Dezelfde Straat Die Naar Het Ziekenhuis Leid (Jalan yang Sama yang Menuju ke Rumah Sakit)*
MEMOIR SINGKAT
“Mijn aanstelling bij de Nederlandse Augustijner Missie in Papoea kwam niet als een verrassing en accepteerde ik als een uitnodigend avontuur. Twee jaar voor mijn priesterwijding was besloten dat ik daarheen zou gaan, en mijn seminarieprogramma werd toen uitgebreid met culturele antropologie, taalstudie, een medische cursus, enz.”
Oleh: Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan**)
53 TAHUN MELAYANI UMAT KATOLIK DI PAPUA BARAT
Pada 2020 lalu, Pater Anton Tromp, O.S.A. atau lengkapnya Pater Anton Bartolomeus Maria Tromp, O.S.A. genap memasuki 50 tahun (golden jubilee) pelayanan missi di Tanah Papua. Lelaki kelahiran Belanda pada 20 Maret 1945 itu, menerima panggilan kerasulan untuk di Tanah Papua sejak 1970. Saat kewafatannya pada Senin, 8 Mei 2023, Pater Ton –demikian ia dipanggil– genap berusia 78 tahun.
Nama Bartolomeus yang melekat pada nama lengkapnya berasal dari bahasa Arami, bar tolmay. Kata itu berarti “Putra Tolmay”. Bartolomeus dikenal juga dengan sebutan Natanael dalam Injil Yohanes Pasal 2. Bartolomeus berasal dari Kota Kana, Propinsi Galilea, Israel Utara.
Menurut kisah, Bartolomeus wafat di Albanopolis, Armenia. Bartolomeus merupakan pelindung bagi Armenia, penyamak kulit, penjahit sepatu, penjual buku dan penjual daging.
Baca Juga: 1 Mei 1963, Hari Pembebasan Irian Barat yang Mulai Terlupakan
Sedangkan nama Maria, tentulah nama Bunda Maria, yang dalam bahasa Ibrani berarti: “wanita bangsawan”, “saleh” dan “bintang laut”. Pastilah Bunda Maria yang dimaksud adalah matrekokos atau theotokos dari Yesus Kristus. Dalam Perjanjian Baru, ada beberapa sosok yang disebut Maria. Misalnya, Maria Betania, Maria Magdalena dan Maria Kleofas.
Menurut tuturan Pater Tromp sendiri, panggilannya ke Tanah Papua, bukanlah sesuatu yang istimewa. Mengapa? Dalam salah satu tulisannya, Pater Ton menulis:
“Mijn aanstelling bij de Nederlandse Augustijner Missie in Papoea kwam niet als een verrassing en accepteerde ik als een uitnodigend avontuur. Twee jaar voor mijn priesterwijding was besloten dat ik daarheen zou gaan, en mijn seminarieprogramma werd toen uitgebreid met culturele antropologie, taalstudie, een medische cursus, enz.”
Pater Ton menyatakan, bahwa “Penunjukan saya ke Misi Augustinian Belanda di Papua tidak mengherankan, dan saya menerimanya sebagai sebuah petualangan yang menantang.
Dua tahun sebelum pentahbisan imamat saya, telah diputuskan bahwa saya akan pergi ke sana, dan program pendidikan seminari saya kemudian diperluas hingga mencakup antropologi budaya, studi bahasa, kursus kedokteran dan lain-lain.”
Karena saat itu Pater Ton masih baru berusia 24 tahun, maka beliau banyak belajar dengan membaca buku-buku mengenai Papua dan juga menggali pengalaman dari para missionaris senior. Dalam kata-kata Pater Ton sendiri disebutkan:
“Voor mijn inburgering in West-Papoea heb ik veel gelezen en geluisterd naar ervaren zendelingen. Ik probeerde geen vooroordelen te hebben, open te staan, gewoon ‘aanwezig’ te zijn en alles in me op te nemen. Meer luisteren dan praten, en meer vragen dan antwoorden.”
Berdasarkan hasil kesepakatan antara Provinsial dan Keuskupan Manokwari, maka setelah tiga atau empat tahun ditugaskan di Bintuni, Papua Barat, Pater Ton akan melanjutkan pendidikan lagi. Tentu saja suatu pendidikan yang akan membantunya dalam pekerjaan missi di Tanah Papua. Akhirnya gelar Master Sosiologi pun diraih oleh Pater Ton dari The Asian Social Institute Manila, Filipina.
PELAYANAN AWAL PATER ANTON TROMP, O.S.A. DI TELUK BINTUNI
Pater Ton dikenal sebagai seorang pendidik dan pekerja keras. Meskipun beliau bukan orang pertama yang merintis, namun kiprah dalam bidang pendidikan dikenal secara luas di Tanah Papua khususnya di Vogelkop (Kepala Burung). Saat pertama kali ditugaskan sebagai missionaris di Teluk Bintuni, Ordo Santo Agustinus (Augustinian) memang sudah berkembang. Beberapa pendahulunya telah berkarya di sini.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi