
Catatan Ikhsan Tualeka (Pegiat Perubahan Sosial)
Petualangan ini bukan sekadar perjalanan biasa. Ini adalah cerita tentang keberanian, kegigihan, dan takdir yang membawa saya ke salah satu puncak tertinggi dunia, Carstensz Pyramid, yang terletak di tanah Papua.
Bagi para pendaki, menaklukkan Carstensz adalah pencapaian monumental, bagian dari perjalanan menuntaskan “The Seven Summits” – tujuh puncak tertinggi di dunia.
Selain Carstensz di Indonesia, tujuh puncak itu meliputi Everest di Nepal, Elbrus di Rusia, Vinson Massif di Antartika, Aconcagua di Argentina, Denali di Alaska, dan Kilimanjaro di Afrika.
Namun, bicara soal tantangan, banyak yang berpendapat bahwa Carstensz Pyramid menawarkan medan yang lebih menakutkan daripada Everest. Inilah kisah saya.

Menuju Destinasi Impian
Oktober lalu, saya bergabung dengan para pendaki dari berbagai negara yang sudah lama menanti momen ini. Setelah lebih dari lima tahun Carstensz Pyramid ditutup untuk umum, akhirnya puncak tertinggi Indonesia ini dibuka kembali.
Sebagian besar dari mereka datang untuk menuntaskan mimpi menyelesaikan “The Seven Summits”. Carstensz, sebagai penutup, adalah primadona bagi pendaki dunia.
Tapi, perjalanan ini bukan hanya soal fisik. Ada harga mahal yang harus dibayar, terutama jika menggunakan jalur premium.
Pendaki internasional biasanya mengeluarkan sekitar 140 juta rupiah untuk jasa agen yang menyiapkan semua kebutuhan, termasuk pemandu profesional.
Bagi yang ingin hemat, ada opsi jalur darat dari Timika ke Tembagapura, dengan biaya sekitar 50-60 juta rupiah. Namun, jalur ini membutuhkan izin khusus dari Freeport, yang kadang membuat pendaki harus “bermain” dengan jalur tak resmi.
Saya memilih jalur premium. Dari Timika, helikopter membawa kami langsung ke Yellow Valley atau Lembah Kuning – basecamp yang berada tepat di kaki Puncak Carstensz.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi