PendapatPolitik

Memenangkan Jafar, Memenangkan Harapan Masyarakat Biasa

Oleh : Tim Kreatif & Media Jafar Hatapayo


Apa pertimbangan penting memilih seorang caleg di Pemilu? Alasan yang paling mungkin adalah kemampuan dirinya untuk mendeteksi dan merespon persoalan sehari-hari.

Persoalan yang tak muluk-muluk, tapi jarang diperhatikan. Saking jarangnya persoalan-persoalan tersebut dibicarakannya, ketidak inginan untuk menyelesaikannya kemudian dianggap normal.

Beberapa persoalan keseharian yang seringkali kurang dilirik dari para Caleg adalah memastikan kesehatan terpenuhi, akses atas air bersih jadi mudah, kebutuhan pokok tercukupi, nelayan mendapatkan bahan bakar secara mudah, listrik teraliri dengan baik, petani bisa memperoleh pupuk yang murah dan lain sebagainya.

Banyak Caleg cenderung bicara soal narasi besar kesejahteraan, yang bentuk konkritnya sulit dijelaskan. Padahal narasi-narasi besar tersebut baiknya dikonkretkan sebagai bukti bahwa caleg dianggap mampu membaca kondisi dan kebutuhan riil di masyarakat. Narasi-narasi besar yang dibawa oleh para caleg seringkali tidak memiliki penjelasan memadai, sehingga sulit dipahami masyarakat.

Tulisan ini berusaha menjabarkan gagasan Jafar Hatapayo, seorang calon anggota DPRD di Kabupaten Maluku Tengah, pada daerah pemilihan III (Tehoru, Telutih dan Banda). Jafar memilih jalan membereskan persoalan mendasar tersebut dengan mencalonkan diri di Pileg 2024.

Jafar Hatapayo adalah pemuda asal Desa Tehoru. Ia tumbuh dalam dinamika aktifisme kampus dan masyarakat, dan terakhir di berkecimpung di dunia politik. Jafar adalah pribadi yang sederhana namun punya semangat aktifisme yang kuat.

Dalam beberapa kesempatan, ia terlibat dan mengorganisir sejumlah gerakan dan kegiatan di desanya—Tehoru dan juga di Kota Ambon. Ia menghabiskan kesehariannya di Desa Tehoru dengan berbagai aktifitas bersama masyarakat.

Menyelesaikan Masalah yang “Dianggap Biasa”

Pada Pemilu 2024, Jafar membawa tiga isu utama : yakni kesehatan, tenaga kerja dan pendidikan. Tiga isu itu jika diterjemahkan dalam bentuk, layanan kesehatan yang mudah dan merata bagi masyarakat, ketersediaan lapangan kerja dan pendidikan yang memadai. Tiga isu ini adalah persoalan keseharian yang dialami oleh siapapun yang tinggal Kecamatan Tehoru, Telutih dan Banda.

Masalah kesehatan, pendidikan dan lapangan kerja adalah tiga persoalan yang jamak ditemui di masyarakat. Sayangnya saking biasanya, persoalan tersebut kemudian dianggap wajar.

Banyak pihak juga tidak begitu menaruh perhatian terhadap persoalan ini, tetapi sebaliknya lebih terpukau pada isu yang lebih besar—yang sayangnya tidak melihat persoalan ini secara detail.

Misal, masalah kesehatan. Di Kecamatan Banda misalnya hanya terdapat 1 Rumah Sakit pada satu kecamatan dengan jumlah desa sebanyak 18. Sedangkan Puskesmas yang tersedia hanya 2. Padahal jumlah pasien yang dirawat per tahun sebanyak 3556.

Kondisi yang sama juga terjadi di Telutih dan Tehoru. Di Tehoru dan Telutih Rumah Sakit tidak tersedia. Hanya terdapat 1 Puskesmas di Tehoru dan 2 Puskesmas di Telutih dengan beberapa Puskesmas Pembantu di kedua kecamatan.Namun kondisi ini menjadi timpang ditengah keterbatasan fasilitas dan tenaga kesehatan yang memadai (BPS, 2023).

Sedangkan di sektor pendidikan, meskipun akses masyarakat ke pendidikan dasar (SD,SMP, SMA) relatif aman karena ketersediaan sekolah di hampir seluruh desa. Namun akses ke perguruan tinggi masih sulit.

Banyak dari mereka yang terpaksa tidak melanjutkan kuliah karena terkendala oleh biaya pendidikan yang mahal. Pada satu kesempatan, orang tua dari seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Kota Ambon di Kecamatan Tehoru, menangis dan mengeluhkan masalahnya karena tak sanggung membayar uang semester yang terlampau mahal.

Sementara pekerjaannya hanya sebagai pedagang ikan keliling (jibu-jibu), dan suaminya seorang nelayan kecil. Dengan penghasilan tak seberapa itu, ia sangat kesulitan membayar biaya kuliah anaknya. Di ujungnya, anaknya itu terpaksa tidak melanjutkan kuliah. Cerita ini adalah kondisi umum yang dialami hampir seluruh masyarakat di Tehoru, Telutih dan Banda.

Terakhir adalah, soal ketersediaan lapangan kerja. Keterbatasan lapangan kerja, membuat orang tidak punya kesempatan untuk melakukan mobilitas sosial. Keterbatasan pendidikan—meskipun bisa diperdebatkan—masih menjadi kendala tersendiri karena pasar kerja mensyaratkan tingkat pendidikan tertentu, yang sayangnya tidak selalu bisa dijangkau.

Di hampir seluruh desa di Tehoru, Telutih dan Banda, masyarakat umumnya tidak memiliki pendapatan reguler. Rata-rata dari mereka adalah petani dan nelayan yang bahkan untuk mengelola pendapatannya untuk  memenuhi kebutuhan subsisten saja masih sulit.


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

1 2Next page

Berita Serupa

Back to top button