Pendapat

Mudik dan Pembentukan Kelas Sosial Pamer di Desa

PENDAPAT

Oleh: Ardiman Kelihu (Mahasiswa S2 Fisipol UGM dan Fasilitator pada gerakan Interfaith di Maluku)


Tulisan ini berangkat dari satu pertanyaan penting, mengapa mudik sering menjadi momen membentuk gaya dan gengsi kelas menengah kota di pedesaan? Kasarnya, mengapa orang-orang yang mudik cenderung suka memamerkan gaya dan gengsinya di kampung halaman?

Dari pertanyaan tersebut, tulisan ini juga ingin memeriksa secara cepat kecenderungan memamerkan gaya dan gengsi para pemudik di kampung halaman yang turut berkontribusi  bagi pembentukan kelas menengah baru di desa. Kelas menengah baru ini adalah kelas sosial yang berisi para pemudik yang suka memamerkan gaya dan gengsi di desa, baik melakui penampilan, cara berdandan, cara bicara (logat), besaran penghasilan hingga merk pakaian ternama.

Kelas menengah pamer dalam pengertian ini dikategorikan berdasarkan indikator-indikator sosial-ekonomi sehingga tidak hanya merujuk pada kelompok anak muda dari sisi usia melainkan juga orang tua. Kedua kelas sosial yang berbeda dari segi usia tapi sama-sama suka memamerkan gaya dan gengsi di saat mudik.

Promosi Gaya & Gengsi

Mudik hari ini seolah meruntuhkan tesis klasik Cartesian “aku berpikir maka aku ada”, lalu menggantinya menjadi “aku belanja, maka aku ada”. Hari ini, belanja adalah ritual yang bersisian dengan mudik. Mudik tanpa belanja seolah tak lengkap. Apa-apa yang dibelanjakan oleh para pemudik tidak hanya berguna untuk memenuhi kebutuhan harian melainkan juga untuk memamerkan gaya dan gengsi di kampung halaman.

Orang-orang yang hendak mudik ingin menunjukan barang, gaya dan gengsi bagi orang desa untuk mencirikan dirinya sebagai orang kota. Umumnya dalam bentuk penampilan, merk pakaian, cara bicara, jenis pengetahuan, warna kulit, aroma parfum, hingga jenis barang yang dibawa ke kampung halaman. Para pemudik ini ingin memberi dikotomi yang tegas antara dirinya sebagai orang kota yang terpandang di tengah mayoritas orang desa yang dianggap awam.

Cara kelas menengah kota untuk mengkontraskan dirinya dengan orang-orang di desa turut mempromosikan gaya dan gengsi di pedesaan. Mereka melakukan penetrasi gaya dan gengsi untuk mengoreksi kebiasaan-kebiasaan lama di desa yang diklaim tertinggal sekaligus ingin menunjukan kelebihan dan gengsinya sendiri.

Promosi gaya dan gengsi para pemudik di kampung halaman juga membentuk habitus baru di desa : mulai dari penciptaan imajinasi masyarakat, model interaksi sosial, hingga definisi tentang kemajuan. Sebuah pola negosiasi gaya tubuh dengan lingkungan sosial yang tidak saja berupaya untuk menampilkan gengsi pribadi melainkan juga membandingkan diri sendiri dengan melakukan penilaian-penilaian dan koreksi terhadap gaya atau penampilan orang lain.

Stuart Ewen dalam tulisannya Marketing Dreams : The Political Elements of Style (1990) melihat fenomena semisal, dengan membagi fungsi gaya yang merepresentasikan tiga  (3) hal, diantaranya : pertama, sebagai bentuk konformitas. Melalui gaya, seseorang dapat mengenali tubuhnya sendiri sekaligus menilai orang lain. Kedua, gaya sebagai usaha memahami masyarakat. Melalui gaya, kebiasan dan perubahan-perubahan sosial suatu masyarakat dapat dikenali. Ketiga, gaya sebagai media pembanding untuk mendefinisikan model suatu masyarakat sekaligus menjadi elemen untuk menyadari dunia sosial yang tengah dijalani oleh seseorang. Sehingga,  bagaimanapun gaya dan gengsi yang dipamerkan oleh kelas sosial menengah kota di saat mudik turut membentuk kebiasaan-kebiasaan baru di desa.

Mudik tidak hanya menjadi medium penelusuran seseorang untuk mengenal dan berakrab-akraban dengan akar-akar primordialnya seperti kampung halaman, orang tua, sanak saudara, teman masa kecil ataupun tempat-tempat terkenang selama di desa, melainkan bisa berubah menjadi satu media promosi gaya dan gengsi. Dengan kata lain, mudik dimanipulasi sebagai medium pamer bagi sekelompok kelas menengah kota di depan masyarakat desa.

Mudik yang dimanipulasi sebagai sarana pamer tak lagi dianggap sebagak ritus sosial tradisional, melainkan dikomodifikasi sebagai peristiwa-peristiwa ekonomi dimana pasar dan ekspansi kapitalisme bekerja dengan sangat mengakar hingga ke desa-desa.

mudik
Ilustrasi mudik.(Foto: potretmaluku.id/Embong Salampessy)

Pasar dan kerja-kerja kapitalisme beroperasi dengan memanipulasi gaya dan gengsi sebagai karakter mudik orang-orang desa hari ini. Lihat saja, tradisi mudik hari ini seolah mensyaratkan pamer gaya dan gengsi ketika kembali ke desa. Sebuah peristiwa sosial yang tidak hanya dirayakan sebagai tradisi, melainkan
telah dikapitalisasi sebagai sarana ekspansi kapital dan pembentukan struktur sosial masyarakat desa yang tergantung pada standar-standar pasar yang massif di perkotaan.

Pasar telah menciptakan sebuah gaya hidup di kota yang bergengsi, lalu kelas menengah kota menerjemahkannya melalui mudik yang sarat akan akan pamer. Dalam konteks ini kelas menengah kota, secara tak sadar sedang memperluas kuasa kota atas desa melalui gaya dan gengsi yang dipamerkan setiap kali pulang kampung.

Kota diposisikan secara hirarkis untuk menunjukan daya kuasa dan subordinasinya yang kuat atas desa. Caranya dengan mendistribusikan gaya dan gengsi yang dipamerkan kelas menengah kota kepada orang-orang desa. Ada satu hal yang dibayangkan ketika gengsi dan gaya disebarkan ke orang-orang desa : kebiasaan orang-orang desa tidak ditemukan pada dirinya sendiri, melainkan harus dicontohkan pada orang kota. Kota ingin dipaksakan sebagai referensi tunggal bagi desa.

Padahal keduanya memiliki kontenks yang sangat berbeda. Kota  tidak bersifat superior terhadap desa, melainkan keduanya memiliki relasi yang saling meminjam dan membentuk. Kota berdiri kokoh karena ditopang oleh keberadaan desa, sebaliknya desa menjadi eksis karena interaksinya dengan kota.

Baca Juga: Hidop Baku Sayang

Selain relasi kuasa yang timpang antara kota dan desa, superioritas kota terhadap desa juga berlangsung dengan sangat banal melalui promosi gaya dan gengsi kelas menengah perkotaaan saat mudik. Kebiasaan pamer gaya dan gengsi misalnya, juga menggambarkan kuatnya ekspansi pasar dan kapital yang bergerak dari kota dan menghancurkan intimacy masyarakat desa yang solid, primordial dan polos.

Tatanan masyarakat desa yang intim dieksploitasi oleh rasio kalkulasi pasar yang bekerja secara halus melalui gaya dan gengsi kelas menengah kota. Seolah, gaya dan gengsi yang dihasilkan lewat industri pasar adalah trend terbaru dalam masyarakat terkini yang mesti diikuti oleh orang-orang desa. Orang-orang desa dipaksa menjaga gengsi dan gayanya persis dengan yang ditawarkan pasar di perkotaan, sementara dalam kehidupan hariannya mungkin saja tak mampu memenuhi kebutuhan makan, belanja apalagi bergaya. Orang-orang desa dipaksa untuk menjadi kelas menengah kota yang modern, branded dan instagramable, di tengah keterbatasan dan kerentanan mereka.

Dalih desa sebagai simbol kehangatan dan tempat segala kenangan, dieksploitasi oleh para pemudik untuk memuaskan hasrat pamer sebagai kelas menengah kota yang mewah dan fashionable. Tak jarang ketika mudik, sebagian kelas menengah kota dengan sangat arogan sering menuntut pelayanan yang mewah dan bergengsi kepada orang tua dan masyarakat di kampung halaman, untuk memperlakukannya seperti masyarakat kota umumnya. Semisal, sarapan harus makan roti bakar, bergaya harus branded, hingga berbicara harus menggunakan logat atau dialeg-dialeg tertentu.

Promosi gaya dan gengsi yang demikian tidak saja berkaitan dengan teknik tubuh di ruang publik, khususnya disaat mudik, melainkan juga berlengaruh terhadap pembentukan kelas menengah baru dalam struktur sosial masyarakat desa. Tabiat memamerkan gaya dan gengsi ketika di desa pada akhirnya menciptakan satu kelas menengah baru yang termediasi melalui mudik atau pulang kampung.

Kelas Menengah Baru

Kebiasaan memamerkan gaya dan gengsi di saat mudik turut menciptakan kelas menengah baru di masyarakat desa. Kelas menengah ini datang dari kota untuk merayakan hari raya, bernostalgia sembari menegosiasikan gaya hidup dan gengsinya kepada masyarakat desa. Kelas sosial baru ini sering memberi batas antara masyarakat kampung yang dianggap rendah dan dirinya yang patut memperoleh pengakuan dan hormat.

Gengsi dan kebiasaan memamerkan diri sebagai orang kota telah membentuk karakter mereka sebagai sekelompok orang yang ingin diistimewakan saat pulang kampung. Mereka ingin mendapatkan kemewahan, penghormatan dan pengakuan dengan memanfaatkan mudik. Tujuannya agar bisa memosisikan diri sebagai kelompok sosial yang memiliki gaya dan gengsi yang berbeda dari masyarakat desa umumnya.

Kelas menengah baru yang mudik dan suka pamer kemudian mengisi struktur sosial yang setara dengan para elit desa. Mereka melakukan apa saja yang dianggap wajar menurut seleta masyarakat kota. Ironisnya, kelas menengah baru ini tak jarang memaksakan sejumlah indikator-indikator kota kepada masyarakat desa yang tak pernah mengalaminya.

Mereka memanfaatkan mudik bukan sebagai ajang berakrab-akraban melainkan  sarana untuk memamerkan gengsi dan gaya atau mendikte masyarakat desa mengikuti selera kotanya yang individual, kompetitif, stylish dan angkuh. Mudik pada suatu waktu tidak diartikan sebagai peristiwa psikologis melainkan menjadi kesempatan untuk mengoreksi struktur sosial dan kebiasaan-kebiasaan lama melalui gaya dan gengsi yang mereka perkenalkan saat tiba di kampung halaman.

Terbentuknya kelas menengah baru ini merupakan symptom dari ekspansi pasar yang beroperasi hingga ke desa tatkala waktu mudik tiba. Pasar dengan logika ekonomisnya bekerja melalui gengsi dan gaya pamer para pemudik kemudian membentuk kelas menengah baru di desa.

Masyarakat desa umumnya dibagi ke dalam tiga kelompok : pertama, para elit yang menduduki posisi teratas dalam struktur sosial desa. Mereka ini adalah, kepala desa, para pejabat desa, tetua adat/agama, dan elit desa lainnya. Kedua, kelas menengah, yang terdiri dari para pegawai desa, kelompok orang kaya desa dan pedagang. Ketiga, masyarakat kelas bawah, seperti para pemuda, buruh, petani, para tukang, dan masyarakat biasa.

mudik
Ilustrasi pemudik di bandara.(Foto: Pixabay)

Mudik yang dijadikan sebagai ajang pamer gaya dan gengsi berkontribusi mengisi struktur kelas menengah lama di masyarakat desa. Mereka menjadi kelas menengah baru di desa karena merasa diri berbeda dari mayoritas masyarakat desa kelas bawah yang tertinggal. Mereka menempatkan diri sebagai orang kota yang memiliki sejumlah keistimewaan untuk dihormati karena gaya dan gengsi yang dipamerkan.

Kelas menengah baru ini memperoleh keistimewaan yang relatif singkat karena waktu tinggalnya yang hanya sebentar di desa. Selama masa itu, mereka berusaha memaksimalkan gaya dan gengsi untuk menjadi “orang kota” yang berbeda dengan masyarakat desa.

Tabiat kelas menengah baru yang suka memamerkan gaya dan gengsi saat mudik memang berlangsung singkat, namun penetrasinya sangat berdampak bagi munculnya kerentanan-kerentanan sosial baru di masyarakat desa pasca mudik.

Kerentanan paling dominan adalah kerentanan sosial dan ekonomi. Gaya dan gengsi yang dipaksakan oleh kelas menengah baru di saat mudik, turut menggerus soliditas masyarakat desa yang polos dan komunal. Masyarakat desa secara spontan  menjadi canggung untuk bergaul dengan para pemudik yang telah memberi batas melalui gaya pamer dan gengsi yang tinggi. Keintiman sosial (social intimacy) yang terpelihara sejak lama di desa, mendadak dikoreksi oleh gaya dan gengsi yang dipamerkan oleh para pemudik yang pulang kampung.

Kerentanan kedua yang dibentuk saat mudik oleh kelas menengah baru adalah kerentanan ekonomis. Masyarakat desa didikte melalui gaya dan gengsi para pemudik untuk menjadi kelas menengah kota yang modern dan dihormati . Caranya, dengan mengkonsumsi brand terbaru,  gaya hidup yang sedang trendy dan  berpenampilan yang mahal persis dengan mereka. Dengan kata lain ada impresi tentang pasar, kemewahan serta individualitas yang dipamerkan oleh pemudik ini sebelum kembali ke kota.

Mereka memperluas fantasi tentang kota yang menyediakan segala kenahagiaan dan desa yang diklaim kolot dan sengsara. Kota dijanjikan secara optimis sebagai satu-satunya arena yang menyediakan segala kebutuhan sembari menyembunyikan keluh dan sesak dari aktifitas kota yang sumpek. Sialnya, definisi-definisi tentang kemajuan kota kemudian dipersempit sebatas pertumbuhan industri, investasi ekonomi, pasar dan pembangunan gedung, yang semuanya itu mungkin saja bisa diperoleh dengan mengorbankan tanah-tanah mereka di desa. Jejak kemiskinan, surivavilitas hidup, derita, dan keterpinggiran di kota sengaja disembunyikan untuk memuaskan imajinasi orang-orang desa.

Gaya dan gengsi yang termediasi melalui mudik  tidak saja menciptakan struktur sosial baru yang elitis dalam masyarakat desa, tetapi juga menciptakan kerentanan-kerentanan sosial baru yang kelak mereka tanggung ketika periode pulang kampung telah usai. Mudik yang tadinya berfungsi untuk menelusuri akar-akar primordial  dan keakraban di kampung halaman, tergeser oleh gaya dan gengsi sekelompok kelas menengah pamer yang datang dari perkotaan.(*)

 


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button