Oleh: Rusdin Tompo (Koordinator Perkumpulan Penulis Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan)
Lembaga penyiaran radio itu bukan cuma institusi bisnis tapi juga merupakan entitas sosial. Pada masa kejayaannya, studio radio jadi tempat bersosialisasi dan berinteraksi. Orang datang ke studio radio untuk bergaul dan nongkrong. Janjian di studio, bahkan bertemu jodohnya di studio.
Di udara, lebih seru lagi. Para pendengar atau fans radio saling bersapa dan berkirim-kiriman salam dan lagu. Radio, sebagaimana lembaga penyiaran, memang punya banyak fungsi, antara lain fungsi hiburan, edukasi, informasi, perekat sosial, dan kebudayaan.
Sebagai orang yang pernah bekerja di radio, saya merasakan dan melihat bahwa salah satu sisi positif bekerja di radio, terutama kalau jadi penyiar, adalah terbentuknya disiplin diri. Kalau ada ungkapan time is money, di radio, dan apalagi TV, hal itu terbukti.
Penayangan iklan, misalnya, hitungan durasinya per detik, antara 30-60 detik. Biaya penayangan iklan dibedakan untuk daily program, special program, dan prime time. Kalau mau dirinci, jenisnya bisa begitu banyak. Iklan paling sederhana di radio itu adalah adlips atau iklan baca, yang kadang terasa bagai materi siaran penyiar. Setiap penayangan iklan, akan ditulis oleh penyiar yang bertugas sesuai menit-detiknya, sebagai bukti siar.
Jadwal siaran setiap penyiar, pada umumnya, rata-rata selama 1 (satu) hingga 2 (dua) jam. Idealnya, penyiar datang lebih cepat 15-30 menit sebelum dia bertugas. Ini biar dia bisa lebih prepare, sebelum memulai siaran di bilik siar.
Namun, yang namanya manusia, sebaik apa pun sistem dibuat, selalu ada kemungkinan diakali. Dalam hal absensi misalnya, perubahan absensi dari manual ke mekanis pun tetap bisa diantisipasi. Dahulu, ada penggunaan check lock atau mesin konvensional untuk mencatat absensi karyawan. Ini penting karena dari situ kehadiran dan jam siaran dihitung, sebagai rujukan pembayaran honorarium.
Penyiar radio itu “seleb”, “idola”, dan punya penggemar masing-masing. Dan laiknya seorang idola, fans akan dengan senang hati melayaninya. Contoh konkretnya, bila kebetulan ada teman penyiar meminta tolong belikan rokok, mie instan, atau keperluan lainnya, saat dia tengah bersiaran, fans yang dimintai tolong itu malah dengan senang hati akan membelikannya.
Apalagi bila penyiar tersebut merupakan favoritnya. Hubungan fans dan penyiar ini bukan cuma akrab di udara, tapi juga dalam kehidupan nyata. Secara profesional pun sejatinya mereka saling membutuhkan. Fans butuh penyiar agar request lagu dan namanya disenggol di udara. Penyiar butuh fans sebagai bukti bahwa siarannya didengar.
Pada era saya masih di Radio Venus, pertengahan 90an, fans bisa menelepon ke studio atau bertandang langsung dengan datang ke studio. Selain datang sendiri-sendiri, ada juga fans yang datang dalam jumlah beberapa orang. Ini biasanya anak-anak SMA Negeri 9, yang rumahnya di Perumnas Tamalate dan Tidung, atau di Karunrung.
Di studio, nanti akan ada yang mencatatkan pesanannya atau dia mencatat sendiri bila sudah di studio. Catatan pada kertas ukuran kecil itu berupa, nama pengirim lagu, kepada siapa lagu itu ditujukan, dan apa pesannya. Nama-nama fans radio saat itu banyak yang menggunakan nama samaran bukan nama asli. Nama-nama seperti Mantili, Ayu Andira, Brama Kumbara, dan lain-lain sering didengar di udara. Ada juga yang menggunakan nama asal daerahnya, misalnya Putri Enrekang, dan lain-lain. Fans itu sangat kreatif.
Ada beberapa program hiburan yang menggunakan konsep mengirim lagu dan pesan kepada sesama fans nanti dibacakan oleh penyiar. Jumlah penelepon dan pemesanan lagu melalui kertas tadi, akan jadi parameter acara itu banyak pendengarnya atau tidak. Terkadang, menjadi problem dan sekaligus sumber ketegangan saat rapat, bila ada teman yang bertugas atau berada di line telepon, lebih asyik mengobrol dengan penelepon (fans) daripada bekerja sebagai penerima telepon. Namun, situasi ini tidak lama, ya sudah saling memahami hehehe.
Setiap radio itu punya segmentasi, punya target SES (socio-economic status), yakni cara untuk mengelompokkan individu atau pendengar berdasarkan status ekonomi sosialnya. Radio juga punya cara untuk mengetahui pendengar melalui riset yang dilakukan Nielsen, sebuah perusahaan yang fokus pada penelitian dan layanan riset dengan memberikan informasi terkait pemasaran, periklananm, dan konsumen media.
Dari hasil riset mereka, kita bisa mengetahui psikologis, sosiologis, dan selera konsumen. Meski sebagai broadcaster, kita tidak selalu bisa melihat hasil riset ini. Namun, dari pengalaman diajak membaca datanya, disampaikan oleh pimpinan bahwa rating yang tampak pada data mengasumsikan 1 (satu) pendengar yang muncul di data, mewakili 100 (seratus) pendengar.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi