Pendidikan & Kesehatan

Diberi Gelar Doctor of Divinity Honoris Causa pada Wisuda Virtual Hartford Seminary 2021, Ini yang Disampaikan Jacky Manuputty

potretmaluku.id – Upacara Wisuda Virtual Hartford Seminary tahun 2021, tidak hanya membuat bangga Maluku, namun juga Indonesia, sebab acara yang digelar Sabtu dini hari (22/5/2021) pukul 01.00 WIT ini,  menampilkan aktivis perdamaian asal Maluku, Jacklevyn Fritz Manuputty sebagai pembicara utama.

Lelaki yang akrab disapa Jacky ini, oleh Presiden Hartford Seminary Amerika Serikat, Prof.Dr. Joel N. Lohr diberi gelar Doctor of Divinity Honoris Causa.

Saat tampil sebagai pembicara utama, di awal penuturannya, Jacky yang dikenal juga sebagai inisitor gerakan Peace Provocateur di Maluku ini, lebih banyak memberikan apresiasi kepada Hartford Seminary, yang menjadi tempat dimana dirinya dan banyak international students belajar secara akademis, tetapi juga menemukan keluarga lintas agama dan etnis yang sangat ramah.

Dia menyebutkan, Hartford Seminary itu institusi kecil secara ukuran, dan mahasiswanya tak sampai 1000 orang, tetapi dikenal sebagai institusi terkemuka di Amerika dalam sejarah study Islam dan relasi antar agama.

Di Hartford Seminary, Jacky mengaku, bisa buktikan bahwa pertemanan yang akrab bisa melintasi batas-batas perbedaan agama dan etnis. Dirinya menemukan 9 perempuan Syria Muslim yang sangat ketat dalam ajaran dan aturan Islam selama study di sana.

“Saya memanggil mereka Syrian Mafia Group, dan mereka minta saya menjadi ketua dari Syrian Mafia Group,” ungkap Sekretaris Umum (Sekum) PGI ini.

Jacky mengaku tidak bisa bersalaman dengan temann-temannya dari Syrian Mafia Group tersebut, tetapi mereka menganggap dirinya sebagai saudara laki-laki mereka. Dan katakan jika suatu waktu Jacky ke Syria dirinya harus tahu bahwa dia punya keluarga-keluarga ada di sana.

“Hal ini membuktikan bahwa perbedaan agama dan etnis tak bisa menghalangi kami untuk jadi teman maupun saudara,” ujarnya.

Pada bagian berikutnya, Jacky bercerita mengenai perjalanannya sejak selesai di Hartford Seminary, pada awal 2011. “Saya kembali ke Ambon dan bekerja di Gereja Protestan Maluku (GPM). Saat itu konflik dalam skala kecil terjadi lagi. Saya dan teman-teman muda membentuk Peace Provocateur, dan memprovokasi orang-orang untuk membagi damai di ruang publik,” ungkapnya.

Kerja-kerja perdamaian itu, kata Jacky, memperoleh penghargaan Tanenbaum Peacemakers in Action pada tahun 2021 di New York City (NYC). Melalui penghargaan ini pula, dirinya lantas bisa dapat ruang international yang lebih luas, untuk memperkenalkan model-model perdamaian dari Maluku, sekaligus dirinya berkesempatan belajar dari peacemakers lain dari berbagai negara.

Pada tahun 2017, Jacky terpilih untuk menjadi asisten Utusan Khusus Presiden untuk Dialog Antaragama dan Kerjasama Antar-Peradaban. Presiden memberi 3 mandat, antara lain: Promosikan dialog antaragama berbasis karakter budaya Indonesia; Promosikan Islam Wassatiyah/ Islam Jalan Tengah; Promosikan Dialog Antar-Peradaban.

“Dengan tugas itu saya banyak ke luar negeri, maupun ke berbagai daerah di Indonesia. Indonesia punya modal sosial yang sangat besar untuk gelorakan dialog dan perdamaian dunia, sekalipun tak bisa disangkal bahwa dalam dua dekade terakhir intoleransi berkembang pesatr di Indonesia,” paparnya.

Jacky juga berkesempatan mewakili Indonesia untuk merima penghargaan mewakili Indonesia secara langsung dari Raja Jordania, di Amman Jordan, pada tahun 2018, yang diberikan kepada Indonesia terkait pekan World Interfaith Harmony Weeks yang disponsori oleh Raja Jordania.

Selanjutnya pada 2019 Jacky terpilih sebagai Sekum PGI, dan meninggalkan Kantor Utusan Khusus Presiden. “Kerja di PGI sangat menantang, terutama saat terjadinya Pandemi Covid19. Relasi-relasi antarmanusia mengalami digitize dan ini merubah pola-pola hubungan serta manajemen kerja klasisk pada segala aras, termasuk model-model kerja dialog antaragama dan peacebuildings,” ungkapnya.

Dalam kondisi ini, kata Jacky, agama-agama dituntut untuk menafsirkan ulang konsep-konsep teologia mengenai waktu, persekutuan, maupun tempat. Bagaimanapun tantangan pandemic ini mengkonfirmasi satu hal mendasar, bahwa sebagai manusia kita sangat rapuh, apapun latarbelakan kita.

Pada level kerapuhan yang sama itu, menurut Jacky, kita tak punya pilihan lain selain membagi diri kita untuk menjadi sahabat bagi orang lain. Kerapuhan dan persahabatan harus menjadi diksi yang diarusutamakan sebagai narasi bersama manusia dalam situasi saat ini.

“Sepanjang perjalanan saya meninggalkan Hartford Seminary, saya telah menemukan bahwa dialog dan kerjasama antaragama, tidaklah semata-mata berkutat dengan diskursus teologia. Saya mengelola dialog dan kerjasama antaragama sebagai seni membangun jembatan diantara orang-orang dari latar belakang yang berbeda,” tuturnya.

Dialog antaragama itu, disebut Jacky, membutuhkan waktu panjang terkait proses interaksi dan keterlibatan. Dialog tidak melulu terkait apa yang didialogan, tetapi juga menyangkut proses penerimaan dan merangkul orang lain sebagai sahabat.

Proses itu, lanjut Jacky, mengisyaratkan kerjasama antarberbagai pihak. Itu mungkin terjadi jika seseorang menerima perbedaan serta merangkul kemajemukan sebagai sunatullah.

“Proses menerima orang lain bukanlah sesuatu yang harus dipelajari semata sebagai konsep akademis, karena orang perlu juga mempraktekannya dengan kesabaran dan kemurahan hati,” terangnya.

Jacky menutup penuturannya dengan menggaris-bawahi bahwa dirinya setuju dengan apa yang disampaikan oleh Prof. Hans Kung, bahwa “Tidak ada perdamaian diantara bangsa-bangsa tanpa perdamaian diantara agama-agama. Tidak ada perdamaian diantara agama-agama, tanpa dialog diantara agama-agama”.

Dia menambahkan dari pengalamannya bahwa, “Persahabatan harus menjadi jangkar dari dialog antaragama. Dialog antaragama akan efektif untuk membangun perdamaian jika ia turut memperkuat persahabatan antaragama”.(PM-05)


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button