PendapatGaya Hidup

Berjalan Dalam Bayang-bayang Covid-19 (15)

CINTA, SPIRITUALITAS & POSITIF COVID-19

Oleh: Izak YM Lattu
Pemerhati sosial budaya dan dosen pada Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

Selama bulan Maret ini penulis akan menuturkan kisah bagaimana dirinya terpapar Covid, dan bagaimana bisa sembuh dari Covid. Setiap hari, kecuali hari Minggu, akan ada satu kisah yang kami tampilkan. Ini bagian ke-15 dari tulisan bersambungnya.

Pagi itu, tanggal 30 Maret 2020, seperti hari-hari sebelumnya, demam masih tetap tinggi. Menelan semakin sulit karena tenggorokan sakit dan rasa hambar pada mulut tak kunjung hilang. Suhu badan saya naik dari 38 ke 39 derajat. Nafas terasa berat dan dada semakin sesak rasanya. Sungkup tetap terpasang di hidung dan mulut. Saya tidak bisa lagi melepaskan sungkup ini dari hidung.

Saya tetap berusaha mandi, meskipun agak berat. Botol infus saya lepas dari tiangnya. Saya pegang dengan tangan kiri, sambil berjalan perlahan, tertatih-tatih menuju kamar mandi. Jarak tempat tidur dan kamar mandi, kurang dari lima meter.

Rasanya jauh sekali jarak itu. Infus saya taruh pada gantungan di kamar mandi. Semua “bisnis” kamar mandi saya selesai sangat cepat. Nafas terasa berat. Perlu segera melekatkan sungkup pada hidung dan mulut lagi.

Sungkup saya pasang kembali. Tarik nafas dalam-dalam. Makan pagi telah tersedia di atas meja, persis di samping tempat tidur. Sup panas terasa masih hangat. Tidak tercium bau harum kuah sup pagi itu. Saya masih mati rasa. Sendok nasi coba saya masukan ke mulut. Sendok demi sendok. Meski tidak dapat merasakan apa-apa, saya tetap mengunyah. Makanan berusaha saya masukan ke dalam tubuh.

“Pasien sebelumnya sembuh karena makan yang banyak,” kata petugas medis tanggal 27 Maret, masih terngiang di telinga saya. Saya harus makan supaya bisa pulih.

Obat vitamin telah disediakan petugas di samping makanan tadi. Beberapa butiran obat dalam plastik bening kecil. Paracetamol berada di antara obat-obat itu. Saya kenal betul dengan obat ini sejak kecil. Ayah, almarhum, membangun apotek kecil di sekolah dasar tempatnya menjadi kepala sekolah.

medications 257336 1920
Ilustrasi obat-obatan.(Foto: Michal Jarmoluk dari Pixabay)

Jauh dari kota dan akses pada fasilitas kesehatan. Berada di tengah ancaman malaria di Pulau Seram, Maluku. “Apotek kecil harus ada,” kata Ayah Saya. Paracetamol dan klorokuin adalah obat-obat yang sangat dekat dan menyelamat hidup orang sekampung. Ini pengalaman nyata.

Tahun 1985 waktu musim hujan dan badai di Negeri Wasia dan Sanahu, di Pulau Seram, sebagian besar warga sakit malaria. Apotek kecil ini menyelamatkan. Tidak ada satupun warga yang meninggal karena bantuan obat-obat darurat itu.

Sejak mulai merasakan indikasi terinfeksi Covid-19 tanggal 22 Maret, paracetamol ini sudah lekat dengan bibir saya. “Obat ini berfungsi menurunkan panas,” kata almarhum Ayah saya saat memberikan obat itu, ketika kami panas dan demam, waktu saya kecil di Wasia dan Sanahu.

Retno juga menjelaskan hal yang sama ketika panas dan demam mulai mengakrabi saya, tanggal 22 Maret 2020. Entah kapan sembuh, obat-obat ini tetap saya minum dengan setia. “Sudah sarapan belum? Sudah minum obat? Nafasnya bagaimana? Lebih ringan atau tambah berat,” tanya Retno melalui telpon genggam pagi itu. “Sudah minum obat dan sudah makan,” jawab saya.

Retno memastikan saya sudah sarapan dan minum obat. Kami bercerita sebentar tentang anak-anak. Saya dapat melihat wajah Retno dan anak-anak di layar telpon genggam. Saya berusaha senyum, membalas senyum Jessy dan Jenny. Video call bersama mereka pagi itu melegakan.

“Selamat pagi,” sapa petugas medis yang masuk ke dalam ruang isolasi. Lengkap dengan APD. Saya tidak bisa melihat ekspresinya. Kabar buruk atau kabar baik, pikir saya. Pukul 10 pagi, tanggal 30 Maret.

“Selamat pagi,” balas saya. “Kami ingin menyampaikan bahwa hasil PCRnya POSITIF!” jelas petugas tadi. Saya terpaku sebentar, tarik nafas dalam. “Hmmmm Saya positif,” kata saya dalam hati sambil berusaha mengambil nafas panjang.

Setelah dua hari, dari tanggal saya diswab, 27 Maret, kabar bagai halilintas ini mucul di telinga saya. POSITIF. Akhirnya waktu itu datang juga. Saat di mana tubuh saya terkonfirmasi terinfeksi virus Covid-19. Saya berusaha memegang pinggiran tempat tidur rumah sakit dengan sangat erat.

Tubuh seperti melayang. Hilang semua kekuatan di dalam diri. Tidak mudah bagi saya. Positif saat angka kematian pasien Covid-19 begitu tinggi. Positif ketika hanya 100 orang yang sembuh dari 500 orang pasien Covid-19. Secara statistik kemungkinan hidup saya tipis. Kecil sekali kemungkinan hidup.

“Terimakasih untuk informasinya,” kata saya. Petugas medis itu pamit meninggalkan ruang isolasi. “Aku positif. Petugas medis tadi baru ngasih kabar,” jelas saya dengan suara lirih pada Retno. Air mata menetes, tidak terasa.

“OK tenang saja, nanti aku urus. Kamu jangan pikir yang berat-berat dulu. Semua akan baik-baik saja,” kata Retno menenangkan saya. Retno sebenarnya juga menangis, tetapi dia berusaha tenang di depan saya. Sebagai tenaga medis, dia paham beratnya situasi dan betapa mematikannya virus ini.

“Kaka, beta positif,” kata saya mengabarkan Kaka De. “Tuhan pasti tolong. Tenang ee,” Kaka De berusaha menenangkan saya. Kaka De adalah kakak perempuan saya. Mama sedang berada di rumah Kaka De waktu itu. Saya tidak berani mengabarkan langsung ke Mama. Saya khawatir Mama akan terpukul dengan berita ini. “Kaka nanti kasih tahu Mama ee. Bilang pelan-pelan saja voor Mama,” pinta saya pada Kaka De.

Kaka De mulai telpon keluarga-keluarga dekat, Bu Empi, kakak tertua saya, Kaka Ros, kakak perempuan di atas saya persis, Max, adik bungsu saya, dan saudara-saudara dekat lain. Kaka Eda adalah salah satu yang ditelpon. Kaka Eda ini adalah sepupu saya. Anak dari Mama Tua saya, kakak perempuan dari Ayah saya.

Sejak kecil kami selalu bermain sama-sama. Kadang berantem juga, tetapi lebih banyak kompaknya. Kami pernah berenang di Sungai Riuwapa, dekat rumah di Uraur, Pulau Seram, tanpa sepengetahuan orang tua. Alhasil, rotan jawa melekat di pantat. Ayah saya marah luar biasa pada kami.

“Ade tenang saja. Kaka berdoa dari sini,” kata Kaka Eda ketika menelpon saya bersama Kaka De. Kaka Eda ini bukan pendeta. Tidak pernah belajar teologi, tetapi dia memiliki semacam “karunia” untuk berdoa. “Beta pasti bisa menjalani ini semua toch Kaka?” tanya saya berusaha menemukan kekuatan spiritual untuk menjalani hari-hari berat ini.

Saya berusaha menarik para saudara itu untuk berada secara spiritual bersama di dalam ruang isolasi ini. Mereka tidak bisa berada di sini, tetapi doa dan dukungan dari jauh menjadi kekuatan.

“Pasti bisa ade. Harus yakin ade bisa. Jangan takut,” Kaka Eda berusaha sekuat tenaga memegang tangan saya dari jauh. Kebetulan Bu Econ, suami Kaka Eda, adalah petugas medis yang menangani Covid-19 di Kota Ambon. Dari Bu Econ, Kaka Eda ternyata cukup paham bagaimana mematikannya virus ini. Bagaimana harus menghadapi pasien Covid-19. Kali ini dia berhadapan dengan adik sepupunya yang terjangkit Covid-19.

covid 19 5073808 1920
Ilustrasi hasil swab positif Covid-19.(Foto: Fernando Zhiminaicela dari Pixabay)

“Nyong harus kuat ee,” kata Mama ikut memotivasi saya. Kaka De dan Kaka Eda baru saja bilang tentang kabar positif ini pada Ibu saya. “Mama di sini, tetapi seluruh jiwa dan doa Mama ada bersama Nyong di sana,” kata Mama menguatkan saya.

Butiran-butiran air mata jatuh di pipi saya. Saya membayangkan betapa terpukulnya Mama menghadapi kenyataan anaknya terinfeksi virus Covid-19 yang mematikan. “Iya Mama, beta pasti bisa selamat,” kata saya meyakinkan Mama. Saya ingin Mama yakin semuanya akan baik-baik saja.

“Nanti pindah yah ke Rumah Sakit Kariadi di Semarang atau Rumah Sakit Moewardi di Solo,” kata Retno menjelaskan proses selanjutnya. Retno sudah mengontak para koleganya dan mencari informasi rumah sakit mana yang memadai untuk perawatan selanjutnya.

Saya sebenarnya berharap bisa dirawat di Rumah Sakit Moewardi saja. Masih di Solo. Dekat dengan Retno dan anak-anak, pikir saya. “Rumah Sakit Kariadi sudah menyediakan tempat tidur dan peralatan bantuan pernafasan,” kata Retno. Dia juga sudah berkomunikasi dengan petugas medis di rumah sakit Kaki Merbabu.

“Harus kuat yah. Kuat untuk Teti, nama panggilan Retno, dan anak-anak,” kata Ibu Mertua waktu Retno telpon. “Bapa dan Ibu berdoa dari sini,” tambah Bapa Mertua saya. Kabar buruk hari itu dilawan dengan dukungan keluarga yang luar biasa.

Dukungan kasih sayang dan doa dari orang-orang tercinta. “God made you on purpose, for a purpose,” (Tuhan menciptakanmu secara sengaja, untuk maksud tertentu) renungan di buku kecil yang saya beli di Virginia bilang begitu. Saya pasti tetap hidup untuk tugas-tugas yang diberikan bagi saya. Pikiran ini melekat kuat di kepala saya pasca terkonfirmasi positif Covid-19.

“Kalau Tuhan mengijinkan kita masuk dalam situasi ini, Tuhan pasti akan mengeluarkan kita dari sini,” kata saya pada Retno waktu kami bertelpon lagi. Kami berdoa bersama. Mencoba membangkitkan harapan pada “Kekuatan Yang Tidak Kelihatan,” keyakinan pada kehadiran Tuhan.

“Kita pasti bisa,” kata saya pada Retno seperti sedang menyemangati kami berdua memasuki pertandingan. Rasanya seperti sedang memasuki pertandingan hidup dan mati. Satusari, oksigen dalam darah, saya berkurang menjadi 70an.

Dalam kondisi normal, satusari berada pada angka 95 – 99. Kondisi melemah, tetapi semangat tetap kuat. Tegar menghadapi gelombang. “Saya tidak berjalan sendiri,” kata saya dalam hati. Saya memang tidak berjalan sendiri di tengah ruang yang sepi itu.

(bersambung besok)

 


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button