Pendapat

Kekuatan Mimpi dan Imajinasi

BERJALAN DALAM BAYANG-BAYANG COVID-19 (23)

Oleh: Izak YM Lattu
Pemerhati sosial budaya dan dosen pada Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

Selama bulan Maret ini penulis akan menuturkan kisah bagaimana dirinya terpapar Covid, dan bagaimana bisa sembuh dari Covid. Setiap hari, kecuali hari Minggu, akan ada satu kisah yang kami tampilkan. Ini bagian ke-23 dari tulisan bersambungnya

Sejak berada di ICU RSUP Dr Kariadi Semarang, menggunakan ventilator, kondisi saya makin membaik setiap hari. Saya sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Hanya para tenaga medis yang paham kondisi saya waktu itu. Memang saya tidak tahu kapan kondisi saya mulai membaik. Hanya data-data komputer dan catatan para perawat yang mampu.

Lewat bantuan berbagai koleganya dan pada ponakan, Retno memperoleh informasi tentang data saya. “Secara statistik, kondisi mulai membaik,” jelas Retno setelah saya sembuh. Ketika itu, informasi data pasien Covid-19 sangat tertutup. Bahkan untuk keluarga pasien, data itu sulit dibuka. Jejaring para ponakan yang menjadi perawat di beberapa rumah sakit ikut membantu. Teman sejawat Retno ikut mencarikan informasi lewat jalan-jalan berliku.

Saya tidak tahu kapan kondisi saya membaik. Kelihatannya kondisi itu terhubung secara tidak lansung dengan mimpi ketika saya belum disadarkan. Obat-obat sedasi dosis tinggi memang diberikan bagi saya. “Tidur lebih panjang supaya oksigen dari ventilator dapat langsung masuk ke tubuh,” jelas dokter kemudian.

Selama masa kritis dan menggunakan ventilator, mimpi sangat berwarna. Mimpi mengalami gradasi: dari dunia orang mati ke dunia orang hidup. Saat kondisi kritis, saya bermimpi tentang keluarga yang sudah meninggal. Bertambah parah kondisi, semakin banyak saudara yang sudah meninggal muncul dalam mimpi.

Para sepupu yang sudah meninggal datang. Bu Maku, Bu Metu, bergantian muncul dalam mimpi. Gambaran mimpi itu seperti masa kecil. Diajak masuk ke dalam rumah mereka yang kecil. Berlantai tanah. Tidak ada kasur. “Mengapa mereka tidur di sini? Mengapa tidur di lantai?” tanya saya dalam mimpi itu. Bung Maku, anak dari kakak ayah saya, sudah meninggal sejak 2016. “Kecelakaan kerja di Kongo,”kata Max adiknya ketika menjelaskan kematian Bu Maku.

Bu Maku ini unik. Tidak tamat sekolah dasar, tetapi bisa mengoperasikan alat berat. Hampir tujuh tahun dia bekerja di Republik Kongo. Bung Metu baru saja meninggal, tahun 2019. “Kecelakaan lalu lintas di dekat Dermaga Ferry Waipirit,” kata keluarga di Hunitetu. Kakak-kakak ini sejak kecil selalu menemani saya bermain. Dari mereka ini saya belajar bermain gitar. “Harus bisa main gitar sedikit,” jelas Bung Maku waktu saya menolak.

Main gitar itu modal untuk banyak hal ternyata. Waktu membantu jemaat Gereja Kristen Indonesia di Sacramento tahun 2014, saya bermain gitar di gereja. Tidak pandai, tapi bisa, “Nyong,” hanya itu kata ayah saya waktu muncul dalam mimpi itu.

Senyumnya cerah sekali. Giginya masih terlihat putih dan rapih. Setelah Bung Maku dan Bung Metu pergi, giliran ayah saya yang muncul. Ketika wajahnya muncul dari jauh di mimpi itu, ayah saya terlihat gembira. Lama memang kami tidak bertemu.

Ayah saya meninggal tanggal 1 Maret 2013. Hanya beberapa menit setelah saya lulus ujian kandidat doktor di Berkeley. “Jadi Kaka harus tahan Papa, nunggu ade sampai Indonesia?” begitu jawaban Bu Empi, kakak tertua, waktu saya dengan gembira menyampaikan hasil ujian komprehensif. “Tunggu Kaka,” jawab saya dengan ledakan tangisan dan cucuran air mata. Papa yang selama ini menanamkan mimpi menjadi doktor telah pergi.

Screen Shot 2021 03 29 at 23.02.03
Penulis bersama Profesor B. J. Habibie di Harvard University tahun 2014.(Foto: Dok. Penulis)

“Chak belajar bae-bae supaya besok-lusa bisa sekolah ke keluar negeri seperti Pak Habibie,” kata Kepala Sekolah itu. Malam terang bulan di tahun 1987 kala itu. Radio transistor di tangannya mengeluarkan siaran radio Australia dalam Bahasa Indonesia. Kadang-kadang radio negara-negara tetangga di Laut Pasifik. Pulau Seram itu memang bagian dari Pasifik sebelum Belanda dan imajinasi kolonial membuatnya menjadi Asia.

Radio itu adalah satu-satunya hiburan. Jika Radio Australia tidak terdengar, radio Taiwan dalam Bahasa Mandarin pun jadi. “Asal ada bunyi dari radio,” kata ayah sambil menikmati deburan ombak Pantai Selatan Pulau Seram. Tidak ada jalan beraspal, apalagi listrik. Negeri Wasia dan Sanahu waktu itu memang jauh dari
sentuhan pembangunan.

“Papa jangan ajak beta pergi dulu,” kata saya waktu ayah datang dengan senyum rindu. “Beta masih punya banyak tugas Papa,” lanjut saya dalam mimpi itu. Ayah tetap tersenyum memandang saya di tempat tidur. Dengan tetap tersenyum bayangan ayah perlahan menghilang dari mimpi itu. Saat bayangan ayah saya
menghilang dari mimpi, saya mulai perlahan sadar.

“Pak Izak sudah bangun,” tanya tenaga medis yang mengunjungi ruang ICU. Kepala saya anggukan. Isyarat saya sudah sadar. Seperti baru kemarin saya tertidur. 13 hari sudah saya dibuat tidak sadar. Hampir dua minggu dunia gelap bagi saya. Hanya berteman para saudara sepupu dan ayah dalam mimpi. Saya
berusaha bicara, tidak ada bunyi suara sama sekali.

“Belum bisa bicara yah Pak. Ada ventilator di mulut. Jadi, belum bisa ngomong,” jelas tenaga medis tadi. Saya sempat takut ketika suara tidak keluar sama sekali. “Apa dampak Covid-19, saya tidak bisa lagi bicara?” saya sempat berpikir begitu sebelum mendengar penjelasan tadi. Sejak itu, semua komunikasi harus ditulis. Kertas dan pulpen disediakan tenaga medis. Namun, tidak gampang menulis dalam kondisi baru sadar dari 13 hari tidur panjang.

“Bolehkan saya ditolong video call dengan istri saya?” tulis saya pada kertas tadi. “Pak Izak ingat nomornya?” kata perawat di samping saya. Telpon genggam masih berada di dalam tas punggung saya. Kehabisan daya. Sudah 13 hari tidak dicharge batereinya. Nomor telpon genggam Retno saya tulis. Ini nomor telpon satu- satunya yang saya ingat. Sejak pacaran dulu dia tidak pernah berganti nomor.

“Dokter Retno ga angkat telponnya Pak,” kata perawat di samping saya. Para tenaga medis ini berkomunikasi dengan Handy-Talky (HT). Tenaga medis yang bertugas di luar ICU coba menelpon Retno lagi. Beberapa kali dicoba Retno tidak menjawab.

Ternyata dia tidak mengangkat karena nomor asing. “Bu Dokter, Pak Izak mau ngomong,” kata pesan yang masuk di telpon genggam Retno. “Pak Izak, itu Bu Dokter Retno sudah bisa dihubungi,” sambung perawat. Saya dan Retno bervideo call melalui telpon genggam di balik kaca ruang ICU.

Melihat senyum Retno, saya senang luar biasa. Tidak ada kata yang keluar karena ventilator di mulut menghambat suara. Saya memukul-mukul dada kiri seperti pemain sepakbola baru selesai mencetak goal penentu kemenangan. “Tuhan menolong kita melewati masa kritis. Kita bisa,” itu yang sebenarnya ingin saya
katakan.

Hari itu, Minggu, Tanggal 12 April 2020. Hari Kebangkitan Yesus Kristus dalam kalender Kekristenan. Saya kembali ke kehidupan. Bernafas masih menggunakan ventilator. Saturasi, oksigen dalam darah mulai meningkat. Obat sedasi mulai dikurangi. Kesadaran saya perlahan dikembalikan.

“Suster Suniah di mana yah?” tanya saya pada perawat di samping setelah selesai video call dengan Retno. Para perawat heran bagaimana saya yang tidur selama 13 hari mengenal Mbak Suni. “Suster Suni yang sering ajak saya bicara,” lanjut saya ketika melihat perawat tadi kebingungan.

Ketika masih terbaring tak berdaya, Mbak Suni memang sering mengajak pasiennya bicara. Ketika sadarpun masih diajak bicara. “Pasien itu orang, bukan barang. Harus diajak berkomunikasi meski tidak sadar,” mungkin itu yang ada dalam benak Mbak Suni. Tenaga medis memang saudara dalam kesepian dan penderitaan pasien Covid-19 di ruang ICU.

Setiap empat jam tensimeter otomatis di samping tempat tidur bekerja mengecek tekanan darah saya. Setiap kali tensimeter itu bekerja, saya membayangkan Retno datang mengukur tekanan darah saya. Di rumah kami memang selalu ada tensimeter. Hampir setiap minggu sekali pasti tensimeter itu Retno pasang pada lengan saya. Dia memang rutin mengukur tekanan darah saya.

“Terimakasih,” kata saya dalam hati sambil tersenyum setiap kali tensimeter itu bekerja. Jika ada yang tahu, saya mungkin dipikir gila. Pasien Covid-19 terisolasi di sini. Badan terkurung dalam ruangan 6 x 10 meter itu. “Pikiran harus saya bebaskan. Harus ada implied family visit” (mengimajinasi kunjungan keluarga), pikir saya waktu itu. Tensimeter menjadi keluarga dekat saya dalam ruang ICU itu.

Sejak sadar, saya jadi tahu bagaimana tenaga medis bekerja keras merawat pasien ICU Covid-19. Mulai dari buang air besar (BAB), kecil, bersihkan diri sampai berdoa, dibantu oleh tenaga medis. Saya seperti bayi raksasa yang tidak dapat bergerak ke mana-mana. Popok dipasang di badan agar BAB tidak ke mana-mana.
Kantong air seni dari kateter selalu dicek pagi dan sore. Volumenya diukur dan dicatat. Perkembangan direkam dengan sangat detail.

Screen Shot 2021 03 29 at 23.02.15
Abang ini gambar pasien monitor atau tensimeter di samping tempat tidur pasien.(Foto: Dok. Penulis)

“Kumisnya saya cukur yah Pak. Supaya bisa pasang selotip ventilator,” kata Mbak Suni satu waktu. Kumis saya memang sudah bertumbuh sangat lebat. Dalam kondisi normal saya bercukur hampir setiap hari. Dengan sabar perawat itu mencukur kumis dan jenggot saya. Kumis dan jenggot ini tidak terurus selama hampir tiga minggu, sejak tanggal 27 Maret 2020.

Tanggal 12 April, saya sudah mulai bisa makan sajian selain cairan dari selang infus. “Sabar yah Pak agak tidak enak makanan ini,” kata perawat. Bagaimana tidak enak, ini makanan bentuk cair yang dimasukan lewat selang di hidung saya. Hidung dan mulut berganti fungsi. Mulut dan hidung sebelah kiri dipakai bernafas. Ventilator terhubungan dengan mulut dan hidung sebelah kiri. Hidung sebelah kanan digunakan untuk makan. Sangat tidak nyaman.

“Kita habiskan yah Pak. Biar bisa sembuh,” ujar perawat memotivasi sambil memasukan makanan cair ke dalam hidung saya sebelah kanan. Dengan sangat hati-hati makanan dimasukan perlahan ke dalam hidung saya. Makanan ini dalam bentuk susu. Nutrisi cair. Makanan satu gelas kecil itu dapat menghabiskan waktu
20 menit.

Sentuhan tangan tenaga medis di tubuh pasien dapat menjelaskan perhatiannya. Tenaga medis yang sabar dan perhatian akan membersihkan badan pasien dengan sabar. “Nanti tolong badannya dibalikan sedikit yah,” suara tenaga medis lembut. Sentuhannya adalah tindakan simbolik dari kasih dan pelayanan.

“Sebelum makan, kita berdoa dulu yah,” kata perawat setiap kali akan memasukan makan ke hidung saya. “Saya berdoa menurut agama saya, Pak Izak berdoa menurut agama Pak Izak,” kata perawat setiap kali akan berdoa. Tangannya dibuka, mulutnya membacakan beberapa doa dalam Bahasa Arab. Tangan saya terlipat, “Tuhan Yesus tolong sembuhkan saya,” begitu kata-kata yang bergetar di bibir saya.

“Bismillah,” kata perawat ketika tetesan cairan pertama akan masuk ke dalam selang makan di hidung saya. “Dalam nama Tuhan Yesus,” sambut saya. Kami memahami Tuhan sebagai satu lentera yang sinarnya ditangkap dengan mata dan cara berbeda. Kami sama-sama menempatkan modal spiritual sebagai kekuatan
tenaga medis mengalahkan ketakutan dan pasien melawan virus Covid-19.

“Amin,” “bismillah,” “Tuhan Yesus tolong” adalah bahasa-bahasa yang dipahami dalam agama masing-masing. Inti pesan dalam bahasa universal pada doa-doa kami adalah “Tuhan itu Dokter yang Agung.” Tuhan maha penolong. Agama-agama mengajarnya kemurahan Tuhan ini. Apapun agama itu.

Bahasa agama kami pindahkan ke dalam pemahaman universal. Lalu, kami pindahkan lagi ke bahasa agama masing-masing. Ruang ICU menjadi ruang doa bersama lintas agama. Kami berdoa pada Tuhan yang sama. Meski dipahami dalam bahasa agama dan ritual yang berbeda, Tuhan itu tetap sama. Tuhan yang pengasih dan penyayang.

(bersambung besok)


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button