Sudah saatnya kita tidak perlu lagi memperpanjang debat mengenai covid-19 antara ada dan tiada, realitias atau konspirasi. Sebab dari hari ke hari data suspect, orang terkonfirmasi, yang dalam perawatan, dan yang meninggal bertambah, walau begitu memang harus ada pengharapan dari dalam diri sebab angka kesembuhan pun terbilang tinggi.
Data yang kami himpun dari beberapa sumber menggambarkan bahwa sejak awal Juli 2021 ini terjadi tambahan kasus di semua Kabupaten/Kota, bahkan telah menjangkau pulau-pulau seperti Tarangan di Aru Selatan dan Damer sebagai pulau-pulau yang pada tahun 2020 tidak ada kasus terkonfirmasi. Jumlah kasus per-1 Juli 2021 adalah 8.895 dan sampai 21 Juli 2021 menjadi 12.762, atau bertambah 3.897, dan pada tanggal 11 – 15 Juli 2021 terdapat lonjakan kasus harian tertinggi, dengan angka kematian tertinggi mencapai 6 orang dalam 1 hari.
Ada dua kabupaten/kota dengan angka konfirmasi tinggi yaitu Ambon dan Kepulauan Aru, di mana sampai 21 Juli, jumlah kasus di Ambon adalah 8.189 dan Aru 1,399 dari total kasus 12.762. Sedangkan angka kematian tertinggi terjadi di Ambon yakni 139 dan Maluku Tengah 25. Mengenai tinkgkat kesembuhan, tertinggi terjadi di Ambon yaitu 5.304, namun angka yang menggembirakan sebenarnya terjadi di beberapa Kabupaten seperti Maluku Barat Daya, yang sembuh 160 dari 182 kasus, Kepulauan Tanimbar, yang sembuh 546 dari 635 kasus, dan Maluku Tenggara, 221 dari 287 kasus. Secara umum di Maluku sebenarnya terdapat 66% angka kesembuhan, 33% angka yang dalam perawatan dan 1% yang meninggal dari total seluruh kasus di seluruh kabupaten/kota.
Ambon merupakan klaster terbesar dań jumlah yang dirawat saat ini berkisar antara 66% dari seluruh total kasus. Walau tersedia instalasi Kesehatan sebagai pusat rujukan covid-19 terbanyak dan terbaik di Provinsi Maluku, namun ada fakta yang memprihatinkan karena rasio tempat tidur terbatas di beberapa Rumah Sakit termasuk RSUD Dr. M. Haulussy, dan jumlah tenaga dokter dan tenaga medis yang terpapar juga terbilang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari terhentinya pelayanan di beberapa Puskesmas dan Rumah Sakit.
Kami sedang menghimpun data jumlah masyarakat yang sudah divaksin, termasuk para Pendeta GPM. Harapannya ialah dari data itu, ketika dibandingkan angka yang sudah divaksin dan kasus kesembuhan, secara populatif sudah bisa dihitung kemampuan masyarakat menghadapi covid-19. Apa yang ditengarai sebagai kekebalan komunitas atau herd immunity itu merupakan suatu kondis yang diharapkan segera dicapai sehingga kita bisa menghadapi covid-19 dengan memaksimalkan kemampuan dari dalam yaitu ketangguhan masyarakat di setiap wilayah.
BUTUH KERJASAMA
Covid-19 adalah pandemik dalam arti terjadi secara global. Kami kira literasi tentang covid-19 sudah sangat memadai. Tiap hari kita menyaksikan dań mendengar ada yang sakit dan dalam perawatan, termasuk para dokter dan tenaga medis. Ada pula yang meninggal. Dan tidak ada orang yang merencanakan agar dirinya terkonfirmasi, kecuali karena kondisi tertentu ia terpapar, seperti karena sakit atau interaksi tinggi dengan yang terkonfirmasi.
Kita semua ingin agar situasi ini dapat dikendalikan. Cara mengendalikannya adalah mematuhi protokol Kesehatan dan mengikuti semua anjuran medis, termasuk vaksin. Sebab tanpa itu akan sulit atau lambat kita mencapai kekebalan imunitas. Sudah tentu kita tidak menginginkan situasi ini bertambah buruk, sebab jika para dokter dan tenaga medis terpapar dan Rumah Sakit tidak sanggup menampung pasien umum maupun covid-19, maka mau tidak mau kita harus menolong diri sendiri.
Dalam situasi itu dibutuhkan suatu masyarakat yang sadar pandemik dan memiliki solidaritas sosial yang kondusif. Masyarakat yang sadar pandemik itu akan dapat terbentuk dengan pertama-tama ada kesadaran untuk mencegah terjadi interaksi ketika seorang individu merasa sedang terganggu kesehatan dan bertindak secara mandiri untuk memulihkan kondisi kesehatannya. Isolasi Mandiri adalah salah satu bentuk ke arah itu dan harus dengan bimbingan atau pantauan tenaga medis.
Sedangkan masyarakat yang memiliki solidarity’s sosial yang kondusif terbentuk ketika terbangun relasi-pertolongan dalam arti adagia keberpihakan, kepedulian, empati kapada mereka yang terkonfirmasi dan gerakan bersama mengatasi dampak sosial dan ekonomi dari pandemik itu sendiri. Sebab dalam pandemik, kesulitan ekonomi sudah menjadi suatu fakta yang tidak terhindarkan. Apalagi pembatasan jam dan jumlah pekerja harus dilakukan di lembaga pemerintah dan Shasta, sektor jasa menjadi lumpuh, pekerja harian kehilangan sumber pendapatannya. Ini bisa menjadi pemicu orang melanggari aturan atau protokol Kesehatan dengan alasan ekonomi/konsumsi harian. Maka butuh masyarakat yang memiliki solidaritas yang kondusif.
Pada kondisi itu, inervensi pemerintah melalui jaring pengaman sosial selain harus dilakukan secara sungguh-sungguh tetapi juga membutuhkan dukungan dari berbagai kalangan, entah itu pihak korporasi yang selama ini mengelola potensi-potensi sumber daya alam dan kapital publik, dan juga lembaga agama.
Gereja dan lembaga-lembaga agama mesti memainkan pera dalam usaha membentuk dua kendisi masyarakat tadi, karena usaha membentuk level kesadaran merupakan domain penting yang bisa berjalan efektif melalui lembaga agama. Bagi GPM, selain edukasi tentang covid-19, anjuran vaksinasi, diakonia gereja merupakan langkah konkrit yang harus terus digalakan secara mandiri di Jemaat-jemaat guna mengatasi dampak sosial-ekonomi dari pandemik ini, seperti sudah dilakukan sejak 2020 yang lalu.
Penulis: Pdt. Elifas Tomix Maspaitella (Ketua MPH Sinode Gereja Protestan Maluku)
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi