PendapatGaya Hidup

Berjalan Dalam Bayang-bayang Covid-19 (14)

MELAWAN VIRUS DAN KESENDIRIAN

Oleh: Izak YM Lattu
Pemerhati sosial budaya dan dosen pada Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

Selama bulan Maret ini penulis akan menuturkan kisah bagaimana dirinya terpapar Covid, dan bagaimana bisa sembuh dari Covid. Setiap hari, kecuali hari Minggu, akan ada satu kisah yang kami tampilkan. Ini bagian ke-14 dari tulisan bersambungnya.

Delapan hari sejak pulang dari New York saya dirawat di ruang isolasi. Petugas membuka pintu ruang dan mempersilakan saya masuk. Danny mengikuti dari belakang membawa tas punggung yang sudah disiapkan untuk opname.

“Om ini tas punggung dan barang-barang yah. Kalau perlu apa-apa WA saja,” kata Danny sambil ikut masuk ke dalam ruang isolasi. Dia ingin memastikan bahwa saya diurus dengan baik dalam ruangan isolasi.

Ruang ini berukuran 6 x 8 meter. Terlihat sangat luas untuk satu tempat tidur pasien. Tempat tidur itu ditempatkan persis di tengah ruangan. Entah berapa orang yang pernah dirawat di ruangan paling belakang di rumah sakit.

Ruangan ini memang disediakan untuk isolasi pasien penyakit gangguan paru-paru. Sudah lama ruangan ini ada. Rumah sakit ini dibangun tahun 1930-an untuk melayani pasien penyakit gangguan paru-paru di Kaki Gunung Merbabu.

Ruang isolasi dilengkapi ruang khusus perawatan dengan kaca pengawas besar di sisi kanan ruangan. Jendela-jendela besar berada persis di belakang tempat tidur. Tinggal melangkah dan lompat sedikit, pasien bisa keluar dari ruang isolasi.

Di sisi kiri, terdapat dua kamar mandi dan toilet untuk pasien. Pintu ruang depan tidak terkunci. Kadang terbuka jika angin cukup kencang. Tidak ada yang berani masuk ke dalam ruang itu, kecuali petugas.

Satu kamera pemantau pasien (CCTV) tergantung di pojok ruangan. “Kalau ada apa-apa, nanti tolong angkat tangan saja. Petugas medis akan datang,” jelas petugas yang mengantar saya ke dalam ruang ini.

Entah kamera CCTV ini berfungsi dengan baik atau tidak. Apakah ada orang yang selalu memerhatikan monitor atau tidak? Kalau nanti terjadi keadaan darurat bagaimana? Saya mulai berpir macam-macam membayangkan jauhnya tempat isolasi ini dari gendung induk rumah sakit.

Screen Shot 2021 03 18 at 20.36.09
Ruang Isolasi pasien dan terduga infeksi Covid-19 di belakang rumah sakit.(Foto: Dok. Penulis)

Malam tanggal 27 Maret 2020 saya harus menelpon ponakan karena keadaan emergency. “Kaka Billy, tolong datang ke rumah sakit bilang petugas medis, infus di tangan Om copot,” kata saya pada Billy, ponakan laki-laki di unjung telpon. Billy adalah anak dari kakak tertua saya. Dia sedang belajar di kampus Kaki Merbabu. Berbeda dengan ponakan lain, Billy mengontrak rumah bersama teman-temannya.

Jam tiga pagi waktu itu. Infus saya sudah copot dari jam dua malam. Darah mengalir dari bekas jarum infus. Tangan saya lampaikan kepada ke kamera, tidak ada jawaban sama sekali. Entah di mana para petugas. Mungkin tertidur? Mungkin juga takut masuk ke ruangan isolasi.

Ketika Billy datang meminta, petugas baru datang. Infus dipasang kembali dan darah saya dibersihkan dengan kapas. Malam berikutnya, kejadian yang mirip terjadi. Nasal, selang kecil, yang membantu oksigen ke hidung saya tidak berfungsi dengan baik.

Tangan saya lambaikan dalam keadaan sangat panik, tidak ada response. “Tolong, tolong, tolong,” saya teriak berulang-ulang jam satu malam. Tidak ada petugas yang datang. “Pak, tolong cek om saya di ruangan isolasi, nasal oksigennya tidak berfungsi,” pinta Billy saat datang lagi secara langsung ke rumah sakit. CCTV tidak bermanfaat waktu itu.

Dua kali ponakan saya harus datang langsung ke rumah sakit meminta keadaan saya dicek. Keluarga harus jauh-jauh datang meminta kontrol petugas. Petugas rutin membawa makan ke dalam ruangan. Meski makanan terasa hambar, karena mati rasa, saya tetap berusaha makan sebisanya.

“Pak, gimana pasien-pasien sebelumnya yang masuk ke sini bisa sembuh?” tanya saya pada petugas yang membawa makan siang. “Makan sebanyak-banyaknya. Makan semua panganan dari rumah sakit dan keluarga Mas,” jelas Pak perawat tanpa menyebutkan apakah sudah pernah ada pasien Covid-19 sebelum saya di Kaki Merbabu.

Saya sama sekali tidak tahu informasi tentang Covid-19 di kota ini. Saya tidak sadar bahwa saya pasien pertama di kota ini. Kaki Merbabu 1. Pasien nomor 1. Ketiadaan informasi ini sebenarnya membantu saya. Saya tidak terlalu stres karena menganggap sudah ada pasien sebelumnya. “Baik Pak, berarti saya harus banyakmakan,” kata saya membangun komunikasi dengan petugas. Harus memaksa diri untuk makan.

Di dalam ruangan ini memang banyak hal harus dipaksakan. Badan saya masih demam. Suhu masih 38 – 39 derajat. Turun naik di angka itu. Panas dingin menyerang setiap saat. Saya terpaksa harus mandi air dingin, karena tidak ada air panas yang disediakan.

Kota ini cukup dingin, panas-dingin naik turun dan harus mandi air dingin setiap pagi dan sore. Jarak antara tempat tidur dan toilet cukup jauh. Saya harus memaksakan diri berjalan, memegang infus dan melepaskan nasal.

Screen Shot 2021 03 18 at 20.35.50
Ilustrasi pasien menggunakan nasal.(Foto: Dok. Penulis)

Semuanya harus dipaksakan dan dilakukan sendiri. Salah satu hal yang menakutkan dari Covid-19 adalah kesendirian. Pasien-pasien lain dikunjungi oleh keluarga. Pasien dan terduga infeksi Covid-19 berjuang sendiri melawan virus mematikan dan kesepian.

“Om buah dan air meneral, beta taruh di dekat jendela yah,” kata Billy setiap kali mengantar buah dan air yang saya butuhkan. Hanya Billy waktu itu yang dapat bergerak ke mana-mana. Danny sudah mulai diisolasi karena kontak erat dengan saya. Oleh petugas, Danny, Olin dan Mey diisolasi di dalam rumah kami pada perumahan.

Tanggal 28 Maret, dua petugas medis datang ke ruangan. “Kami ijin melakukan tes PCR,” kata petugas medis dengan APD lengkap. “Silakan Ibu, terimakasih banyak,” kata saya membalas sapaan petugas medis perempuan di balik APD.

“Kami akan mengambil cairan ludah di balik lidah dan cairan dari di bagian belakang hidung,” jelas petugas medis tadi. Alat pengambil cairan di hidung berbentuk cotton but dikeluarkan dalam tempatnya.

“Astagaaaa,” kata saya dalam hati. Cotton but raksasa. Berukuran tiga-empat kali lebih besa dari cotton but normal. Saya meringis menahan perih ketika cotton but raksasa ini masuk ke dalam hidung kiri dan kanan.

“Tolong lidahnya dijulurkan sepanjang mungkin,” kata tenaga medis tadi. Saya berusaha menjulur lidah sekuatnya. Cotton but raksasa itu masuk ke bagian paling belakang dari lidah. Dua kali tenaga medis itu mengambil cairah ludah dari bagian belakang lidah saya.

“Terimakasih. Semoga hasilnya negatif yah Ibu,” kata saya ketika petugas medis pamit meninggalkan ruangan. Saya masih berharap hasil tes PCR itu negatif. Meski mulai membuka hati untuk menerima kemungkinan saya terinfeksi Covid-19, tetapi bagian dari hati saya menolak. Konflik batin terjadi antara menerima dan menolak kemungkinan terinfeksi.

“Tuhan tolong saya supaya hasil tes ini negatif,” doa saya. Karena ketakutan terhadap ganasnya Covid-19, saya berusaha meminta Tuhan harus mengikuti kemauan saya. Seperti tidak rela terjangkit virus ini. “Mengapa dari hampir 275 juta orang Indonesia ini, saya menjadi satu di antara 500-an orang yang terinfeksi,” begitu tanya saya dalam hati.

Saya masih tetap tidak bisa menerima. ‘Mengapa saya Tuhan,” pernah saya berkata begitu dalam doa. Berita di media yang saya baca lewat telepon genggam menunjukkan angka kematian meningkat menjadi 400 orang.

Hanya 100 orang sembuh dari 500 orang yang terinfeksi. Buku renungan kecil berwarna hijau muda yang saya beli pada sebuah toko barang bekas di Virgnia, Amerika Serikat, menjadi teman saya.

Renungan-renungan yang ada dalam buku kecil ini ditulis pertanggal. “You never walk in darkness – you have the light of life (kamu tidak berjalan dalam kegelapan – kamu memiliki cahaya kehidupan),” bunyi renungan tanggal 28 Maret. Entah kebetulan atau tidak, bagian ini menguatkan saya. Badan boleh rapuh termakan virus Covid-19, tetapi jiwa harus kuat.

Tanggal 29 Maret, nasal diganti petugas dengan sungkup. “Supaya bisa bernafas dengan baik,” kata perawat sambil menggantikan nasal dengan sungkup. Saya tidak tahu bahwa kondisi saya sudah cukup buruk. Jika nasal diganti dengan sungkup, berarti terjadi perburukan pada persentasi oksigen dalam darah. Saya sama sekali tidak memiliki pengetahuan awal tentang ini. Aman saja pikir saya.

“Baguslah Pak, supaya saya bisa bernafas dengan lebih baik,” balas saya. Saya berusaha optimis. Berusaha menjaga pikiran tetap positif. “Nyong, bagaimana kondisi di situ,” tanya Mama di ujung telpon ketika menelpon bersama Kaka De pagi itu. Saya tidak mengabarkan Mama tentang ruang isolasi. Retno yang menelpon Mama dan Kaka De untuk mengabarkan kondisi saya.

Sejak saya mulai kuliah di Kaki Merbabu tahun 1994 dan di Amerika Serikat tahun 2010, saya tidak pernah sakit serius. Tidak pernah ada pengalaman harus menginap di rumah sakit. Baru kali ini sepanjang hidup, saya harus diinfus dan terbaring di rumah sakit.

“Baik Mama, tolong berdoa ee Mama. Tadi dokter baru periksa, semoga hasilnya negatif,” kata saya menghibur dan membesarkan hati Mama. Saya tidak ingin Mama tahu saturasi atau oksigen dalam darah saya sudah sangat menipis. Saya sengaja tidak memberik informasi pada Mama tentang nasal yang telah berubah menjadi sungkup. Suara saya atur baik-baik supaya Mama tidak menangkap perburukan kondisi saya. Dada terasa lebih sesak, bernafas menjadi lebih sulit.

(bersambung besok)

 


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button