
Asap hitam mengepul dari atap-atap rumah di Hunuth, Ambon. Puluhan rumah hangus terbakar, ratusan orang mengungsi. Semua bermula dari tawuran pelajar yang melebar menjadi amuk warga.
Hanya tiga pekan berselang, kabar duka datang dari Pulau Haruku. Dua desa bertetangga saling serang setelah sebuah penganiayaan oleh orang tak dikenal di depan Pelabuhan Feri Wainana. Satu orang tewas, lima lainnya luka-luka.
Pemandangan ini seperti deja vu: potret lama yang diputar ulang dengan wajah baru. Ironisnya, Maluku selalu menggaungkan jargon “tanah damai” di panggung seremonial, tapi di lorong-lorong kampungnya, bara konflik masih gampang tersulut.
Pada beberapa kasus, sebut saja misalnya pada tragedi di Hunuth, aparat terkesan lambat bertindak. Pernyataan resmi pun terdengar klise: “Kami akan usut tuntas.” Pemerintah daerah sering juga tak kalah lamban, sibuk dengan pidato pembangunan, tapi gagap begitu bentrokan pecah di halaman rumah sendiri.
Di tengah situasi itulah, sebuah dokumen penting lahir: Laporan Strategis & Rekomendasi: Mengurai Akar Konflik Maluku dan Jalan Menuju Perdamaian Berbasis Kearifan Lokal. Disusun oleh Institute for Maluku Studies (IMS), laporan ini berawal dari percakapan intens dalam grup WhatsApp bernama Moluccan Network.
Bayangkan, hampir 300 orang Maluku dari Ambon, Jakarta, Ternate, sampai Inggris dan Belanda berdiskusi, berbagi cerita, dan menumpahkan unek-unek. Ada pendeta, imam, akademisi, advokat, jurnalis, hingga aktivis perempuan.
Luka yang Tak Pernah Benar-Benar Kering
Dari obrolan yang kadang seperti diskusi warung kopi itulah, lahir rangkuman yang tajam: konflik Maluku bukan takdir, melainkan hasil dari ketidakadilan struktural, rivalitas elite, dan terkikisnya kearifan lokal.
“Jangan remehkan memori kolektif,” kata Dr. Abidin Wakano, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Abdul Muthalib Sangadji (AMSA) Ambon, dalam salah satu diskusi. “Narasi konflik itu bisa diaktifkan kapan saja. Sekali dipantik, apinya cepat menjalar.”
Konflik 1999–2004 meninggalkan luka mendalam dan trauma lintas generasi. Hingga kini, ingatan itu masih membayang di setiap cerita orang tua kepada anak-anaknya.
Laporan IMS mencatat enam akar konflik utama: kesenjangan ekonomi, politik identitas, pudarnya ikatan pela-gandong, lemahnya penegakan hukum, politisasi agama, serta trauma historis yang mudah dihidupkan kembali melalui hoaks digital.
Hasilnya adalah bom waktu. Bahkan hal sepele, terkadang video lama konflik yang beredar di grup WhatsApp, bisa memantik kebencian baru. Di tengah kerentanan itu, tak jarang oknum elite lokal sering justru bermain api: memecah komunitas demi jabatan, mengaduk identitas demi suara.
Namun laporan ini juga menunjukkan “harta karun” yang sering kita lupakan. Maluku punya modal sosial kuat: pela-gandong, filosofi hidup orang basudara, adat musyawarah, dan religiusitas yang inklusif.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi