
Embun masih bergelayut di daun-daun kopi, udara pagi mengiris kulit seperti sembilu, dan di kaki pegunungan Pulau Seram, seorang anak perempuan, sebut saja ia bernama Naila, kembali menapaki jalan berbatu menuju sekolah.
Ia berjalan hampir dua jam, menyusuri jalur setapak, melintasi sungai yang airnya setinggi paha, hanya demi satu hal yang belum bisa ia pahami sepenuhnya: masa depan.
Di pundaknya tergantung tas lusuh, berisi buku-buku warisan kakaknya. Kadang, jika hujan datang, air sungai berubah deras, Naila dan teman-temannya harus menunggu berjam-jam hingga bisa menyeberang.
Tapi ia tetap berangkat. Karena bagi Naila, sekolah bukan hanya soal angka dan huruf, melainkan satu-satunya jalan keluar dari lingkaran panjang kemiskinan yang telah menjerat keluarganya selama bertahun-tahun.
Naila adalah satu dari ribuan wajah tak terlihat dalam statistik pendidikan Provinsi Maluku—wajah-wajah yang jarang terdengar suaranya di ruang-ruang rapat dan podium kampanye.
Keterpurukan yang Tak Sekadar Angka
Pada sebuah pertemuan sederhana dengan para pewarta di September 2024, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Maluku saat itu, Insun Sangadji, mencoba meluruskan narasi yang terlanjur berakar. Nada suaranya berat, seolah memikul beban sejarah panjang.
“Keterpurukan ini bukan warisan kemarin sore,” ujarnya, menyiratkan luka mendalam yang telah lama menganga. Ia mempertanyakan validitas peringkat mutu pendidikan yang menempatkan Maluku di jurang paling bawah.
“Tunjukkan datanya,” tantangnya, sebuah seruan frustrasi dari seorang yang bergelut dengan realitas minimnya sumber daya. Hanya 428 sekolah SMA/SMK/SMALB untuk seluruh provinsi, sebuah perbandingan mencolok dengan gemuknya jumlah sekolah dasar dan menengah di kabupaten lain.
“Kami tak bisa bergerak sendiri,” lirihnya, menyiratkan perlunya uluran tangan dari berbagai pihak. Namun, di tengah keputusasaan, secercah optimisme terpancar. “Orang Maluku itu cerdas,” katanya, mencoba membangkitkan kebanggaan akan potensi yang terpendam.
“Omega-3 dari laut kita adalah kuncinya.” Sebuah keyakinan sederhana namun menyentuh, bahwa di tengah kekurangan, alam pun memberikan anugerah kecerdasan.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi