Hukum & KriminalNasional

Pasal Karet dalam RUU KUHP, Mengekang Kebebasan Advokat, Pers Hingga Masyarakat Sipil

potretmaluku.id – Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), menuai kontrovesi karena terdapat beberapa pasal karet. Pasal itu, berpotensi mengekang kebebasan advokat perpendapat.

“Selain advokat, juga mengekang kebebasan pers dan masyarakat sipil termasuk akademisi. Mereka bisa terjerat, jika melakukan menilai kepada hakim, pengadilan karena beranggapan tidak imparsial,” kata Advokat dan Konsultan Hukum, Barbalina Matulessy kepada potretmaluku.id, Senin (14/06/2021).

Dalam RUU KUHP, kata Barbalina, pasal yang perlu ditinjau adalah Pasal 281 dan Pasal 282 tentang Pasal Contempt Of Court atau menghina peradilan.

Sebagaimana Pasal 281 tertulis, bahwa setiap orang akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun, perlu dikaji secara mendalam.

Misalnya di kategori II, huruf (a) Tidak mematuhi perintah pengadilan atau penetapan hakim yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan; huruf (b) Bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan;

Atau (c) Secara melawan hukum merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan atau dipublikasikan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang.

“Khusus untuk huruf a, yang dimaksud tidak mematuhi perintah pengadilan dan penetapan pengadilan dapat menjadi ruang untuk mengkriminalisasi advokat,” tandasnya.

Barbalina mengatakan, padahal profesi advokat mempunyai kewajiban dalam proses pembelaan terhadap kliennya di pengadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU Advokat.

Dengan landasan UU tersebut, maka advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya didalam sidang pengadilan. Meski begitu, tetap berpegang kode etik profesi.

Selain itu, di Pasal 282 RUU KUHP yang berbunyi, dipidana penjara paling lama 5 (Lima) tahun justeru kontroversi Pasal 16 UU Advokat Jontu putusan MK No : 26/PUU-XI/2013. Padahal Pasal 16 UU Advokat tertulis bahwa advokat tidak dapat dituntut, secara perdata maupun secara pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik, untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan.

“Terhadap pasal 282 ini pun juga bagi saya dalam formulasi deliknya sangat multitafsir sehingga sangatlah bertentangan dengan asas Lex Certa (rumusan delik pidana harus jelas) dan Lex Stricta (rumusan delik pidana harus tegas tanpa ada analogi),” katanya.

Bagi Barbalina, pasal tersebut diatas sangat tidak jelas, dikatakan demikian karena dalam UU Advokat sudah sangat jelas diatur secara eksplisit, mengenai batasan tindakan yang dapat dilakukan oleh profesi Advokat, sehingga tidak perlu lagi diatur di dalam RUU KUHP.

Terhadap kedua Pasal tersebut, Barbalina menyebutnya sebagai pasal karet dan berpotensi mengekang kebebasan berpendapat bukan hanya untuk Advokat tetapi juga kebebasan pers.

“Pasal itu, juga dengan mudah mengkebiri akademisi hingga kelompok masyarakat sipil yang mungkin saja berusaha menyuarakan penilaian mereka terhadap hakim atau pengadilan yang dianggap tidak imparsial,” jelasnya.

Barbalina menambahkan, menyuarakan pendapat terhadap tindakan penguasa, dalam hal ini termasuk hakim atau pengadilan untuk negara penganut sistem demokrasi seperti di Indonesia adalah hal yang biasa.(PM-01)


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button