CitizenPendapat

Menegakkan Nalar Ilmuan

PENDAPAT

Oleh: Dr. M.J. Latuconsina (Pemerhati Sosial, Politik dan Ekonomi, tinggal di Ambon)


Sebelum jauh memaparkan tema nalar ilmuan ini, ada baiknya kita menyimak konsep nalar dari Józef Maria Bocheński, yang populer dengan nama J.M. Bocheński. Ia seorang ahli logika, dan filsuf berkebangsaan Polandia, kelahiran Czuszów, Kongres Polandia, Kekaisaran Rusia pada 30 Agustus 1902, dan meninggal di Fribourg, Swiss pada  8 Februari 1995.

Beberapa karyanya yang hits antara lain ; ‘Elementa logicae graecae’ (1937), Rome : Anonima Libraria Catolica Italiana, ‘La logique de Théophraste’ (1947), reprint, New York, Garland Publishing.

Konsep nalar dari Bocheński itu, dapat kita temui pada karyanya yang berjudul ; “Apakah Sebenarnya Berpikir”, yang dirangkum Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya yang berjudul ; “Ilmu Dalam Perspektif Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu”, terbitan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta tahun 2012.

Perlunya kita memahami perspektif nalar Bocheński, agar sebagai ilmuan kita dapat menegakkan nalar kita, untuk konsistensi tentang suatu konsep yang kita argumentasikan dan perjuangkan.

Hal ini berguna, agar kita sebagai ilmuan, tidak mengalami pembiasan nalar, lantaran kepentingan diluar basic kita sebagai ilmuan.

Bocheński dalam karyanya itu, mengajukan pertayaan ; apakah sebenarnya berpikir? Secara umum maka tiap perkembangan dalam ide, konsep dan sebagainya dapat disebut berpikir.

Upamanya, jika seseorang bertanya kepada saya, “Apakah yang sedang kamu pikirkan ?” mungkin saya menjawab, “Saya sedang memikirkan keluarga saya. Hal ini berarti bahwa bayangan, kenangan, dan sebagainya, hadir dan ikut mengikuti dalam kesadaran saya.

Karena itu maka defenisi yang paling umum dari berpikir adalah perkembangan ide dan konsep.

Menurutnya, pemikiran kelimuan bukanlah suatu pemikiran yang biasa.

Pemikiran keilmuan adalah pemikiran yang sungguh-sungguh. Artinya, suatu cara berpikir yang berdisiplin, dimana seseorang yang berpikir sungguh-sungguh tak akan membiarkan ide dan konsep yang sedang dipikirkannya berkelana tanpa arah.

Namun kesemuanya pada suatu tujuan tertentu. Tujuan tertentu itu, dalam hal ini, adalah pengetahuan. Berpikir keilmuan, atau berpikir sungguh-sungguh, adalah cara berpikir yang didisiplinkan dan diarahkan kepada pengetahuan.

***

Beranjak dari deskripsi Bocheński itu, maka tentu nalar seorang ilmuan perlu konsisten menyangkut ide dan konsepnya. Misalnya tentang penamaan suatu “bangsa” oleh seorang ilmuan, tentu harus konsisten, yang terkait dengan gagasannya menyangkut organisasi yang cakupannya luas dan kompleks, yang tak lain adalah bayangan tentang negara, yang masih dalam batas imajinasi, yang didalamnya dihuni oleh bangsa tertentu.

Sehingga muncul pertanyaan apakah Bangsa Maluku ? Bangsa Melanesia ? atau Bangsa Alifuru ?

Ketikdakkonsistenan ini, tentu menjadi preseden buruk bagi ilmuan itu sendiri, pasalnya yang bersangkutan tidak memberikan nalar yang baik, dan transparan menyangkut dengan ide dan konsep bangsa mana yang dia maksudkan.

Pada akhirnya mengalami pembiasan, dan nalar ide serta konsep bangsanya itu bak spilar, yang berputara-putar dari lingkaran yang kecil hingga besar, yang memusingkan publik.

Pada akhirnya tak ada tujuan “mempropagandakan ketertindasan”, untuk membentuk perasaan senasib sebagai suatu bangsa, yang mengalami ketertindasan oleh bangsa negara lainnya.

Menyangkut fenomena itu, dipastikan ilmuan itu hanya bertindak dengan mengedepankan hatinya saja, tanpa menggunakan nalar yang baik,  untuk melahirkan ide dan konsep yang perlu secara konsisten dia pertahankan dan perjuangan.

Gejala ini, tak pelak menempatkan ilmuan itu sebagai “Badut-Badut Politik”. Akhirulkalam, meminjam pendapat Thomas Traherne, seorang penyair, pendeta, teolog, dan penulis agama berkebangsaan Inggris, kelahiran Hereford, Inggris pada 10 Oktober 1636 lantas meninggal di Teddington, Inggris pada 27 September 1674 bahwa, “hati memiliki banyak alasan yang tidak dapat dipahami nalar”.

Tentu “naïf” jika ilmuan itu lebih mengedepankan hati dalam melahirkan suatu ide dan konsep.(M.J. Latuconsina).


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button