Pendapat

Kepanikan Massal dan Hoax Kematian

BERJALAN DALAM BAYANG-BAYANG COVID-19 (16)

Oleh: Izak YM Lattu
Pemerhati sosial budaya dan dosen pada Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

Selama bulan Maret ini penulis akan menuturkan kisah bagaimana dirinya terpapar Covid, dan bagaimana bisa sembuh dari Covid. Setiap hari, kecuali hari Minggu, akan ada satu kisah yang kami tampilkan. Ini bagian ke-16 dari tulisan bersambungnya.

Tanggal 30 Maret 2020, sore, berita tentang saya terkonfirmasi Covid-19 berkembang sangat cepat. Kaki Merbabu heboh. Berita ini berseliweran di hampir semua group whatsapp (WA) kota ini. “Pecah telur, akhirnya Kaki Merbabu terjangkit,” kata beberapa group WA.

Sebelumnya, tidak ada pasien terkonfirmasi Covid-19 di kota ini. Berita simpang siur mulai dihembuskan. Dapat dimengerti, memang, pada waktu itu virus ini masih sangat baru dan mematikan. Kabar saya meninggal dunia juga tidak kalah heboh. “Telah meninggal dunia, pasien nomor satu di kota Kaki Merbabu,” kata pesan dalam group-group media sosial lengkap dengan foto saya.

Entah dari mana kabar ini mulai berhembus. Komunitas-komunitas saya di kota ini panik. Para mahasiswa berpelukan di kamar-kamar kos mereka. Air mata mengalir, kata mereka. Membayangkan dosen mereka terbujur kaku akibat Covid-19.

“Bu Irma, apakah betul Ka Chaken meninggal?” tanya mahasiswa pada Mbak Irma, senior saya, co-teacher di CRCS UGM. Kami memang sedang mengajar Matakuliah Interreligious Dialogue di kampus itu ketika saya berangkat ke Amerika Serikat.

Sejak kondisi memburuk memang saya sudah tidak dapat menghubungi banyak orang. Tangan terasa berat untuk hanya sekedar mengirimkan WA. Mbak Irma panik sekali. Berusaha kontak Retno dan cari informasi sana-sini untuk memastikan kabar buruk itu. Panik dan heboh waktu itu.

Kabar buruk itu memang menyiksa komunitas di mana saya bermasyarakat. Pendeta gereja tempat kami beribadah juga menelpon saya. “Yang kuat yah Bung. Kita berdoa yah,” kata Ibu Pendeta. “Saya masih baik-baik saja Ibu,” jelas saya pada beliau.

“Syukurlah Bung Chaken masih baik-baik,”lanjut Ibu Pendeta. Kebetulan pendeta ini adalah adik kelas saya waktu kuliah dulu. Waktu itu menjadi mahasiswa S2 di tempat saya mengajar. Ibu Pendeta juga menelpon Retno untuk menguatkan dia. Ini saat-saat di mana kekuatan spiritual menjadi kekuatan dalam kecilnya harapan untuk sembuh.

Para sahabat di Salatiga tidak kalah hebohnya. “Ngana pe kabar bagemana?” kata Hock dan Toar, dua sahabat saya sejak kuliah. Mereka menelpon saya untuk memastikan saya baik-baik saja. “Kita ada bae-bae,” kata saya membalas telepon dua sahabat asal Sulawesi Utara ini. Mereka berdua dan sahabat-sahabat saya yang lain mulai mengklarifikasi berita hoax itu.

Para sahabat ini adalah teman-teman sejak masih kuliah dulu. Kami tinggal di Asrama Mahasiswa dan sudah merasa seperti saudara. Saat itu memang Asrama Kampus kami dibangun untuk mendukung usaha membangun masyarakat multikultur.

“Kalian harus tinggal dengan orang yang berbeda suku, fakultas dan, jika mungkin, agama. Supaya bisa belajar memahami perbedaan,” begitu kata Kepala Asrama kami waktu itu.

Ketika datang dari Maluku tahun 1994, saya bermaksud tinggal di kos saja. Sudah berusaha cari kos sana-sini. Kebetulan senior saya, Bung Oce, kuliah di kampus ini. Saya menumpang di kos Bung Oce. Beberapa kali main ke Asrama, saya tertarik dengan pola hidup di Asrama. Para senior menjadi mentor diskusi formal dan informal.

Solidaritas dan persahabatan multikultural sangat kental. Selain itu, lapangan sepakbola kecil (gemilang) di belakang asrama adalah daya tarik yang tidak bisa saya tolak. Di Asrama ini saya tinggal sampai lulus tahun 1999.

Tempat saya bekerja juga tidak kalah heboh. Berita liar berhembus sangat kencang. “Kaki Merbabu nomor 1 sering berkeliaran di kampus ketika pulang dari Amerika Serikat,” kata berita satu media sosial. Berita media sosial lain mengisukan saya masih memberikan kuliah di hadapan ratusan mahasiswa.

Hoax lain menyebutkan saya sempat memimpin ibadah. Tanggapan hoax dan kekhawatiran ini merefleksikan kepanikan Indonesia menghadapi serangan mematikan Covid-19 waktu itu. Semua orang panik dan takut.

ambulance 4315643 1920
Ilustrasi ambulans membawa pasien.(Foto: Andrzej Rembowski dari Pixabay)

Angka kematian terus naik. Ambulans-ambulans di kota-kota besar berseliweran mengangkut pasien positif. Asrama Atlet dan Asrama-Asrama Haji diubah menjadi rumah sakit darurat. Covid-19 menjadi bencana bersama yang menebar ketakutan global.

“Saya dan Kakung berangkat ke Salatiga sekarang yah,” kata Retno di ujung telpon. Dia dan Bapak Mertua saya segera berangkat ke Salatiga. Retno mau menyetir sendiri, tetapi tidak diijinkan Mertua saya. “Jangan berangkat sendiri, biar bapak yang nyetir,” tegas Bapak Mertua.

Retno sedang hamil, dua bulan, anak kami yang ketiga. Dia juga sedang panik dan dibalut kekhawatiran luar biasa. Mengemudikan kendaraan sendiri ke Kaki Merbabu bukan ide baik.

Rumah sakit di Kaki Merbabu bergerak sangat cepat. Apalagi ketika mereka tahu Retno adalah teman sejawat (TS). “Bagaimana keadaan suami saya,” tanya Retno ketika pertama kali sampai di Rumah Sakit Kaki Merbabu. “Keadaannya memburuk,” kata tenaga kesehatan yang bertanggung jawab atas perawatan saya.

Retno berusaha tenang. Dia menyadari fasilitas rumah sakit in memang terbatas. “TS saturasi suami anda terus menurun. Kami tidak bisa lagi menangani. Harus segera ditangani rumah sakit yang lengkap fasilitasnya,” kata tenaga kesehatan tadi. Retno mendukung keputusan cepat Rumah Sakit Kaki Merbabu.

“Kami sudah menghubungi Rumah Sakit Kariadi di Semarang,” jelas penanggungjawab itu. Rumah sakit Kariadi memang lebih besar dari Rumah Sakit Kaki Merbabu. Kariadi adalah Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) adalah rumah sakit rujukan nasional. Fasilitasnya sangat lengkap. Salah satu rumah sakit terbaik di Indonesia.

Retno memahami kondisi itu. Sebagai tenaga kesehatan, dia paham kondisi darurat Covid-19. Tidak gampang mengurus pasien positif Covid19 pada tanggal 30 Maret ini. Setelah semuanya selesai diurus, Retno kembali menunggu di mobil.

Bapak mertua saya dari tadi menunggu di dalam mobil di parkiran rumah sakit. Waktu itu pukul empat sore. Lima jam kemudian, pukul sembilan malam, semua urusan antarrumah sakit dapat diselesaikan.

Rumah sakit di Indonesia memang punya sistem rujukan (sisrute) antarrumah sakit. Semua data tentang pasien (resume) dan alasan rujukan harus diketik ulang. Semua dikirim secara online. Setelah dikirim, rumah sakit tujuan rujukan memastikan terdapat tempat tidur dan alat yang dibutuhkan. Baru direspon oleh rumah sakit rujukan. Proses rujukan antarrumah sakit memang memakan waktu.

“Masih lama yah?” tanya saya pada Retno. Di ruang isolasi, kondisi saya sudah semakin parah. Saturasi saya menurun setiap saat. Oksigen yang masuk ke otak menjadi semakin sedikit. Saya semakin lelah dan ingin terus menutup mata.

Virus corona-19 yang menyerang paru-paru menyebabkan badai sitokin, semacam badai kekebalan tubuh. “Karena tidak mengenal virus itu, kekebalan tubuh ikut menyerang sel sehat di paru-paru. Akhirnya paru-paru mengalami kerusakan,” jelas Retno.

Saya berusaha tetapi kuat dan memahami penjelasan Retno. Jam sembilan malam kabar dari Semarang datang. Kamar dan fasilitas siap. Para petugas medis yang mengantar saya mulai menyiapkan diri. “Ini para petugas yang mau mengantar dengan ambulans mulai memakai Alat Pelindung Diri (APD),” jelas Retno melalui telpon ketika dari jauh melihat petugas mulai bersiap. Petugas harus bekerja ekstra. Harus memastikan APD aman melindungi. Mereka berhadapan dengan pasien yang terinfeksi virus mematikan.

corona 5123445 1920
Ilustrasi petugas mengenakan Alat Pelindung Diri, mendorong pasien menggunakan kursi roda.(Foto: Alexandre C. Fukugava dari Pixabay)

“Selamat malam. Kita akan berangkat sekarang,” sapa petugas ketika membuka pintu ruang isolasi. “Terimakasih pak. Saya siap,” balas saya. Beberapa baju di sekitar sudah saya masukan ke dalam tas punggung. Saya tidak mampu lagi bergerak jauh. Buku renungan kecil yang selalu menemani saya, tidak terjangkau. Rasanya lelah sekali.

“Saya ijin pasang kateter,” kata petugas medis. Kateter dipasang pada alat vital saya. Kateter ini membantu pasien kategori berat untuk buang air kecil. “Oh saya harus pipis di tempat tidur,” kata saya dalam hati. Saya berusaha memahami apa yang terjadi. Berusaha memahami mengapa kateter harus melekat pada tubuh saya. Kateter memang harus dipasang karena saya masuk kategori pasien bergejala berat. Bukan pasien tanpa gejala atau pasien dengan gejala ringan. Sangat berat kondisi saya.

Setelah kateter dipasang, tempat tidur saya didorong ke luar. Saya masih tetap berada di tempat tidur. Cepat sekali proses itu. Sampai di depan ambulans, saya turun dan masuk ke dalam ambulans. “Ini ambulans yang sama dengan ambulans sebelumnya,” pikir saya sambil berusaha mengenali mobil itu.

Ambulans dengan tempat duduk seperti angkutan kota. Dua bangku panjang, dari depan ke belakang saling berhadapan. Tidak ada tempat tidur di dalam ambulans. Hanya dua tempat duduk itu. Ini pertama kali saya naik mobil ambulans ketika sakit. Oleh petugas medis, sungkup saya diganti dengan nasal di dalam ambulans.

Alat bantu nafas ini sudah pernah saya pakai sebelumnya. Namun, ketika kondisi memburuk, nasal diganti dengan sungkup. Supaya bisa bernafas dengan lebih maksimal, kata Retno waktu itu. Saya duduk sendiri di belakang. Hanya tabung oksigen besar, warna putih, yang menemai saya di belakang.

Dengan kondisi kepayahan saya berusaha duduk. Sulit sekali duduk dalam kondisi seperti itu. “Tuhan tolong saya,” doa saya sebelum duduk di dalam ambulans. Kondisi melemah. Sungkup diganti dengan nasal. Nafas menjadi semakin berat. “Pegang tanganku Tuhan. Aku tak dapat jalan sendiri,” mulut saya komat-kamit berdoa.

Kekuatan spiritual saya lambungkan. Lemah saya bersandar pada dinding ambulans. “Dalam pelukanMu kurebahkan tubuhku. Peluk aku Tuhan,” doa saya lagi. Kondisi terus memburuk. Saya terus berusaha membangun harapan pada pemilik Kehidupan.

(bersambung hari Senin)


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button