Oleh: Rusdin Tompo (Koordinator SATUPENA Sulawesi Selatan)
Sekelompok massa terlihat bergerak ke arah rumah toko (ruko) di Kompleks Permata Sari. Massa mulai menggedor-gedor terali besi deretan ruko yang ada di situ. Suara gaduh massa yang kian banyak, mungkin mencapai ratusan, disahuti gonggongan anjing dari dalam salah satu ruko. Terali-terali besi yang digunakan sebagai pengaman ruko akhirnya jebol. Massa berhamburan masuk. Setelah itu, lolongan panjang anjing seperti merintih kesakitan, lalu suaranya menghilang. Hanya hitungan menit, jumlah massa yang berkerumun kian banyak dan tidak terkendali lagi.
Itu ingatan saya pada peristiwa kerusuhan berbau SARA di Makassar, September 1997. Pagi itu, antara pukul 09.00-10.00 wita, saya tengah di atas pete-pete (sebutan untuk angkutan kota di Makassar) dalam perjalanan dari rumah di Kassi-Kassi, Jalan Letjen Hertasning, ke studio Radio Bharata FM di Jalan Rajawali. Namun, begitu berada di Jalan Sultan Alauddin, tepat di depan kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin, pandangan saya tertuju pada pergerakan massa yang menuju kawasan ruko.
Insting jurnalistik saya langsung bekerja. Saya turun dari angkot trayek Perumnas-Pa’baeng-baeng-Sentral, yang saya tumpangi itu. Pilihannya, saya akan melakukan reportase dari situ. Segera saya mendekat ke arah massa tadi, dan hanya bisa tercenung melihat aksi pengrusakan ruko-ruko yang ada di situ, sebagaimana saya gambarkan di awal tulisan ini.
Setelah itu, saya menuju ke kios yang tak jauh dari situ untuk menukar beberapa lembar uang kertas dengan pecahan koin Rp1.000. Saya akan lakukan reportase dari telepon umum ke studio. Kepada Yanti Tomu, teman yang bersiaran pagi itu, saya sampaikan maksud untuk melakukan reportase, dengan terlebih dahulu memberitahukan posisi di mana saya berada, serta gambaran singkat kejadiannya.
Saya sampaikan bahwa, saya tidak punya radio monitor, sehingga bila nanti terhubung, langsung saja persilakan saya membuat reportase. Dia meminta saya menunggu beberapa jenak karena masih ada lagu yang terputar. Setelah dipersilakan, saya pun menceritakan fakta lapangan, sambil terus melihat pergerakan dan aksi massa yang kian membesar.
Kerusuhan rasial yang mulai pecah tanggal 15 September 1997 itu, dipicu kematian Anny Mujahidah, gadis berusia 9 tahun, anak pasangan Jubaedi Saleh dan Noer Huda Noor. Anny menghembuskan napas gara-gara ulah Benny Karae, orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Jalan Kumala. Kasus ini menjadi headline koran lokal di Makassar, kala itu.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi