Bila ditulis sebuah buku pengajaran tentang kehidupan dari semua nasehat tua di tanah kita, setiap pasal dan ayatnya pasti memuat anjuran untuk “baku sayang” dan larangan “baku mara“.
Apa alasannya? “Katong sakandong” (=kita sekandung), “urut baku urut, ada hubungan dara” (=bila diurut ada hubungan darah/genealogis), “Tete nene baku ade kaka” (=kakek dan nenek punya hubungan adik berkakak).
“Katong sagandong, pela, kaiwai” (=kita gandong, pela, adik kakak). “Katong hidop dalang ikatan ain ni ain, beta ni ale pung sudara, ale tu beta pung sudara” (=kita hidup dalam ikatan yang saling mengakui, menerima dan memiliki) di atas hukum-hukum adat yang suci.
“Katong musti masohi, maren, sosoki, badati” (=kita harus bekerjasama, saling membantu, menolong, melengkapi) karena “basudara“.
Jadi memang “musti baku sayang” (=saling menyayangi/mengasihi) karena tidak ada cara lain yang paling baik untuk menerangkan “katong sakandong” (=kita sekandung). Bahkan “pela itu jadi supaya katong stop baku mara, stop bakupukul, lalu angka sumpa deng janjiang, katong basudara, ade deng kaka” (=pela itu dibentuk supaya kita berhenti saling dendam, bertengkar/perang, dan mengikat janji, kita saudara, adik dan kakak). Ikatan “basudara itu kekal sampe ke ana cucu, seng bole ada yang langgar” (=persaudaraan itu kekal ke anak cucu dan tidak boleh ada yang melanggarinya).
“Seng boleh baku mara, tagal seng boleh laeng binci laeng” (=tidak boleh saling memarahi/memusuhi, karena tidak boleh saling membenci). Bukankah bila ada yang “baku mara” kita dinasehati “pi biking bae” (=pergilah berdamai)? Karena memang “ikatan hidop basudara seng bole putus” (=ikatan hidup persaudaraan tidak boleh putus). Adakalanya pula terucap tanya “su baku bae ka?” (=sudahkah berdamai?) Atau bila ada kemarahan yang berkepanjangan, “baku pukul tar brenti” (=bertengkar terus tiada hentinya), selalu terucap nasehat tua “sampe jua/anana e, sampe jua!” (=Cukuplah/anak-anakku cukuplah!)
Ungkapan itu lahir dari “mama deng papa hati ta iris” (=hati mama dan papa terluka) karena “anana pung baku mara” (=anak-anak saling memarahi).
Lagi-lagi tujuannya agar “basudara hidop baku sayang” (=orang saudara saling menyayangi/mengasihi).
Dalam hal ini, “inga pasang ini” (=ingatlah pesan ini): “”Papa mati ilang hormat, mama mati ilang piara, maar saudara mati seng ada ganti” (=papa mati hilang kehormatan, mama mati hilang kasih sayang, tetapi saudara mati, tidak ada yang menggantikannya).
“Sudara tu sadara! Satu kandung mama, satu kampong, mar jua Pela deng gandong tar pandang suku deng agama, jadi katong/torang samua basudara” (=saudara itu sedarah! Sekandung mama, sekampung, tetapi juga pela dan gandong tanpa memandang suku dan agama, jadi kita semua saudara).
Jadi “hidop bakusayang e”!
Senin, 10 Mei 2021
Pastori Jemaat GPM Bethania, Dana Kopra-Ambon
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi