Oleh: Izak YM Lattu
Pemerhati sosial budaya dan dosen pada Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
Selama bulan Maret ini penulis akan menuturkan kisah bagaimana dirinya terpapar Covid, dan bagaimana bisa sembuh dari Covid. Setiap hari akan ada satu kisah yang kami tampilkan. Ini bagian ke-7 dari tulisan bersambungnya.
Menunggu hampir sembilan jam di Abu Dhabi terasa sangat lama. Saya mencari makan di Café CNN di dalam Bandara Abu Dhabi. Café ini cukup penuh. Harus menunggu satu pasangan kulit putih selesai makan, masuk ruang tunggu, baru giliran saya dapat tempat.
Hand sanitizer saya semprot ke meja, lalu saya lap dengan tisu berulang-ulang. Supaya aman dari Covid-19, maksudnya begitu. Setelah memesan teh panas dan burger seharga $7, saya makan sambil membaca buku.
Baru pukul 11 malam, tanggal 18 Maret 2020. Ketika berangkat dari New York masih tanggal 16 Maret pukul 10 malam, waktu di Abu Dhabi sudah menunjukkan pukul 4 pagi tanggal 17 Maret.
Pesawat ke Jakarta masih delapan jam lagi. Biasanya saat transit di Abu Dhabi dalam waktu lama, saya pasti tidur di kursi atau lantai bandara. Sejak kuliah di Amerika saya memang sudah sering transit di bandara ini. Kemudian, ketika mengajar di Austria dan mewakili Indonesia dalam acara bilateral interreligious dialogue di Serbia, juga lewat bandara ini. Lumayan hapal di mana tempat tidur di bandara ini.
Malam itu, saya sama sekali tidak berani tidur di lantai. Duduk di kursi tunggu pun saya pastikan harus dibersihkan pakai hand sanitizer dulu. Hampir enam jam saya duduk di Café CNN. Daripada pindah-pindah tempat duduk, mending di sini saja. Komputer jinjing saya buka, coba baca buku digital dan mengetik sedikit, sebisa saya. Gagal fokus, tidak konsentrasi juga. Tangan bisa diajak bekerja, tetapi hati tidak. Akhirnya berselancar di internet saja, Sekedar menghilangkan rasa takut di bandara itu.
Pukul enam pagi saya menunju ruang tunggu pesawat ke Indonesia. Pintu/gate 12 agak jauh. Harus melewati beberapa gate, termasuk gate menuju bandara-bandara di China. Penumpang transit menuju China sudah memakai baju pelindung diri lengkap saat itu. Ini pertama kali saya liat orang naik pesawat menggunakan baju pelindung diri. Lengkap sekali. China memang menjadi tempat pertama Covid-19 ditemukan.
Sejak 31 Desember 2019 pemerintah China telah mengumumkan terinfeksinya Negara Tirai Bambu ini. Lembaga kesehatan dunia (WHO) melaporkan ditemukannya kluster pneumonia berat di Wuhan, Provinsi Hubei, China. Sudah tiga bulan sampai Maret 2020. Mereka lebih siap jika bepergian. Kontras dengan petugas Bandara Abu Dhabi yang sebagian besar tidak menggunakan masker. Mungkin karena angka infeksi Covid-19 di Semenanjung Arab belum cukup tinggi saat itu.
Pukul lima, pagi itu, sudah cukup banyak penumpang di Gate 12, Etihad menuju Jakarta. Maklum, tiga penerbangan dijadikan satu. Banyak kelompok wisata tanah suci berbagai agama pulang dengan pesawat yang sama. Timur Tengah memang menjadi tanah suci bagi tiga Agama Abraham: Yahudi, Kristen dan Islam. Tidak sedikit orang tua di atas 60 tahun yang ikut dalam rombongan wisata ini. Waktu itu memang belum ada pembatasan dan macam-macam persayarat bepergian.
Rombongan lain yang terlihat dominan waktu itu adalah para pekerja kapal pesiar yang terpaksa pulang ke Indonesia. Kapal-kapal pesiar berhenti berlayar karena pandemi. Pada masa-masa awal pandemic, banyak penumpang dan crew kapal pesiar terinfeksi Covid-19. Saya tidak langsung ngobrol dengan mereka, hanya nguping saja. Cerita-cerita mereka tentang kapal pesiar dan pengalaman menghadapi Covid di atas samudera. Sama sekali tidak berani berbicara dengan siapapun sepanjang perjalanan itu.
Pesawat berangkat dua jam lagi. Saya tidak berani duduk di tempat tunggu kali ini. Bandara Abu Dhabi ini menebar ancaman Covid-19.
Baca Juga:
- Berjalan dalam Bayang-bayang Covid-19 (6)
- Berjalan dalam Bayang-bayang Covid-19 (5)
- Berjalan dalam Bayang-bayang covid-19 (4)
Demikian saya baca dari surat kabar online berbahasa Indonesia ketika masih di Amerika Serikat. “Orang-orang yang pulang dari wisata tanah suci terinfeksi Covid-19 setelah transit di Abu Dhabi,” kira-kira begitu bunyi berita tentang horornya Bandara Abu Dhabi. Jalan-jalan saja sambil liat-liat barang dagangan di etalase ruang tunggu. Mulai dari mainan anak-anak sampai minuman beralkohol ada di sana. Barang-barang ini masuk dalam kategori duty free jadi bisa dibawa ke dalam kabin pesawat.
Saya pernah beli dua botol anggur dari sini untuk sekedar menghangatkan badan dalam dinginnya kaki Gunung Merbabu. Tubuh juga perlu alkohol. Asal jangan diatur oleh alkohol saja. Begitu kira-kira prinsip saya. Tidak semua orang punya prinsip sama karena ada alasan agama, kesehatan dan lain-lain.
Pukul tujuh pagi, mulai terdengar panggil di bandara, “Etihad passengers to Jakarta, please board your craft through gate number 12,” penumpang pesawat Etihad tujuan Jakarta segera naik ke pesawat melalui pintu 12. Begitu panggilannya. Saya segera mengantri panjang untuk naik ke pesawat. Beda pelayanan gate pesawat ke Jakarta dan pesawat ke New York.
Penumpang menuju Amerika Serikat dari Bandara Abu Dhabi ini mempunyai gate khusus. Langsung masuk belalai gajah menuju pesawat. Tidak perlu berjalan jauh. Sebelumnya, pengecekan visa dan semua dokumen untuk masuk Amerika Serikat telah diperiksa di Abu Dhabi. Sampai di Amerika Serikat tidak ada pemeriksaan dokumen apapun.
Penumpang menuju Indonesia harus naik bus dari gate menuju pesawat. Setiap kali berangkat dari Abu Dhabi ke Jakarta pasti prosesnya sama. Bus penuh sesak. Pesawat menuju Jakarta berhenti cukup jauh.
Saya berdiri paling depan dalam bus itu. Berusaha melihat ke depan supaya wajah tidak terlalu dekat dengan penumpang lain. Jarak satu penumpang dan penumpang lain dalam bus itu hanya satu sentimeter, bahkan kurang. Kursi ruang tunggu diberikan jarak satu meter. Giliran naik bus menuju pesawat, tidak berjarak.
Pesawat jauh lebih kecil dari Airbus A380. Saya tidak sempat mengecek jenis apa pesawat itu. Tempat duduk saya persis di samping jendela. Lumayan bisa liat-liat Teluk Arab dari atas. Kota Abu Dhabi ditata sangat bagus. Apalagi jika mendarat di malam hari, lampu-lampu Kota Abu Dhabi seperti daun-daun pohon kurma dilihat dari udara.
Pemandangan dari atas pesawat itu memanjakan mata. Negara ini memang kaya karena produksi minyak. Uni Emirat Arab adalah salah satu negara terkaya di dunia.
Saya duduk sebaris dengan dua penumpang orang Indonesia.
Di samping saya persis perempuan 30an tahunan yang baru turun dari kapal pesiar. Saya sempat bercerita kurang dari satu menit. Setelah itu, saya tidak berbicara apapun selama perjalanan, kecuali waktu permisi mau ke toilet.
Di kursi ujung, duduk Nona Ambon yang sedang belajar pada sekolah mode di Inggris. Anak pengusaha kaya dari Kota Tual, Maluku Tenggara. Saya baru tahu ketika ngobrol pada saat mengantri stempel paspor di Jakarta.
Perempuan di samping saya cukup sering batuk, tetapi berusaha ditahan. Suaranya kecil saja, tetapi tetap batuk. Saya berusaha duduk agak menjauh ke arah jendela. Sejauh-jauh saya menarik badan di tempat duduk itu, jarak saya dan orang di samping hanya terpaut 30 cm.
Saya berusaha tidak membuka masker saya selama perjalanan. Sayangnya, itu penerbangan hampir 10 jam jadi harus makan dan minum. Terpaksa harus buka masker pada waktu makan.
Saya sering membersihkan tangan dengan hand sanitizer. Cukup kuatir dengar suara batuk tertahan di samping saya. Tidak sesering batuk di belakang saya dalam perjalanan New York – Abu Dhabi. Masalahnya, batuk ini datang dari orang di samping saya persis.
Stigma mulai menggila di kepala karena tahu perempuan di samping saya bekerja di kapal pesiar. Tidak semua orang bekerja di kapal pesiar yang merasakan batuk terifeksi Covid-19. Stigma mengalahkan akal sehat saya.
Pertengahan Maret 2020, stigma dan menghakimi orang lain secara sosial memang menginfeksi banyak orang, termasuk saya. Penerbangan kali ini sangat tenang secara fisik. Cuaca cerah. Hampir tidak ada goncangan berarti pada pesawat. Goncangan justru terjadi di dalam pikiran dan hati penumpang. Kecurigaan terhadap orang lain dan hati yang tidak tenang selama penerbangan, menggoncang secara psikologis. Covid-19 tidak hanya menyerang manusia, tetapi juga, berpotensi, ikut membunuh kemanusiaan.
(Bersambung besok)
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi