
Oleh: Inggrid Silitonga (warga Jakarta kelahiran Ambon)
Langit sore itu mendung, perlahan berubah gelap hingga hujan deras mengguyur kota. Aku, Dina, berdiri di lobi sebuah mal di kawasan Jatinegara, menunggu taksi online yang tak kunjung datang.
Pesanan mobilku baru saja dibatalkan oleh pengemudi sebelumnya, membuatku kesal. Aku melirik jam tangan; sudah hampir pukul empat sore. Sementara hujan terus mengguyur, otakku mendadak teringat sebuah spanduk kecil yang kubaca tadi: Mie Tek Tek Jatinegara.
“Ah, hujan-hujan begini makan mie kuah pasti enak,” gumamku.
Segera aku berlari kecil menembus hujan dan menyetop sebuah bajai di pinggir jalan. Aku menyebutkan lokasi kedai mie itu, dan tanpa basa-basi, supir bajai menyebut tarif yang langsung kusetujui.
Perjalanan hanya sekitar sepuluh menit, dan aku tiba di kedai kecil yang tampak sederhana namun bersih. Aroma kaldu dari dalam menyeruak, membuat perutku semakin lapar.
Di dalam kedai, seorang wanita berparas Tionghoa menyapaku ramah. “Silakan duduk dulu, ya. Saya bawakan daftar menu.”
Aku memilih tempat duduk di pojok dan menaruh tas roti di meja. Ketika daftar menu datang, aku langsung bertanya, “Menu spesial di sini apa, Bu?”
“Baru pertama ke sini, ya? Mie kuah favorit kami pasti cocok,” jawabnya.
“Baik, saya pesan mie kuahnya, dan teh hangat yang tidak terlalu pekat,” kataku sambil tersenyum.
Wanita itu segera sibuk di dapur, memasak pesananku. Tak lama, secangkir teh hangat tiba di mejaku, menghangatkan suasana di tengah hujan deras. Aroma kuah dari dapur semakin menggoda.
Ketika semangkuk mie kuah hangat disajikan, aku tak bisa menahan diri untuk mencicipinya. Rasa gurihnya langsung menyentuh lidahku.
“Enak sekali, Bu. Ini pakai kaldu kepiting, ya?” tanyaku penasaran.
Wanita itu tersenyum. “Bukan, ini kaldu udang. Saya tidak makan daging, jadi semua masakan saya pakai seafood.”
Kami pun terlibat obrolan hangat. Ia bercerita bahwa kedai ini sudah lama berdiri dan memiliki banyak pelanggan setia. Ia buka setiap hari kecuali Minggu dan hari libur, dari pukul sepuluh pagi hingga empat sore.
Saat sedang menikmati mie kuah, seorang pria masuk ke kedai. Wajahnya tampak familiar, membuatku tertegun sesaat.
Rambutnya yang mulai memutih dan kacamata tipis yang ia kenakan menambah kesan dewasa. Seketika itu juga, aku menyadari siapa dia.
“Dani?” aku berbisik pelan.
Pria itu menoleh dan matanya membelalak kaget. “Dina? Ya Tuhan, ini benar kamu?”
Kami sama-sama tertawa, tak percaya akan pertemuan ini. Dani, teman masa kecilku, orang yang dulu sering menemaniku bermain di bawah pohon mangga di halaman rumah, kini berdiri di depanku setelah puluhan tahun berlalu.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi