersambung besok)
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi