Dezelfde Straat Die Naar Het Ziekenhuis Leid (Jalan yang Sama yang Menuju ke Rumah Sakit)*
MEMOIR SINGKAT
Saat pertama ditugaskan di pedalaman Teluk Bintuni, Pater Ton berjumpa dengan Pater Bernandus Noords, O.S.A. Selama hampir empat tahun, Pater Ton menjadi asisten Pastor Paroki di tengah hutan kawasan Teluk McCluer, Teluk Bintuni. Dalam kata-katanya sendiri, Pater Ton menerangkan:
“When I arrived, it was straight to a jungle parish for me – three and a half years in 1970-1973 as the assistant parish priest in Bintuni, at the MacCluer Gulf, the southern part of the so-called Bird’s Head on any map of Indonesia.
The pastor there was Fr Ben (Bernardus) Noords O.S.A., the only European in the area. He already had been there for eight years. It was unfortunate that Bintuni in those years was the only parish/mission in the diocese that had no Religious Sisters.
Baca Juga: Jejak Perang Pasifik di Babo*)
Bintuni was then a town of approximately 3,000 people (now 15,000). As outstations, there were about thirty villages, twenty of them Catholic, with approximately another 15,000 people. It is a coastal town at the mouth of the Bintuni River near the Bintuni Bay or MacCluer Gulf. From Bintuni we had to minister to about twenty villages located along the rivers of the north and south coast of Bintuni Bay.
Some villages could only be reached by boat, and others only by trekking through the jungle. The people had dug-out wooden canoes. The Church had its own motorboat with a pair of thirty-horsepower engines, and it could carry about fifty tons of freight. The government, police and military had no boat; they had to ask for assistance from the Church.”
Terkait dengan sarana transportasi, Pater Ton menggambarkan sebagai berikut:
“Sebuah kapal perintis dari Sorong akan singgah sekitar dua bulan sekali. Keuskupan Katolik di Papua Barat memiliki pesawat ringan sendiri, pada tahun-tahun itu tiga atau empat Cessna 185 beroperasi sebagai Associated Mission Aviation (AMA). Sebuah pesawat Cessna datang ke Bintuni sekali atau dua kali setiap dua bulan. Pendeta harus memotong landasan rumput (800 kali 40 meter) setiap dua atau tiga minggu.”
Menurutnya, tidak ada layanan listrik di Bintuni. Namun, kompleks gereja memiliki generatornya sendiri; selain itu, dua toko Cina memiliki satu-satunya generator lain di distrik tersebut. Juga tidak ada pasokan air umum (PDAM); kita harus menggali sumur sendiri, menampung air hujan, atau mengambil air minum dari sungai terdekat, seperti yang dilakukan setiap desa.
Baca Juga: Mengenang Kembali Revolusi Kain Timor di Ayamaru Papua Barat
Mengenai makanan, Pater Ton menyebutkan bahwa makanan lokal, atau makanan pokoknya adalah sagu (tepung pohon sagu) dan ubi jalar, ubi dan singkong; kami punya banyak ikan, dan sesekali babi atau rusa. Beras diimpor, tetapi tidak cukup bagi kami untuk bisa makan setiap hari. Semuanya sangat mendasar, misalnya, setelah kami tidak memiliki gula selama beberapa bulan, tetapi kami memiliki batang tebu.
“Kami mencoba mengunjungi setiap desa setidaknya setiap tiga bulan sekali. Gaji untuk para guru (juga untuk para guru di sekolah negeri) diberikan oleh pastor paroki selama kunjungannya ke desa-desa. Pendeta juga membawa perbekalan untuk guru-keluarga dan katekis (apa saja yang dapat Anda pikirkan, dari parang besi dan kapak hingga pakaian dalam, dari permen hingga kail, dll).”
Menurut Pater yang gemar membaca dan menulis reportase tersebut, bagian dari pekerjaan penggembalaan terdiri dari perdagangan, berurusan dengan persediaan makanan, konstruksi dan pemeliharaan mesin dan bangunan. Sebagian waktu dihabiskan untuk komunikasi, berjalan-jalan di hutan, bepergian dengan perahu, memotong rumput di lapangan terbang, memperbaiki mesin pemotong rumput dan generator, berurusan dengan solar dan minyak tanah (sering dikirim dengan pesawat terbang).
PERKEMBANGAN ORDO SANTO AGUSTINUS DI TANAH PAPUA
Yesuit Belanda Cornelis Le Cocq d’Armandville (1844–1896) adalah orang pertama yang membawa iman di Nederlandse New Guinea pada abad ke-19. Atas permintaan beberapa kepala suku dari Irian untuk membuka sekolah secara khusus, ia mendirikan sekolah pertama di dekat Fak-Fak, yang berasal dari Kepulauan Kei.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi