![Ilmu Hidop 1 Screen Shot 2021 03 22 at 08.18.31](https://potretmaluku.id/wp-content/uploads/2021/03/Screen-Shot-2021-03-22-at-08.18.31-780x470.jpg)
Oleh: Elifas Tomix Maspaitella (Pemerhati Sosial)
“Skolah biking pintar, blajar hidop biking hidop sanang (=bahagia). Samua orang bisa skola, mar blong tantu dia mangarti kahidopang. Ilmu hidop tu tar dapa di skola, akang ada di hidop hari-hari. Orang tatua tu seng skolah tinggi, mar soal hidop jang haga!”
Kalimat itu sering kita dengar ketika kita belajar tentang bagaimana hidup baik. “Ilmu hidop” (=ilmu kehidupan) adalah seperangkat pengetahuan dan perbuatan tentang kehidupan sesehari, seperti: baku sayang (=laeng sayang laeng), baku tolong (=laeng lia laeng/seng bisa lia sudara susa), baku bage (=makanang su di mulu jua bisa kasih par sudara), baku jaga (=laeng tongka-tongka laeng; jang buang muka/bale blakang dari sudara), hidop rasa-rasa (=susah sanang sama-sama rasa; buang-buang mata jua par lia sudara).
Di situ tertanam pengetahuan tentang saudara, berbagi, empati orang basudara, tolong-menolong, dan lain sebagainya, yang intinya “seng bole hidop par diri sandiri, seng ada untung hidop par diri sandiri“. Jadi “ilmu hidop” itu ilmu tentang kesosialan kemanusiaan sebagai puncak dari pengetahuan dan etika.
Ada banyak rumusan kultur tentang itu seperti: potong di kuku rasa di daging, sagu salempeng dipatah dua, ale rasa beta rasa, atau termaterialisasi dalam pranata pela, gandong, ain ni ain, kakawai, kalwedo, kidabela, saruma, masohi, hamaren, badati, sosoki, dan lain sebagainya.
Dan pembelajaran mengenai itu ada di dalam rumah (=keluarga), di negeri (=dalam masyarakat), pada ritus hidup sesehari dan ritus kebudayaan. Intinya seseorang yang belajar “ilmu hidop” tidak bisa melepaskan diri dari keluarga (=hidop deng papa, mama deng sudara ade kaka), dari negerinya (=hidop deng samua basudara) dan masyarakat luas (=ke, di dan dengan siapa saja – universalitas orang sudara).
Dengan begitu, papa-mama, orangtatua deng basudara adalah sosok guru/teladan kehidupan. Mereka ibarat kaca tempat bercermin, sebab separoh karakter mereka diturunalihkan atau secara radikal harus diikuti (=dijadikan panutan/pembelajaran).
Mungkin rangkaian ucapan ini sering kita dengar atau ucapkan kepada anak:
– Kalakuang parsis-parsis pai (=kelakuan sama persis dengan papa)
– Tabiat tar buang-buang sadiki lai dari dia pung mama (=perilaku mama semuanya ada pada anak)
– Ana nih dia pande parsis bapa sarane (=anak ini pintar seperti papa saksi baptisnya)
– Ana nih mulu lancang/garoci parsis mama sarane (=kelancangannya seperti mama saksi baptisnya)
Ucapan-ucapan itu menegaskan bahwa ada separoh karakter orang dewasa yang tanpa sadar diturunalihkan kepada anak, atau mereka menjadi tempat berpolanya anak. Apa yang mereka ajarkan, menurun ke anak, apa yang mereka lakukan pun ditiru atau dipraktekkan ulang oleh anak.
Model penurunalihan pengetahuan dan perilaku ini adalah suatu model transfer nilai intergenerasi sehingga sebagian pengetahuan dan keterampilan orang dewasa itu menjadi tata nilai dan laku yang terwarisi secara genealogis tetapi juga melalui proses belajar, bahkan meniru.
Dalam hal meniru, sering ada nasehat: “Ingatang e! Lia sa mar jang pake bapa pung baju busu tu” (=Ingat! Lihat saja tapi jangan ambil/kenakan kelakuan buruknya). Jadi dalam “ilmu hidop” ada kesadaran tentang perilaku yang buruk dan ada pengingatan untuk tidak menurutinya. Tujuannya adalah pada kesosialan kemanusiaan itu pula.
Jadi belajarlah dari banyak orang baik untuk mengerti pengetahuan dan perilaku kebaikan. Bila ada orang yang berperilaku buruk, “tau sa mar jang biking/jang turut” (=sekedar untuk diketahui agar dapat dihindari).
Kuncinya, “kalu tau mana bae, loko la pake. Kalu tau mana tar bae, lia sa, jang ambel” (=kenakan kebaikan dan buanglah yang buruk).
Pastori Klasis GPM Ternate
Senin, 22 Maret 2021
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi