Oleh: Elifas Tomix Maspaitella (Eltom) – Pemerhati Sosial
“Orangtua tuh pung sayang par anana tuh basar” (=rasa sayang orangtua kepada anaknya itu besar). “Beta seng sampe hati lia dong susah anana e” (=Aku tidak tega melihat kalian susah anak-anakku). “Jang kata lia, dengar sa tetap seng sampe hati” (=jangankan melihat, mendengar pun tidak tega). “Orangtatua sapa yang mau dia ana susah?” (=Orangtua siapa yang mau anaknya susah?) “Tar ada” (=Tidak ada!)
“Sio, beta yang barana sa tar biking susah anana, jadi jang orang biking susah dong” (=saya yang memperanakkan saja tidak menyusahkan anak-anakku, jangan orang lain melakukannya). Hubungan batih selalu menjadi alasan untuk “seng sampe hati” (=tidak tega), karena “beta yang rasa saki mulai dari tadudu sampe dia jadi/saki barana” (=saya yang merasakan sakit sejak awal hamil sampai persalinan). Ini suatu wujud rasa cinta yang tidak taranya.
“Seng sampe hati” juga luapan kasih sayang antarsaudara. “Orang mau bilang apa lai, busu-busu sudara jua” (=apa pun kata orang, apapun keadaannya saudara tetaplah saudara). Jadi seorang saudara juga “seng sampe hati lia dia sudara susah/lia orang pasapua biking sasabarang par dia sudara” (=tidak tega melihat saudaranya susah/melihat orang memperlakukan saudaranya sesuka hati mereka). Rasa iba itu lahir dari “sayang orang sudara” (=cinta kepada saudara).
“Seng sampe hati” juga luapan rasa sayang ketika melihat orang-orang “dapa calaka” (=mengalami bencana), sehingga “poti-poti par pi tulung/datang bawa tulungan” (=segera pergi menolong/datang membawa bantuan). Biasanya ada ungkapan yang menggambarkan sifat “poti-poti” (=mau bersegera) itu yaitu “sio, seng sampe hati lai” (=sungguh tidak tega). Wujud kepedulian yang tinggi karena “mau bataria sapa lai, kalu bukang katong yang musti tulung” (=mereka mau memanggil siapa lagi kalau bukan kita yang mesti menolong).
Kadang “ada akang hambak lai” (=ada tantangannya pula) yaitu pertanyaan “se sapa kong?” (=Anda siapa?). Orang tidak melihat pada kesusahannya, tetapi mempersoalkan “se/dong sapa kong?” Orang datang menolong, tetapi “katong tola” (=kita menolaknya), mungkin hanya karena “tar kanal” (=tidak mengenal).
Malah kasarnya kita bertanya “sapa pung pus ni?” (=Siapa ini? ~istilah ini bentuk sinisme terhadap orang yang tidak kita kenal yang datang menolong. Pus itu kucing). Bentuk penolakan ini sering terjadi karena “anggap dong tuh orang” (=menganggap mereka yang menolong itu orang). Ada sikap yang tidak mau menerima seseorang yang berbeda latarbelakangnya dalam soal “bakutolong” (=tolong menolong). Jadi ini mesti diselesaikan juga sebab “kalu susah tuh, sudara balong datang lai, birman su kamuka” (=bila kita susah, saudara kita belum datang, tetangga kita sudah hadir terlebih dahulu) karena “dong jua seng sampe hati lai” (=mereka juga tidak tega melihat kita susah).
“Jang tola orang tulungan” (=jangan menolak pertolongan orang lain) “tagal dong jua mau biking bae par katong” (=mereka juga hendak melakukan hal baik kepada kita).
Selasa, 15 Juni 2021
Pastori Sinode GPM Jln. Kapitang Telukabessy-Ambon
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi