Beberapa hari lalu, saya membaca sebuah postingan di FB dari salah seorang kawan aktifis perempuan, yang mengeritik lirik atau konten lagu yang dinyanyikan Emola, salah seorang penyanyi. Dalam postingannya, teman saya itu memprotes pilihan diksi “L**te” dalam lagu itu.
Sebagai salah seorang juga menggumuli dan “sensi” terhadap wacana, isu dan perdebatan seputaran soal perempuan dengan seabrek “menu” turunannya, kritik (protes) atas pilihan diksi itu adalah wajar belaka.
Respon kritik tajam itu dapat disebut sebagai ekpresi tanggung jawab etis dalam mengadvokasi semesta hal yang dipandang dan dinilai dan kontra produktif dengan substansi, nilai-nilai dam prinsip-prinsip seperti keterbukaan, keadilan, anti diskriminatif, anti kekerasan, kesetaraan dan keberlanjutan, yang sejauh ini secara konsisten diperjuangkan oleh para aktifis perempuan (terutama di Indonesia, terlebih di Maluku).
Dalam konteks itulah, pilihan diksi di dalam lagu tersebut jelas menjadi salaj satu “batu sandung” atas apa yang sudah, sedang dan akan terus diperjuangan dengan demikian gigih dan pantang menuerah. Paling anyar, para ktifis perempuan (di Indonesia) tengah memperjuangkan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Perjuangan-perjuangan itu tidak bisa tidak dan sejatinya pantas dihargai, dihormati dan didukung penuh dari komunitas-komunitas lain, termasuk komunitas insan musik, yaitu penulis lagu, penyanyi, group band, dapur rekaman dan praktisi medsos dunia musik, dan lain sebagainya.
Dalam konteks kasus pilihan diksi “L**te” yang memicu kritik dan protes keras itu, tampak jelas sangat, bahwa ada persoalan pada kerja-kerja berjejaring antara komunitas aktifis perempuan dan komunitas musik di Maluku. Belum terbangun dan terkoneksi secara sinergis antara visi, misi dan agenda-agenda strategis secara bersesama. Pertanyaanya, apakah kasus diksi lagu yang tengah hot dikritik adalah petanda sebuah fenomena ego sektoral juga? Ini masih perlu dikaji lebih jauh tentunya.
Pun begitu, terlepas dari semua kritik pedas yang mengemuka, menurut saya, kreatifitas adalah kebutuhan. Sebab, manusia adalah mahluk kreatif; punya daya cipta, rasa dan karya. Yang dengannya, manusia mampu bertumbuh dan berkembang seturut takaran kodrat dam takdir keberadaannya (sebagai penebar keindahan di muka bumi, khalifah).
Yaitu merasakan keindàhan dari tiap karya yang indah agar hidup dan kehidupannya menjadi benar-brnar indah. Dalam khazanah klasik pemikiran umat Islam dilenal pesan: “Tuhan itu indah, dan suka pada keindahan (dalam makna generik, pen)”. Artinya apa? Tanpa kesadaran visi keberadaam itu, hidup dan kehidupan manusia hanyalah sebuah nestapa, musprah (pseudo) belaka.
Dalam cara pandang demikian, maka sebuah kreatifitas, apapun itu, termasuk konten atau lirik lagu, sejatinya dituntut untuk ikut serta juga mengemban misi keberadaan manusia secara konsisten, yaitu menebar keindahan. Dalam kalimat lain, menegasi visi keberdaan manusia itu sama halnya dengan menciptakan ketergerusan atas makna hidup dan kehidupan manusia. Tidak saja secara individu, tapi juga sosial.
Dalam kasus piliahan diksi “L**te” misalnya, dapat disebut sebagai pilihan diksi yang mengerus makna hidup dan kehidupan karana cederung memberi stigma pada perempuan. Padahal, persoalan perempuan tidak cukup dipotret sesederhana itu.
Persoalan perempuan patut ditangkap dalam semesta kompleksitasnya agar tampak jelas komprehensip. Sehingganya pilihan diksi dalam proses penciptaan lagu sebelum akhirnya dipublikasi secara jelas menjelaskan persoalan secara proporaional, tepat, baik, benar dan indah. Inilah bagian penting dari kerja-kerja “membumikan” misi kehadiran manusia sebagai mahluk kreatif, khalifah, penebar keindahan dalam semeata hidup dan kehidupan manusia.
Saya sangat meyakini, bahwa hidup dan kehidupan manusia bakal terasa indah manakala disarati dengan keindahan. Termasuk saat mendengarkan lagu-lagu yang konten atau liriknya indah, karena menebar rasa, cipta dan karya yang indah.
Dan untuk menghasilkan diksi-diksi pada konten atau lirik yang indah di Maluku, menurut saya, salah satu hal yang mesti dilakulan adalah memperkuat kerja-kerja berjering atara komunitas aktifis perempuan dan komunitas musik di Maluku. Keduanya dituntut untuk membangun dan mengembangkan visi, misi dan agenda strategis bersesama dalam memperjuangkan takdir dan kodrat (hak-hak) perempuan dengan komitmen total dan berkelanjautan.
Perempuan adalah sebuah gambaran keindahan ciptaan Tuhan dengan semesta kompleksitas dan misteri penciptaannya. Itu sebab, perempuan tidak bisa tidak mesti ditempatkan pada keindahannya secara propprsional, seturut takdir dan kodrat penciptaannya.
Penulis: Zainal Arifin Sandia
Volunteer pada Ambon Reconciliation and Mediation Center (ARMC) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi