Pendapat

Anak-Anak Palestina dalam Spiral Kekerasan

PENDAPAT

Oleh: Rusdin Tompo (Koordinator Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA Provinsi Sulawesi Selatan)


Dunia kembali terhenyak. Rudal dan amunisi militer Israel membombardir Jalur Gaza. Hanya dalam tempo 3 pekan, tercatat lebih 7.000 korban tewas, di mana 66 persen di antaranya perempuan dan anak-anak.

Demikian laporan Al Jazeera, yang menyampaikan imbas konflik bersenjata, yang pecah lagi sejak 7 Oktober 2023, di wilayah yang terletak antara Laut Tengah dan Sungai Yordan itu. Defense for Children International-Palestine (DCIP), bahkan secara tragis menyebut setiap 15 menit satu anak tewas. Agresi militer Israel tersebut segera membanjiri berbagai platform digital yang kemudian membentuk solidaritas di berbagai belahan bumi atas nama kemanusiaan.

Juru bicara UNICEF, James Elder, segera bereaksi mendorong urgensi penanganan cepat untuk melindungi anak-anak yang terancam di tengah konflik berkepanjangan tersebut.

Anak-anak, menurutnya, merupakan kelompok paling rentan. Ia menilai, perang tersebut merupakan perang terhadap anak-anak. Sehingga, ia menyerukan semua pihak mengadvokasi perlindungan hak anak di zona konflik. Konflik militer-politik-agama antara Palestina-Israel, memang terbilang lama, terjadi sejak Abad XIX. Perseteruan panjang ini terus berlangsung bagai siklus kekerasan yang berulang hingga Abad XXI.

Dokumentasi Kekerasan

Human Rights Watch (HRW) menyebut sejumlah fakta anak-anak yang berada di medan konflik. Mereka mungkin berperang di garis depan, berpartisipasi dalam misi bunuh diri, dan bertindak sebagai mata-mata, pembawa pesan, atau pengintai. Banyak di antara mereka yang diculik atau direkrut secara paksa. Sementara yang lain bergabung lantaran putus asa karena percaya bahwa kelompok bersenjata menawarkan kesempatan terbaik bagi mereka untuk bertahan hidup (www.hrw.org). Namun, bagi anak-anak Palestina, ada semangat intifadah, mati syahid, sebagai bentuk perlawanan untuk memerdekakan tanah airnya.

Potret anak-anak Palestina yang berada dalam pendudukan Israel itu terekam secara baik dalam film-film dokumenter. Film “Born in Gaza” (2014), misalnya, menggambarkan pengepungan Gaza di tahun 2014 yang mengakibatkan 507 anak tewas dan 3.598 terluka.

Dalam film dokumenter yang disutradarai Hernan Zin, terlihat anak-anak dipaksa dewasa sebelum waktunya. Kehidupan mereka keras, penuh teror. Mereka kehilangan ruang bermain yang aman dan tumbuh dalam ketiadaan makanan yang cukup. Meski begitu, anak-anak tak lagi punya rasa takut. Mereka bisa ‘hidup bebas’ dalam wilayah yang dikepung tentara Israel.

Film lain, berjudul “Two Kids a Day” (2022), mengisahkan anak-anak Palestina di Tepi Barat yang jadi tawanan Israel. Dalam film karya sineas Israel, Yoav Roeh dan Aurit Zamir itu, diungkapkan bahwa terdapat sekira 700 pemuda ditangkap militer Israel setiap tahunnya. Artinya, rata-rata dua anak setiap hari ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara.


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

1 2Next page

Berita Serupa

Back to top button