Maluku

Periset BRIN Teliti Peran Sastrawan dan Komunitas untuk Rekonsiliasi Paska Konflik Maluku

potretmaluku.id, – Sebanyak enam orang periset dari Badan Riset dan Inovasi Naisonal (BRIN) hadir di Provinsi Maluku, untuk melakukan penelitian terkait ekorekonsiliasi paska konflik di Maluku, dalam perspektif etnoterapi sastra.

“Penelitian yang berlangsung 6-15 Juni 2023, bertujuan menganalisis wujud ekorekonsiliasi paskakonflik dalam perspektif etnoterapi sastra,” kata Syaifuddin, satu dari enam peneliti BRIN, dalam siaran pers yang diterima potretmaluku.id, di Ambon, Selasa (20/6/2023).

Tim peneliti terdiri atas Syaifuddin, Amir Mahmud, Dara Windiyarti, Binar Kurniasari Febrianti, dan Rahmawati yang berasal dari Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas di BRIN, serta Sumiman Udu yang merupakan akademisi dari Universitas Halu Oleo, Kendari.

Menurut para peneliti, Maluku sebagai sebagai wilayah pascakonflik dianggap perlu mendapat perhatian khusus, agar kondisi psikologis warganya dapat kembali pulih setelah dilanda konflik pada 1999 sampai 2004.

Maluku sebagai daerah pascakonflik, memerlukan perhatian khusus agar kondisi psikologis warganya kembali pulih dan damai.

Berbagai elemen masyarakat bahu-membahu terlibat dalam rekonsiliasi pascakonflik, sebuah upaya merajut perdamaian, disertai dengan keberpihakan kepada alam dan lingkungan Maluku.

Salah satu elemen masyarakat yang ikut serta bergerak dalam upaya perdamaian, adalah sastrawan dan komunitas sastra, yang terjelma di dalam karya sastra dan aksi sastra.

Sastra 7

Wilayah penelitian mencakup Kota Ambon dan Kabupaten Maluku Tengah, sehingga enam peneliti itu dibagi ke dua daerah tersebut. Para peneliti kemudian menggali data yang berasal dari karya sastra dan hasil wawancara para informan atau pembantu lapangan.

Para informan adalah para sastrawan, seniman, musisi, sutradara, penulis, koreografer, pegiat komunitas, akademisi, pendeta, ustad, dan tokoh masyarakat Maluku, yang menjadi bagian integral dalam aksi sastra dan seni, maupun menulis karya sebagai ruang perjumpaan, dalam merajut benang-benang rekonsiliasi di Maluku. Sastra dan aksi sastra-seni menjadi sarana etnoterapi bagi masyarakat terdampak.

Adapun para informan adalah Abidin Wakano, Basirun, Frans Ade Latuny, Arie Rumihin, Bety Rumkoda, Calvin Papilaya, Dino Umahuk, Eko Saputra Poceratu, Emawati Hanubun, Falantino Eryk Latupapua, Husen, Jandri Pattinama, Khairus Saleh Salampessy, Mariana Lewier, Marines Lailossa, Maynart Raynolds Nathanael Alfons, Roesda Leikawa, Roymond Lemosol, Rudi Fofid, Rudolf Rahabeat, Said Magrib, Theo Melsasail, dan Weslly Johannes.

Para informan diwawancarai terkait aksi atau gerakan sastra-seni yang mereka lakakukan, karya sastra yang diciptakan, dan pandangannya terkait dengan rekonsiliasi yang dapat menjadi sarana terapi atau healing bagi masyarakat Maluku.

Para periset pun menghimpun beragam data dari antologi puisi penyair Maluku, berupa puisi-puisi yang diciptakan pascakonflik dan bermuatan ekorekonsiliasi, juga foto dan segugus kegiatan komunitas baik di Maluku Tengah maupun di Kota Ambon. Data lain yang ditemukan adalah kapata, yakni tradisi lisan khas Maluku.

Sastra 5

Para periset juga berkunjung ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Maluku, dan berdiskusi dengan Husen selaku sekretaris dinas, terkait gerakan dan ruang perjumpaan yang dilaksanakan para sastrawan, penyair, seniman, pendeta, ustadz, dan beragam elemen lainnya.

Selain itu, tim berkunjung ke Taman Budaya Provinsi Maluku, dan berdialog dengan Kepala Taman Budaya, yang kemudian memberikan dua buku puisi karya penyair Maluku kepada tim dan menyampaikan beragam agenda keseniannya yang menjadi ruang dialog dan memberi pesan kemanusiaan.

Kantor Bahasa Provinsi Maluku juga dikunjungi tim peneliti karena kantor tersebut sering disebut para sastrawan pada sesi wawancara sebelumnya, sebagai instansi yang giat memberi ruang bagi perjumpaan para sastrawan dan seniman Maluku, juga dalam menjalin rasa sayang dan pesan “katong basudara” di Maluku. Tim mendapatkan banyak buku sastra karya sastrawan Maluku sebagai data penting.

Menurut Ustaz Abidin, salah seorang penggagas gerakan Provokator Damai, mengatakan bahwa masa itu mereka menggali nilai-nilai dengan kata-kata yang tepat. Misalnya dari frasa katong semua basudara. Itu ‘kan sangat sastra.

Dosen Insitut Agama Islam Negeri Ambon tersebut, bersama pendeta Jacky Manuputty yang berlatar agama dan sastrawan seperti Rudi Fofid, sepakat bahwa kata itu sangat puitis dan menyentuh hati kita.

Sastra 1

Dikatakannya, persaudaraan dalam agama Islam bahwa tidaklah beriman seseorang di antara kamu sebelum dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencitai dirinya sendiri. Lalu dalam Kristen dikatakan cintailah sesamamu sebagaimana engkau mengasihi dirimu sendiri.

Lokalitas identitas Maluku mengatakan potong di kuku rasa di daging, Ale rasa beta rasa, Sagu salempeng dibagi dua. Itu adalah prinsip kesesamaan. Teman-teman sastrawan mengemukakan dalam bahasa sastra. Para teolog menggunakan pesan basudara. Para seniman membuat lagu. Teman-teman hiphop lintas agama juga menyuarakan. Perupa menyampaikan melalui mural di dinding, pesan persaudaraan itu.

“Inilah kekuatan sastrawi yang berisi pesan religiusitas Maluku. Dengan demikian, kegiatan sastra dan seni, terlibat dalam rekonsiliasi, peace building, dan bina damai merupakan pilihan tepat saat itu,” katanya.

Sastrawan dan tokoh masyarakat Maluku Rudi Fofid menjelaskan bahwa anak muda mencari diksi dari orang tua dulu dan membuat diksi baru dan menjadi perenungan banyak orang. Misalnya “beta Maluku” yang berpijak di atas identitas yang membuat masyarakat hidup bersama. Dengan demikian, aksi sastra dan seni dari sastrawan dan komunitas memiliki peran bagi tercapainya rekonsiliasi pascakonflik di Maluku.

Sastra 4

Aksi sastra dan seni itu adalah halte sebagai arena perjumpaan untuk berdialog dari hati para seniman dan masyarakat Maluku. Seniman tersebut merekomendasikan bahwa jika di wilayah lain di tanah air ada konflik, maka seluruh elemen harus terlibat untuk rekonsiliasi, termasuk sastrawan dan seniman.

Syaifuddin menambahkan, penelitian masih akan dilanjutkan pada 3-11 Juli 2023 oleh anggota peneliti lainnya yakni Rachel Iwamony, akademisi dari Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM). Secara khusus, Rachel Iwamony akan melakukan penelitian di Masohi, kabuten Maluku Tengah.

Proses penelitian berlangsung lancar. Para informan saat melakukan wawancara, mendapatkan data yang penting untuk kajian penelitian. Sebagai simbol memori kolektif masyakarat Maluku, tim mengunjungi Monumen Gong Perdamamain Dunia yang berada tidak jauh dari Lapangan Merdeka, Ambon.

Dengan demikian, hasil yang ingin dicapai adalah ditemukannya wujud nyata rekonsiliasi yang terjelma pada karya sastra dan aksi-gerakan sastra dan seni sebagai media terapi masyarakat pascakonflik untuk mewujudkan perdamaian di Maluku. (*/JAY)

IKUTI BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

 


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button