Keadilan Restoratif dan Penanganan Konflik Kekerasan yang Melibatkan Anak
PENDAPAT
Oleh: Dawan Pribadi (Pembimbing Kemasyarakatan, tinggal di Ambon)
Konflik merupakan fenomena sosial yang sangat lazim ditemukan di berbagai lapisan masyarakat. Pada masyarakat dengan tingkat diversity yang tinggi membuka ruang untuk terjadinya konflik. Konflik komunal yang terjadi di Indonesia ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Artinya, tidak serta merta bahwa konflik tersebut ansih merupakan konflik yang didasarkan pada perbedaan identitas kelompok (etinis, suku, agama).
Kasus-kasus konflik yang terjadi di Indonesia justru sangat kompleks. Dalam penelitiannya di India, Jaideep Gupte (2012) memandang bahwa pertama, tindakan kekerasan kolektif (collective violence) tetap dilakukan oleh individu. Kedua, bahwa orang-orang dipengaruhi oleh berbagai motivasi dan dorongan, yang dapat mencakup dimensi psikologis, ekonomi, sosial maupun politik.
Konflik kekerasan dalam skala kecil seperti tawuran antar geng motor, pelajar, maupun perkelahian antar warga memungkinkan didorong oleh dimensi-dimensi tersebut. Perilaku konflik kekerasan tidak hanya melibatkan pelaku dewasa, namun turut menyertakan anak sebagai pelaku tindak kriminal ini yang justru jumlahnya cukup banyak.
Menurut Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Putu Elvina dalam wawancaranya dengan Kompas menjelaskan bahwa penyebab konflik kekerasan yang melibatkan anak adalah krisis identitas. Pada saat krisis identitas, mereka akan mengelompokan diri pada kelompok tertentu untuk mudah menguatkan eksistensi mereka. Semakin viral eksistensi mereka, mereka dianggap diakui, disegani, dan ditakuti dalam konteks negatif.
Kini, modus tawuran menjadi saling olok di media sosial yang bisa berakhir dengan saling melukai antarkelompok berseteru. Apalagi pada kelompok itu melibatkan anak-anak yang masih dalam masa pencarian jati diri, sehingga memerlukan kelompok yang menguatkan eksistensi mereka. Selain itu, kultur kekerasan dan heroisme di dalam masyarakat ternyata telah terpelihara dan tersosialisasi terhadap Anak.
Tak sedikit anak yang terlibat tindak kejahatan ini harus berhadapan langsung dengan hukum. Tentu, untuk kasus pidana anak harus diproses dengan sistem pidana anak. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan tegas menerangkan bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif.
Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Jadi, bagaimana penerapan Keadilan Restoratif dalam penanganan kejahatan kekerasan yang melibatkan anak?
Thamrin Tomagola menyatakan bahwa keadaan konflik adalah hal yang lumrah dalam kehidupan bersama dan karena itu tidak perlu dihindari, tapi yang perlu dan yang harus dihindari adalah penyelesaian konflik dengan kekerasan fisik (violent physical conflict) (dalam Alpha Amirrachman, et.al., 2007: 283). Hadirnya pendekatan Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana Anak dapat menjawabnya.
Salah satu wujud dari pendekatan ini terlihat dalam proses yang disebut Diversi, yaitu pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Setiap penetapan dalam Diversi merupakan wujud dari Keadilan Restoratif. Selain itu, apabila proses Diversi gagal ataupun tidak memenuhi syarat untuk Diversi, maka Hakim mengupayakan putusan dengan pendekatan Keadilan Restoratif sesuai dengan UU nomor 11 tahun 2012.
Pelaksanaan Diversi menghendaki adanya kompromi dalam pencapaian kesepakatan antara pihak korban dan pelaku anak yang mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak. Diversi menghadirkan berbagai ide atau pendapat bukan hanya dari pihak korban dan pelaku anak, namun juga menghadirkan ide atau pendapat dari pihak-pihak atau perwakilan-perwakilan lembaga yang berkaitan dalam rangka pencapaian kesepakatan Diversi.
Dalam mewujudkan Keadilan Restoratif, peran lembaga-lembaga seperti ini tidak dapat dilepaspisahkan dalam proses mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Kepentingan terbaik bagi anak adalah hal yang paling utama dalam mengeluarkan keputusan-keputusan ini.
Untuk itulah, dalam proses musyawarah untuk mencapai kesepakatan Diversi misalnya, buah pikir atau sumbangsih pemikiran dari seorang pimpinan/tokoh yang merepresentatif lembaga-lembaga tersebut menjadi penting untuk menjadi bahan pertimbangan untuk kepentingan terbaik bagi anak. Selain itu, tindakan pencegahan dalam manajemen konflik kekerasan yang melibatkan anak diutamakan pendekatan edukatif yang bisa didapat dari keluarga, lembaga pendidikan, dan lembaga pemerintah lainnya.
Lembaga formal yang punya kekuasaan dan sumber daya dalam manajemen konflik adalah pihak aparat dan pemerintah karena memiliki wewenang. Namun dalam kenyataanya, peran lembaga keagamaan, lembaga adat, maupun lembaga informal seperti keluarga dan masyarakat juga mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam manajemen konflik kekerasan yang melibatkan anak. Dalam hal ini, pimpinan atau tokoh dalam suatu lembaga harus berperan aktif dalam manajemen konflik kekerasan yang melibatkan Anak.
Secara teoritis, Lewis Coser menjelaskan bahwa kapasitas pemimpin membujuk pengikutnya untuk mengakhiri konflik yang berkaitan dengan sentralisasi kekuasaan dan integrasi dalam partai-partai konflik juga dapat menentukan dipersingkatnya suatu konflik (Turner, 1998: 174). Pemimpin juga dapat dilihat sebagai orang ketiga yang berperan dalam de-eskalasi konflik melalui peran lembaga formal dan informal. Pemimpin yang karismatik dan dihormati seperti orang tua, anggota kepolisian, kepala sekolah, tokoh masyarakat, bahkan seorang tokoh agama dianggap mampu untuk meminimalisir konflik kekerasan yang terjadi.
Masyarakat dapat berperan dalam upaya intervensi untuk mencegah maupun menyelesaikan tindak kejahatan kekerasan yang melibatkan anak di lingkungannya. Cara yang bisa dilakukan, dimulai dengan mengidentifikasi adanya kelompok atau geng anarkis di lingkungannya, terutama yang melibatkan anak-anak di dalamnya. Proses manajemen konflik terletak pada pihak yang memiliki kekuasaan dan sumber daya yang cukup untuk menekan perilaku berkonflik.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, lembaga formal maupun informal adalah pihak yang memiliki kekuasaan dan sumber daya serta dapat memainkan peran dalam manajemen konflik tersebut. Dengan penggunaan langkah yang tepat dan strategis, lembaga dengan kekuasaan dan sumber dayanya dapat berperan dengan sangat efektif. Mereka yang mempunyai kekuasaan dan sumber daya yang cukup ini merupakan letak dasar dalam penanganan konflik kekerasan yang melibatkan anak.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi