PendapatGaya Hidup

Berjalan Dalam Bayang-bayang Covid-19 (8)

(KEWAJARAN) PENOLAKAN WARGA

Oleh: Izak YM Lattu
Pemerhati sosial budaya dan dosen pada Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

Selama bulan Maret ini penulis akan menuturkan kisah bagaimana dirinya terpapar Covid, dan bagaimana bisa sembuh dari Covid. Setiap hari akan ada satu kisah yang kami tampilkan. Ini bagian ke-8 dari tulisan bersambungnya.

Pesawat sampai di Jakarta lebih cepat satu jam dari jadwal. Hampir pukul 18.00 tanggal 19 Maret 2020 waktu Jakarta. Setelah keluar dari pesawat, petugas kesehatan mengecek suhu dengan thermo-gun. Suhu saya 36 derajat. Aman. Jika menyentuh 37 derajat saya harus diperiksa lebih jauh. Saya harus mengisi data lengkap dan formulir kuning yang menjelaskan kondisi kesehatan. Tanda tangan lalu saya serahkan kepada petugas berompi hijau muda.

Thermo-gun dan pemeriksaan kesehatan cukup ketat baru dipakai di Jakarta pertengahan bulan Maret. Indonesia dan Amerika Serikat sama, pengecekan suhu di bandara baru dilakukan pertengahan Maret. Padahal, Timor Leste, negara kecil di ujung Pulau Timor, sudah melakukan pengecekan dengan Thermo-gun dan mengharuskan mencuci tangan dengan cairan alkohol tiga bulan lebih awal, Januari 2020.

Dalam waktu hampir tiga minggu, pendekatan terhadap Covid-19 di Bandara Jakarta berubah drastis. Tanggal 3 Maret ketika saya berangkat ke Amerika Serikat, tidak ada pemeriksaan suhu apapun. Semuanya masih terlihat seperti tidak terjadi pandemi. Mungkin karena baru satu hari setelah Pemerintah Indonesia resmi mengumumkan Ibu Pertiwi terinfeksi Covid-19, tanggal 2 Maret.

Tanggal 19 Maret ini Bandara Jakarta terlihat lebih serius menanggapi pandemi global itu. “Apakah anda merasa lelah? Apakah sakit tenggorokan? Apakah bisa mencium?” petugas Bandara Soekarno –Hatta memastikan saya sehat.

Tidak ada masalah sama sekali kata saya. Suhu normal, tidak ada sakit tenggorokan, juga tidak lelah. Tanggal 19 Maret itu saya merasa sangat sehat. Pengecekan suhu selesai, saya menuju counter imigrasi. Stempel diberikan pada paspor dan menuju tempat pengambilan barang.

Saya harus cepat-cepat menuju pintu keberangkatan Garuda, mengejar pesawat terakhir menuju Semarang. Dua koper besar yang sebagian baju bayi saya dorong dengan semangat. Chek-in selesai. Saatnya menikmati makan kecil di Garuda Lounge Bandara Jakarta. Alasan utama masuk ke sini karena gratis. Kebetulan saya punya kartu pelanggan Garuda. Rata-rata penumpang di Garuda Lounge ini belum memakai masker. Belum semua orang Indonesia merasa Covid-19 adalah pandemi yang mematikan.

Sambil menikmati kue dan teh saya membuka telepon genggam. Saya cek pesan WA dan SMS. “Saya berharap jangan ke perumahan x dulu. Warga keberatan. Harus ada pemeriksaan kesehatan.” Begitu bunyi pesan yang saya baca. Warga menolak saya langsung kembali ke rumah. Virus baru yang belum ada obatnya sangat berbahaya. Angka kematian orang terjangkit Covid-19 sangat tinggi.

IMG 20210311 185133
Kota Jakarta dari udara.(Foto: Dok. potretmaluku.id)

Penolakan ini dikemudian hari saya anggap sangat wajar dan bisa dipahami karena kepanikan nasional dan dunia. Namun, tidak waktu itu. Stigma dan kecurigaan memang jadi atmosfir dominan. Meskipun ditolak oleh warga, saya terpaksa kembali ke rumah karena beberapa hal. Saya merasa sangat sehat, suhu baru dicek hanya 36 derajat. Tidak ada keluhaan kesehatan apapun. Selain itu, saya bingung harus tes kesehatan di mana dan bagaimana bentuknya. Belum ada rapid test di daerah. Rapid test baru sampai di Jakarta pertengahan Maret 2020. Juga, masih diprioritaskan bagi para politisi dan keluarga.

“Aku ga bisa jemput yah, ini masih di Solo,” suara Retno di ujung telepon mengabarkan kalau dia tidak bisa menjemput. Kebetulan Retno baru tiba dari menemani Jessy dan Jenny yang mewakili Jawa Tengah untuk olimpiade Bahasa Inggris Emerald Tingkat Nasional di Surabaya. Badannya masih sangat lelah katanya. Retno sedang mengandung, dua bulan, anak kami yang ketiga pada bulan Maret. Biasanya kalau pulang dari mana-mana Retno akan jemput di bandara. Danny mau jemput, kata Retno.

Danny adalah mahasiswa bimbingan saya waktu S1. Tugas akhirnya saya bombing setelah mendapat limpahan dari dosen lain di tahun 2008. Selama menyelesaikan skripsi Danny tinggal bersama kami. “Biar cepat selesai, Odang tinggal di sini,” kata saya untuk menyiasati waktu kuliahnya yang sangat pendek. Setiap hari saya cek perkembangan skripsinya. Mungkin karena suasana bimbingan yang informal dan suasananya yang nyaman, Danny selesai dan akhirnya wisuda tahun 2008 itu. Laki-laki Sumba Timur ini juga berteman sangat akrab dengan ponakan-ponakan saya. Dia ikut-ikutan manggil Om. Jadilah Danny ponakan yang sama dengan ponakan-ponakan lain.

Baca Juga:

“Om nanti beta jemput di Bandara Ahmad Yani,” kata Danny waktu saya akan boarding Garuda Jakarta – Semarang. “OK Odang,” begitu panggilan kami pada suami Pendeta salah satu gereja di Solo ini. Saya yang belum merasakan gejala apapun merasa sehat saja. Aman saja pikir saya.

Perjalanan Jakarta – Semarang hanya 45 menit. Pesawat terakhir dari Jakarta menuju Semarang tidak terlalu penuh. Kursi antara saya dan penumpang lain kosong. Lumayan lega. Tidak padat seperti pesawat Abu Dhabi – Jakarta tadi.

Sebagai pelanggan Garuda, bagasi saya sudah disiapkan sendiri. Menjadi pelanggan Garuda ini sebenarnya bukan karena bisnis atau kelebihan lain. Sebagai Asesor Badan Akreditasi Nasional (BAN) Perguruan Tinggi, saya sering menggunakan maskapai plat merah ini. Bagasi saya ambil dan langsung ke luar menuju tempat penjemputan. Danny sudah menunggu di sana. Saya memilih duduk di belakang supaya agak jauh dari Danny. Jendela juga dibuka, tidak pakai AC.

Perjalanan menuju Salatiga terasa kurang menyenangkan hari ini. Jalan Tol Semarang – Salatiga yang sering disebut sebagai jalan dengan pemandangan terbaik di Indonesia ini justru membuat saya berpikir keras. Koq bisa ada penolakan yah? Begitu pikira saya. Penolakan dari warga perumahan meneror saya. Karena belum merasakan apa-apa waktu itu, saya tetap memilih pulang ke rumah. Penolakan ini tidak beralasan, pikir saya sambil menolak kemungkinan telah terinfeksi virus Covid-19.

IMG 20210311 190022
Jalan tol Semarang – Salatiga.(Foto: Dok. Penulis)

Pada masa awal pandemi ini sangat wajar warga takut pada Covid-19. Penyakit baru, belum ada obat dan membunuh banyak orang. Berita di surat kabar yang saya baca di Bandara Jakarta, 450 orang terinfeksi Covid-19. Dari jumlah itu, hanya 75 orang sembuh. Sisanya meninggal dunia. Virus ini sangat mematikan.

Tenaga medis dan alat-alat kedokteran belum cukup tersedia untuk mengatasi pandemi ini. Tenaga-tenaga dokter ahli terus berkonsultasi dengan dokter-dokter di Wuhan. Dunia, termasuk Indonesia, pada pertengahan Maret 2020 itu masih meraba-raba cara mengatasi varian virus Covid ini. Obat-obatan dicoba pada pasien. Sebagian berhasil, sebagian lagi tidak. Angka kematian sangat tinggi. Meningkat setiap hari.

Dalam kekalutan itu, stigma dan isu tumbuh subur pada masyarakat. Menerima pesan penolakan dari warga, saya awalnya marah. “Terimakasih Bapak/Ibu. Mengapa hanya orang yang kembali dari luar negeri yang dicurigai? Orang yang kembali dari Jakarta dan kota-kota lain juga dapat membawa virus Covid-19,” begitu kata saya membela diri. Sekali lagi saya tidak merasakan gejala apapun dan subu tubuh masih sangat normal. Marah dalam hati mengingat bagaimana diskriminasi yang sama terjadi pada Orang Asia di Amerika Serikat. Asal berkulit kuning dan bermata sipit, pasti dicurigai membawa virus. Saya belum paham bahwa saya telah menjadi orang tanpa gelajar (OTG) istilah waktu itu. Baru setelah keluar dari rumah sakit saya paham mengapa penolakan itu terjadi.

Jam 10 malam tanggal 19 Maret 2021 saya dan Danny tiba kembali di Salatiga. Barang-barang belum sempat saya bongkar. Capek luar biasa. Tidak hanya lelah fisik, tetapi lelah pikiran dan hati. Membaca berita tentang Covid, energi terkuras. Melihat pesan penolakan di WA dan SMS, kejengkelan bertambah. Air panas sudah disiapkan para ponakan di rumah. Harus dimasak dulu, tidak seperti rumah modern yang bisa langsung dari keran air panas. Badan terasa segar, Hati sama sekali tidak sesegar badan. Air mandi dapat mencuci kotoran, tetapi tidak dapat mencuci pikiran. Saya masih menganggap diperlakukan tidak adil. Padahal kemungkinan besar Covid-19 sudah bersarang di tubuh saya.

Malam itu saya tidak dapat tidur dengan nyenyak. Hanya Video Call dengan Retno sebentar untuk memastikan bahwa dia dan anak-anak baik-baik saja. Jetlag karena perbedaan waktu New York dan Salatiga. 12 jam perbedaan jam. Jam 11 malam di Salatiga adalah jam 11 siang di New York. Mata tidak dapat terpenjam. Bukan hanya karena jet lag, tetapi karena teror berita Covid dan pesan-pesan singkat yang masuk ke telpon genggam saya. Kondisi saya yang terasa fit dan sehat menjadi alasan penolakan terhadap kemungkinan saya membawa virus Corona di tubuh saya. Saya belum paham, waktu itu, tubuh saya sudah menjadi rumah baru bagi virus Covid-19.

(bersambung besok)

 


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button