Puisi

Forum Dosen dan SATUPENA Sulawesi Selatan Kolaborasi Lewat “Puisi untuk Negeri”

potretmaluku.id – “Hampir 15 tahun Forum Dosen terbentuk dan mengadakan diskusi tapi baru kali ini dikemas berbeda,” begitu kata Dr Adi Suryadi Culla, di ruang redaksi Tribun Timur, Jalan Cenderawasih No 430 Makassar, Kamis (1/2/2024).

Akademisi dan pengamat politik dari Universitas Hasanuddin (Unhas), yang merupakan Koordinator Forum Dosen itu, menambahkan, dia memang sudah lama ingin mengajak budayawan, sasrawan, seniman dan pegiat literasi berdiskusi. Namun baru pada momen menjelang Pemilu 2024 ini, rencana itu kesampaian.

Dia lalu mengutip Parker J Palmer, pendidik, aktivis dan seorang penulis bahwa rumah demokrasi sesungguhnya di hati. Dalam situasi politik, lanjutnya, politisi tidak lepas dari sakit hati, broken heart. Sehingga kunci untuk meredam konflik tersebut butuh suasana hati yang damai.

Rusdin Tompo, Koordinator SATUPENA Sulawesi Selatan, menyampaikan bahwa para sastrawan dan penyair juga merespons situasi aktual yang dihadapi bangsanya. Puisi-puisi lahir dari hasil kontemplasi dan refleksi yang dilakukan penyair, termasuk situasi sosial politik.

Rusdin Tompo lalu mengutip pernyataan John F Kennedy, bahwa jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Itulah mengapa, tema kegiatan Forum Dosen yang disiarkan secara live melalui kanal YouTube ini, bertema “Puisi untuk Negeri”.

Rosita Desriani mengawali dengan membacakan puisi “Ketika Indonesia Dihormati Dunia” karya Taufik Ismail, yang lariknya antara lain menyebut, kita pernah punya pemilu yang bersih dan indah di tahun 1955. Puisi kedua yang dibacakan, “Memo Sebelum Pemilu” karya A Munandar.

Ita, begitu sapaan akrabnya, mengungkapkan, di tempat itu baru dia mencari-cari puisi yang relevan. Awalnya, dia mau membaca puisi karya Soekarno, yang bertema nasionalisme.

Sastrawan dan sutrada teater, Yudhistira Sukatanya, membaca dua karyanya, masing-masing berjudul “Ode untuk Negeriku” dan “Aku Masih di Sini”. Puisi pertama sering dibawakan ketika ada aksi dan sudah dibuatkan musikalisasi puisi. Menurutnya, kontestasi pemilu sering diwarnai kekerasan verbal. Karena itu butuh sastra untuk melembutkannya.

Prof Kembong Daeng membaca puisi pertama berjudul “Kursi Empuk”, dan puisi kedua dalam bahasa Makassar, “Pappiukrangi”. Guru Besar Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) Universitas Negeri Makassar (UNM) itu banyak menyelipkan pesan moral tentang kekuasaan dalam puisinya.

WhatsApp Image 2024 02 03 at 16.01.58 1

Andi Ruhban, pustakawan dan penyuluh antikorupsi, membaca puisi karyanya “Ruang Nusantara”. Begitupun dengan Dr Fadli Andi Natsif, dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, ikut membaca puisi berjudul “Refleksi Menjelang Pemilu 2024”. Menariknya, puisi ini dibuat dengan menggunakan teknologi artificial intelligence (kecerdasan buatan).

Dr Sumarlin Rengko, dosen Sastra Daerah pada Fakutas Ilmu Budaya (FIB) Unhas, memberikan pandangannya dari kajian sosiolinguistik dan linguistik. Disampaikan, beragam alat peraga kampanye (APK), seperti baliho, poster, kaos, kalender, kartu nama dan juga aplikasi media sosial, merupakan data fenomena bahasa yang unik.

Sumarlin Rengko, yang tergabung dalam Himpunan Pelestari Bahasa Daerah (HPBD) Sulawesi Selatan, mengemukakan bahwa APK dapat menjadi media pemertahanan Bahasa Daerah. Karena di dalam teks-teks APK tersebut banyak ditemukan campur kode dan alih kode Bahasa Makassar.

Dari APK yang dipasang, tercermin pula kesantunan barbahasa dari para politisi. Teks-teks bahasa ini bisa menjdi media pengajaran bahasa yang menarik, jika dikelola dalam inovasi pengajaran berbasis konteks.

“Pemakaian bahasa yang santun banyak ditemukan, misalnya pemakaian khas bahasa Makassar; seperti Daeng, Ikatte, Paraikatte, Kukarannuang dll,” terangnya.

Diskusi Forum Dosen yang dibuka pimpinan Tribun Timur, Ronald Ngantung, ini dihadiri sejumlah akademisi secara offline, antara lain Prof Firdaus Muhammad, Dr Rahmat Muhammad, Dr Idham Khalid, dan Dr Amir Muhiddin.

Secara daring, juga hadir Prof Sofyan Salam, membacakan pantun yang segar dan menggelitik. Dr Aswar Hasan dan Dr Muh Iqbal Latief, ikut pula menyampaikan pandangannya, termasuk Zulkarnain Hamson, dosen Universitas Indonesia Timur (UIT) dan pengurus SATUPENA Sulawesi Selatan.

Lewat zoom meeting, hadir pula antara lain Prof Sukardi Weda, Anil Hukma, Asnawin Amiruddin, dan Moh Muttaqin Azikin.

Prof HA Muin Fahmal, Guru Besar Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, mengatakan dalam konteks sejarah, seniman itu merupakan salah satu pilar kemerdekaan. Diskusi ini memang dimaksudkan sebagai wadah untuk mengingatkan pentingnya pemilu damai dan berkualitas.

Di pengujung acara Adi Suryadi Culla membacakan puisi karyanya, “Pesan Politik Sang Guru”. Rusdin Tompo, selaku moderator, menutup acara dengan puisinya, “Rindu Pemimpin”.(*/TIA)

IKUTI BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DIĀ GOOGLE NEWS


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button