S Sinansari ecip, Jurnalis dengan Mahkota Buku
Oleh: Rusdin Tompo (Koordinator Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA Provinsi Sulawesi Selatan)*
“Buku merupakan mahkota bagi seorang wartawan,” begitu tulis BM Diah, Pemimpin Redaksi Harian Merdeka. Tokoh pers yang juga seorang pejuang kemerdekaan bernama lengkap Burhanuddin Mohammad Diah (1917-1996) ini, tampaknya hendak mengingatkan bahwa wartawan yang merupakan saksi sejarah dan pencatat peristiswa itu, sesungguhnya merupakan pelaku sejarah yang layak punya buku.
Sebagai jurnalis, ia juga berada dalam peristawa yang layak didokumentasikan. Karena pena atau gawai itu ditangannnya, dikuasai secara teknis, dan ia memahami historinya, maka sebaiknya ia menuliskannya sendiri. Selain menulis berbagai hal yang ia pahami untuk kerja jurnalistik.
Dengan wawasan yang luas, tentu seorang wartawan sangat mumpuni menulis beragam tema dan genre tulisan, termasuk karya sastra.
Tersebutlah, sejumlah wartawan yang namanya juga tercatat dengan tinta emas dalam sejarah kesusastraan Indonesia, antara lain Mochtar Lubis, Adinegoro, Goenawan Mohamad, dan Putu Wijaya. S Sinansari ecip, termasuk wartawan yang berada dalam deretan sastrawan.
Pria kelahiran Malang, Jawa Timur, 26 Juli 1943, itu pun telah memahkotai dirinya dengan buku. Karya-karyanya, antara lain “Perjalanan” (novel, 1976), “Pembayaran” (novel, 1979), “Cak Qadar” (novel, 1979), “Wolter tentang Wolter” (novel, 1981), “Kursi Pemilu” (novel, 1982), “Lahir di Salemba” (antologi puisi, 1966), “Sajak-Sajak dari Makassar” (antologi puisi, 1974), “Dengung untuk Negeriku” (kumpulan puisi, 1983), “Ombak Losari” (antologi puisi, 1992, ed), “Tatoo Burung Elang” (kumpulan cerpen, 1983), “Kubu di Atas Bukit” (cerita anak), “Gerilya Pantai” (cerita anak), dan “Komunikasi dan Pembangunan” (kumpulan esai, 1985, bersama AS Achmad).
Saya mulai mengenal S Sinansari ecip, yang bernama asli Sutiono, melalui bukunya “LSM Sariawan?”. Buku berukuran kecil yang diterbitkan Pustaka Firdaus (1996) ini, diberi kata pengantar oleh penyair Taufiq Ismail.
Daya tarik buku ini pada judulnya yang tampaknya hendak menyentil diamnya para aktivis. Penulis mengajukan pertanyaan, apakah kalangan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) kurang vokal dan tidak lantang menyoal sengkarut masalah bangsanya, lantaran lagi sariawan? Judul dengan kosakata simbolik ini menarik saya, apalagi jika membaca konteks era Orde Baru yang sarat represif, kala itu.
Buku kedua, yang membuat saya bersentuhan dengan S. Sinansari ecip, yakni “Kronologi Situasi Penggulingan Soeharto”, terbitan Mizan, tahun 1998.
Reportase jurnalistik 72 jam yang menegangkan ini, termasuk buku laris. Karena hanya dalam tempo kurang dari sebulan setelah diterbitkan, sudah terjual sebanyak 4.000 eksemplar buku. Pada awal Reformasi, memang semua yang berbau rezim Orba dan Soeharto beserta kroni-kroninya dicari untuk dibaca.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi