Menebak Kehancuran Birokrasi Professional Pada Pileg Dan Pilkada 2024 Di Maluku
- Individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individu dalam jabatannya;
- Jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarki dari atas ke bawah dan ke samping;
- Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik berbeda satu sama lainnya;
- Setiap jabatan mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan;
- Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, idealnya hal tersebut dilakukan melalui ujian yang kompetitif;
- Setiap pejabat mempunyai gaji, termasuk hak untuk menerima pensiun sesuai dengan tingkatan hierarki jabatan yang disandangnya;
- Terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi berdasarkan senioritas dan merit sesuai dengan pertimbangan yang obyektif;
- Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya dan resources instansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya;
- Setiap pejabat berada dibawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem yang dijalankan secara disiplin
Ketika ciri-ciri di atas terlalu jauh ditinggalkan maka menurut Weber yang terjadi adalah terbentuknya birokrasi patrimonial. Weber menjelaskan ada tiga perbedaan antara birokrasi modern dengan birokrasi patrimonial.
Unsur pertama, klientisme, istilah ini merujuk pada hubungan kekuasaan yang dibangun penguasa dengan kekuatan lingkungan di sekitarnya. Dalam birokrasi modern pusat loyalitas ada pada impersonal order dalam hal ini hukum yang mengatur segala-galanya. Tapi dalam klientelisme loyalitas ada pada diri atasan.
Kedua, dalam birokrasi modern hubungan antara penguasa dengan lingkungannya lebih bersifat legal rasional dan terbuka namun dalam birokrasi patrimonial hubungan bersifat patron klien, loyalitas ada pada atasan dan dibangun oleh kharisma individu atasan atau pengaruh dari aspek material yang dimiliki oleh pimpinan.
Ketiga menurut birokrasi modern adalah dipisahkannya ruang formal dan ruang personal sedangkan birokrasi patrimonial didasarkan pada hubungan emosional dan non formal (Latuconsina , 2008).
Kondisi seperti ini rentan terjadi politisasi terhadap birokrasi, apalagi bila dikaitkan kehidupan politik saat ini dimana pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh masyarakat, bahwa situasi politik baru yang demokratis justru memperkokoh praktik politik patronase, yang melibatkan bukan saja para elit politik dominan tetapi juga kelompok kelompok aristokrasi lama di tingkat lokal.
Praktik patronase itu bahkan saling memperkuat dengan munculnya kembali ikatan-ikatan primordial lama seperti etnisitas dan agama sebagai basis artikulasi dan mobilisasi politik dalam proses proses elektoral, khususnya di tingkat lokal.
Dinamika ini kemudian saya dapatkan pada hasil riset tahun 2020 dalam pilkada Buru Selatan tahun 2020 terjadi politisasi birokrasi dalam bentuk dukungan birokrasi terhadap kemenangan pasangan SMS-GES.
Hal ini terbukti dari mutasi sebelum dan sesudah pilkada yang tidak mencerminkan aspek profesionalisme namun semata mencerminkan hubungan patrimonial antara petahana sebagai patron dan para birokrat sebagai klien. Indikasi lain adalah dipergunakannya sumber daya yang dimiliki daerah untuk membangun pencitraan petahana.
Kondisi ini sulit ditangani karena cenderung berada di luar wilayah penegakan hukum pilkada dan juga lemahnya wewenang yang dimiliki oleh Panwas pilkada. Politisasi birokrasi semakin menjauhkan cita-cita membangun birokrasi yang profesional. Politisasi birokrasi oleh petahana menyuburkan budaya patrimonial dan spoil system serta menghancurkan upaya membangun birokrasi profesional.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi