Pendapat

Sisa-Sisa Nafas di Ambulans

BERJALAN DALAM BAYANG-BAYANG COVID-19 (17)

Oleh: Izak YM Lattu
Pemerhati sosial budaya dan dosen pada Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

Selama bulan Maret ini penulis akan menuturkan kisah bagaimana dirinya terpapar Covid, dan bagaimana bisa sembuh dari Covid. Setiap hari, kecuali hari Minggu, akan ada satu kisah yang kami tampilkan. Ini bagian ke-17 dari tulisan bersambungnya.

Pukul 10 malam, tanggal 30 Maret 2020, saya berusaha duduk di dalam mobil ambulans Rumah Sakit di Kaki Gunung Merbabu. Retno, Bapak Mertua, Ponakan saya Billy dan Ega, pacar Billy, ikut menemani dari jauh. Sejak sore, Billy dan Ega sudah berada di rumah sakit menemani Retno dan Bapak Mertua saya. Ketika Danny mulai dikarantina di rumah kami, Billy yang mengambil peran penghubung saya, rumah sakit dan keluarga.

Malam itu, Retno, Bapak Mertua saya, Billy dan Ega hanya dapat melihat saya masuk ke mobil Ambulans. Itupun dari jarak kurang lebih 10 meter. Tidak boleh dekat-dekat. Meskipun hati ingin sekali memeluk, tangan tak kuasa meraih. Virus Covid-19 menjadi tembok virtual yang memisahkan kami. Saat paling pahit dalam keterpurukan Covid-19 adalah ketika melihat orang-orang tersayang terpaksa hanya dapat memandang dari jauh.

windshield 5366584 1280
Ilustrasi hujan di malam hari.(Foto: Avelino Calvar Martinez dari Pixabay)

Mobil Ambulans mulai keluar dari rumah sakit di Kaki Gunung Merbabu. Hujan rintik-rintik menemani perjalanan kami waktu itu. Memang, bulan Oktober – April menjadi musim penghujang di Kaki Merbabu. Udara lumayan dingin. Entah karena suhu di malam itu atau demam yang tetap bertahan di tubuh saya. Kaki Merbabu ini cukup dingin. Pada musim hujan suhu berkisar antara 19 – 25 derajat.

Musim hujan tidak sedingin musim panas di kota ini. Juni – Juli biasanya menjadi bulan paling dingin di Kaki Merbabu. Muslim dingin di Australia dan sekitarnya berpengaruh pada suhu di sini. 15 – 20 derajat adalah suhu normal di tengah musim panas itu. Ketika pertama sampai di kota ini, tanggal 9 Juni 1994, saya menggigil kedinginan. Terasa jauh lebih dingin dari musim yang sama sekarang. Pemanasan global mengubah alam.

Sirine ambulans yang saya tumpangi mulai berbunyi nyaring. Lampu di atas mobil itu terus manyala. Sirine dan lampu menjadi penanda darurat. Mobil bergerak sangat cepat. Saya tidak sempat lagi melihat keluar. Apakah ambulans melewati kota atau jalan lingkar. Saya tidak tahu. Setelah jalan lingkar Kota Kaki Merbabu ini diresmikan dan jalan tol Solo-Semarang mulai beroperasi, ada lebih dari satu alternatif jalan menuju Semarang dari Kaki Merbabu.

Ambulans terus bergerak. Bapak Mertua dan Retno mengikuti dari belakang menggunakan mobil kami. Billy dan Ega juga terus menemani dengan mobil sendiri. “Mobil Ambulans bergerak cepat sekali,” cerita Billy, satu minggu setelah saya kembali ke rumah. “Bapak tidak bisa mengejar mobil ambulans, terlalu cepat,” tambah Retno menambahkan penjelasan Billy. Dua mobil ini terus berusaha mengikuti gerak ambulans, tetapi tertinggal jauh di belakang.

“Mobil ini bergerak lambat sekali,” kata saya dalam hati pada malam tanggal 30 Maret itu. Saya merasa mobil bergerak sangat lamban. Nafas saya sudah tersengal-sengal di belakang. Badan demam dan lelah luar biasa. Saya coba terus bersandar pada dinding mobil ambulans.

Duduk menyamping bagi pasien berat seperti saya tidak menolong sama sekali. Keringat dingin mulai ikut bercucuran. “Mengapa jarak Kaki Merbabu dan Semarang begitu lama?” pikir saya dalam hati. Saya tidak sempat lagi mencari telpon genggam sebelum keluar dari rumah sakit tadi. Entah di mana Hp saya. Saya tidak bisa berkomunikasi dengan siapapun dalam perjalanan itu. Kalaupun HP ada di dekat saya, saya pasti tidak akan kuat untuk sekedar mengetik atau liat layar telpon genggam. Tangan saya sibuk mencari pegangan supaya bisa bersandar dengan baik.

ambulance 5504275 1280
Ilustrasi bagiandalam ambulans.(Foto: Charlotte Govaert dari Pixabay)

Kondisi semakin lemah. Tidak lagi mampu rasanya duduk bersandar pada dinding ambulans. Saya berusaha memindahkan badan saya ke belakang. Berusaha tidak duduk menyamping. “Duduk menghadap ke depan lebih baik,” pikir saya sambil terus bergerak ke arah belakang mobil. Ambulans terus bergerak. Saya masih berusaha mencari posisi duduk yang enak dan agak nyaman supaya bisa bernafas dengan baik.

Bagian belakang ambulans sudah hampir saya sentuh. Tiba-tiba selang nasal yang membatu pernafasan saya terlepas. “Astagaaaa,” teriak saya di belakang. Panik. Bernafas jadi sangat sulit. Saya sendiri berjuang dengan selang nasal. Tangan saya berusaha mencari selang nasal tadi. Tak kunjung ditemukan. Lampu ambulans itu memang agak remang-remang. Tidak cukup terang untuk mencari selang kecil itu. Dalam keadaan normal, ini bukan masalah. Hanya dalam hitungan detik nasal pasti ditemukan. Masalahnya saya sudah tidak punya tenaga untuk mencari.

Dorongan untuk tetap hidup membuat saya mencari sekuat tenaga. Saya berusaha duduk di atas lantai ambulans. Tangan saya gerakan kiri-kanan, berusaha menggapai nasal itu. Dada saya bertambah sesak dan nafas tersengal-sengal.

Rasanya udara tidak sampai ke paru-paru. Bernafas jadi begitu susah tanpa oksigen dari selang nasal. Saat masih bernafas menggunakan sungkup di rumah sakit Kaki Merbabu saja, saturasi hanya 70an. Apalagi tidak pakai alat bantu apapun seperti sekarang. Leher terasa dicekik dan dada terasa ditindih barang seberat 200
kilogram .

Seperti didorong maju, saya segera menggerakan badan menuju pembatas ambulans. Rasanya seperti tenggelam di dalam air. Sulit bernafas. Pembatas itu mobil saya gedor berulang-ulang. Sopir menghentikan mobil ambulans di pinggir jalan. Petugas kesehatan membuka pintu belakang ambulans. “Ada apa Mas?” tanya petugas medis ketika pintu ambulasn terbuka. “Nasalnya lepas Pak. Saya cari tidak ketemu,” jelas saya. Petugas medis ini naik ke dalam mobil. “ Tolong saya Pak. Saya sulit bernafas,” kata saya.

Petugas medis ini dengan cekatan mencari nasal yang lepas tadi. Setelah ditemukan, nasal ini dipasangkan pada hidung saya. Kepanikan saya ini bukan hanya karena tidak bisa menemukan nasal, tetapi tidak tahu bagaimana memasang alat ini. “Saya bisa bernafas lagi dengan baik Pak. Terimakasih,” kata saya menjawab pertanyaan petugas medis tentang bisakah bernafas dengan lancar. Saya tidak bisa membayangkan andai saja mobil ambulans ini tidak berhenti.

Billy dan Ega yang melihat ambulans berhenti segera menepi di belakang mobil itu. Billy mencucurkan air mata melihat ambulans berhenti. “Kayaknya ada apa-apa dengan Om,” kata Billy pada Ega. Billy segera mendekat dan bertanya pada petugas apa ada? Setelah mendapat penjelasan, hatinya lega.

Billy memiliki pengalaman mengantar keluarga sakit seperti ini. Tiba-tiba mobil ambulans berhenti di tepi jalan karena pasien sudah meninggal dunia. “Trauma beta liat ambulans yang bawa Om berhenti di tepi jalan tol itu. Beta pung air mata meleleh membayangkan sesuatu yang buruk terjadi dengan Om,” jelas Billy kemudian, ketika saya kembali ke rumah.

Bapak Mertua dan Retno tertinggal jauh di belakang. Mereka tidak melihat kejadian ambulans berhenti ini. Meski berkendaraan di tengah malam, Bapak berusaha mengejar ambulans tetapi kecepatan ambulans itu terlalu cepat. Malam itu, mobil ambulans mungkin berlari dengan kecepatan 140 kilometer/jam. Para petugas medis ini tahu bahwa saya harus segera mendapat penanganan rumah sakit lebih besar. Harus segera mendapat alat bantu nafas yang lebih canggih.

Cairan sudah memenuhi paru-paru saya. Kekebalan tubuh yang belum dapat mengenal virus Corona 19 justru menyerang sel sehat di paru-paru. Serangan itu menyebabkan cairan di paru-paru. Cairan ini penyebab saya tidak bisa bernafas dengan baik melalui hidung. Perlu alat bantu nafas yang lebih besar. Alat bantu nafas sebelumnya: nasal dan sungkup di rumah sakit Kaki Merbabu tidak dapat menolong saya. Oksigen dalam darah terus menurun.

Saya beruntung Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Kariadi di Semarang masih punya alat bantu nafas. Pada bulan Maret 2020, alat bantu nafas canggih dan lengkap ini masih langkah. Tidak semua rumah sakit punya alat bantu nafas yang canggih. Bahkan rumah sakit di Kaki Merbabu yang sudah cukup maju, tidak
memiliki alat ini untuk pasien Covid-19.

“Nafas saya tergantung pada alat bantu,” pikir saya ketika Retno menjelaskan alat bantu ini. Covid-19 ini menyerang saya dengan sangat berat. Nafas yang biasanya saya lakukan bahkan tanpa sadar, sekarang harus menggunakan alat bantu. Sekedar bernafas saja saya merasa kesulitan.

Laju mobil mulai melambat. Seperti mulai keluar dari jalan tol memasuki Kota Semarang. “Sebentar lagi sampai di RSUP Kariadi, “pikir saya. Nafas makin berat. Leher, terasa, semackin tercekik. Saya berusaha terus bertahan. Nafas saya tarik dalam-dalam. Coba saya hembuskan sekuat-kuatnya ke paru-paru. Saya lakukan berulang-ulang. Naluri bertahan hidup mendorong saya berjuang.

“Tuhan kasih kesempatan bagi saya untuk tetap hidup,” doa saya dalam hati membayangkan harus menggunakan alat bantu nafas yang lebih besar kapasitasnya. Ketika nasal dipasang lagi, saya menengadah ke atas. “Tuhan, jadilah kehendakMu. Jika boleh beta meminta, kasih beta kesempatan sekali lagi untuk hidup,” doa saya dalam hati.

(bersambung besok)


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button