Legislator Asal Maluku Pertanyakan Target PNBP Perikanan Tangkap yang Dikhawatirkan Bebani Nelayan Kecil

potretmaluku.id – Anggota Komisi IV DPR RI, Saadiah Uluputty mempertanyakan target realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Ditjen Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, yang dikhawatirkannya bakal membebani nelayan, khususnya nelayan kecil.
“Ditjen Perikanan Tangkap menargetkan realisasi PNBP sektor perikanan tangkap mencapai Rp.1,6 Triliun. Kalau kita komparasikan dengan data realisasi tahun 2022 sebanyak Rp.250 Triliun, artinya hanya 0,64 %. Tetapi jika melihat beban yang akan dikenakan ke pelaku perikanan, tentu saja naik lebih 150 %. Apakah ini tidak akan membebani nelayan, khususnya nelayan kecil?” tanya Saadiah.
Hal tersebut dikemukakan legislator asal daerah pemilihan Maluku ini, pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) Pembahasan RAPBN bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI, yang digelar secara virtual, Senin (6/9/2021).
Saadiah menuturkan, defenisi nelayan kecil yang dulu ada pada batasan ukuran Gross Tonnage (GT). Padahal jika melihat sejarahnya, lanjut dia, kategorisasi nelayan kecil berdasarkan GT agar memudahkan nelayan kecil mendapatkan hak perlundungan dari negara.
“Sejak UU Cipta Kerja disahkan, perubahannya seperti kita kembali ke 16 tahun silam. Lalu nelayan kecil bagaimana menjadi objek pungutan baik itu soal izin, pajak, PNPB dan lain lain?” tegas Saadiah.
Ia juga menyinggung soal adanya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 tahun 2021, yang perlu direspon oleh KKP khusus yang terkait Permendagri Nomor 13 tahun 2011, tentang Penetapan Harga Patokan Ikan (HPI) yang saat ini ketentuannya menjadi ranah KKP.
“PP 85 menyebutkan bahwa pungutan PNBP dimulai dari pra produksi, pasca produksi dan penarikan dengan sistem kontrak atau Resources Rent Tax (RRT). Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana mekanisme penarikan dengan sistem kontrak terhadap sumber daya perikanan,” ujar Saadiah.
Kebijakan ini dinilainya seperti pisau bermata dua. “Saya khawatir di satu sisi skema RRT akan mendorong naiknya PNBP, tapi di sisi yang lain akan mendorong eksploitasi sumber daya Perikanan yang tidak berpihak bagi nelayan nasional,” tandasnya.
Skema RRT ini juga dikhawatirkan Saadia, tidak akan bermanfaat banyak pada Anak Buah Kapal (ABK) perikanan Indonesia, karena dalam UU Cipta kerja telah menghapus kewajiban penggunaan minimal 70 % ABK Indonesia pada kapal berbendera Indonesia maupun berbendera asing.
Selanjutnya politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengingatkan, pengembangan Pelabuhan Perikanan yang dianggarkan sebesar Rp.40 M pada Tahun 2022, dan setiap tahun selalu ada. Ia lantas mempertanyakan sejauh mana kemanfaatan pelabuhan perikanan bagi masyarakat pesisir. “Bagaimana caranya daerah-daerah hendak mengakses pembangunan pelabuhan perikanan ini?,” tanya Saadiah.
Ia juga mempertanyakan, mengapa Ditjen Budidaya hanya menjadikan produksi sebagai indikator kinerja utama. Menurut dia, seharusnya perbaikan tata kelola dan keberhasilan program seperti kampung budidaya, juga masuk kedalam IKU Ditjen Budidaya. “Mengapa penyusunan master plan enam calon lokasi kampung perikanan, bersamaan dengan pelaksanaan kegiatannya?” tanya Saadiah lagi.
Masih terkait Ditjen Budidaya, Saadiah katakan, pembangunan budidaya udang berbasis kawasan beserta sarana pendukungnya, direncanakan akan menelan anggaran Rp.265 M. “Pertanyaannya sejauh mana perencanaannya? Lokasinya dimana? Dan apa targetnya?” tasndasnya.
Sebab persoalan budidaya saat ini, kata Saadiah, bukan pada tidak adanya model budidaya, akan tetapi lebih kepada maksimalisasi lahan budidaya eksisting, yang tersebar di seluruh Indonesia. Menurut data BPS tambak udang yang ada 500 Ha sampai 600 ribu Ha dan hanya sebagian kecil yang masih berfungsi.
“Bagaimana dengan keberlanjutan Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) yang anggarannya sudah tidak terlihat lagi dalam perencanaan kegiatan Dirjen PRL tahun depan?” sebut Saadiah.
Dia menyebutkan, salah satu persoalan utama kinerja ekspor perikanan adalah persoalan logistik yang belum begitu baik, seperti masalah konektivitas antara sentra produksi atau pengumpulan dan sentra distribusi, industri, dan konsumsi secara efisien.
“Terdapat keterbatasan infrastrujtur dan penyedia jasa logistik di sentra perikanan, kualitas SDM pelaku usaha perikanan dan keterbatasan teknologi informasi untuk logistik perikanan,” pungkasnya.(ZAI)
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi