PendapatGaya Hidup

Berjalan Dalam Bayang-bayang Covid-19 (6)

AIRBUS A380, NEW YORK - ABU DHABI: TERINFEKSI DI SINI?

Oleh: Izak YM Lattu
Pemerhati sosial budaya dan dosen pada Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

Selama bulan Maret ini penulis akan menuturkan kisah bagaimana dirinya terpapar Covid, dan bagaimana bisa sembuh dari Covid. Setiap hari akan ada satu kisah yang kami tampilkan. Ini bagian ke-6 dari tulisan bersambungnya.

Setelah hampir tiga minggu berada di Amerika Serikat, tanggal 16 Maret 2020 saya harus kembali ke Indonesia. Amerika selalu menjadi tempat yang menyenangkan, tetapi no place like home. Tidak ada tempat setara rumah. Rumah saya adalah Indonesia. “Ngana idealis sekali. Tarima jo,” kata para sahabat di Salatiga. Tidak idealis juga, hanya terlanjur punya komitmen dengan kampus di kaki Gunung Merbabu. Itu sebabnya saya beberapa kali melewatkan tawaran menarik, termasuk mengajar di sebuah universitas besar di pantai timur Amerika.

Sampai jumpa lagi Amerika Serikat. Bung Engkin, Usi Onco, Grace dan Adriel melepaskan saya dari rumah mereka di New York. Keluarga saya di New York ini masih cipika-cipiki sebelum saya masuk ke dalam mobil. “See you Om Izak, take a good care,” kata si kecil Adriel, anak bungsu Bung Engkin dan Usi Onco.

“Hati-hati Om Izak,” kata teriak Grace anak tertua keluarga Wattimena ini dengan Bahasa Indonesia aksen Amerika. “Bung salam voor Usi Retno deng anak-anak eee,” kata Usi Onco melepaskan saya dari rumah.

Saya dan Bung Engkin menuju Bandara JF Kennedy, New York. Hanya 45 menit lewat tol dari rumah, kami sudah tiba di JFK. “Bung hati-hati di pesawat,” kata Bung Enkin. “Danke Bung Engkin, Tetemanis sayang,” kata saya sambil masuk bandara menuju counter Etihad, maskapai miliki Uni Emirat Arab itu.

Antri cukup panjang, semua orang pakai masker. Saya menyiapkan paspor dan tiket elektronik. “Next,” panggil perempuan asal Asia Selatan yang bekerja di Etihad. Saya maju dan menyerahkan paspor dan tiket di HP.

“Pesawat anda akan sedikit terlambat, di Abu Dhabi,” kata petugas tadi. Oh tidak kata saya dalam hati. Ini akan membuat saya menunggu sekitar sembilan jam di bandara terbesar di negara para emir itu.

IMG 20210309 WA0013
Pesawat Airbus A380 New York, Amerika Serikat ke Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.(Foto: Dok. Penulis)

Dari percakapan dengan petugas maskapai tadi, saya baru tahu kalo pesawat telat di Abu Dhabi karena tiga penerbangan digabung menjadi satu. Penumpang tanggal 16 Maret itu sangat sedikit. Untuk mengurangi kerugian, tiga penerbangan dari Abu Dhabi ke Jakarta digabung menjadi satu.

Barang-barang lain masuk ke bagasi, saya hanya membawa tas punggung dan tas samping kecil, berisi masker, vitamin dan hand sanitizer, ke dalam kabin pesawat. Petugas bandara di Bandara JK Kennedy berbaju biru dan hitam memeriksa paspor dan boarding pass. Juga, memeriksa suhu saya. Hanya 36 derajat. Saya memang merasa sehat sekali waktu akan masuk ke dalam ruang tunggu.

Bandara di Amerika Serikat memang lebih ketat dibandingkan bandara-bandara di negara-negara lain. Sepatu, ikat pinggang, jaket dan tas harus masuk x-ray. Laptop juga harus saya keluarkan untuk diperiksa secara khusus.

Setelah itu, penumpang harus masuk ke dalam ruang kecil untuk di-x-ray juga. “Clear,” kata petugas yang duduk di depan layar komputer pemeriksaan. Saya boleh mengambil barang dan masuk ke dalam ruang tunggu.

Pemeriksaan sangat ketat karena Bandara JFK ini memang pernah kecolongan pada 11 September 2001. Pesawat yang naik dari JFK ini dibajak oleh penumpang dan ditabrakan ke Twins Tower. Lebih dari 2000 orang dari berbagai etnis, negara, gender dan agama meninggal. Twins Tower yang menjadi simbol kapitalisme dunia itu runtuh. Sejak itu, bandara di Amerika menjadi sangat ketat pemeriksaannya. Amerika tidak ingin peristiwa 11/9 itu terulang lagi.

Ruang tunggu nomor 42 menjadi tempat saya menanti Etihad menuju Abu Dhabi. Dari rumah keluarga Wattimena-Batawi tadi saya sudah siapkan sandwich roti, coklat dan pisang. Air yang saya bawa dari rumah terpaksa harus dihabiskan depan tempat x-ray bandara. Penumpang tidak boleh membawa minum mineral masuk ke dalam bandara. Terpaksa saya beli satu botol air mineral seharga $4. Padahal di luar hanya 1$.

Saya mencari tempat duduk yang jauh dari penumpang lain. Biar memperkecil kemungkinan terinfeksi Covid, pikir saya waktu itu.
Saatnya penumpang masuk ke dalam pesawat, waktu pantai timur Amerika menunjukkan Hari Senin, 16 Maret 2020 pukul 10 malam. Sebelum berangkat saya sempatkan video call dulu dengan Retno dan anak-anak. Pukul 10 pagi, Hari Selasa tanggal 17 Maret di Solo waktu itu.

Baca juga: 

Pesawat jalur New York – Abu Dhabi adalah jenis Airbus A380, pesawat terbesar di dunia saat ini. Pesawat dua lantai berkapasitas 850 penumpang. Kursi penumpangnya sangat lebar untuk ukuran kelas ekonomi. Tempat duduk saya persis di dekat jendela. Saya pikir akan ada penumpang lain di samping saya dalam perjalanan New York – Abu Dhabi itu. Tidak ada ternyata. Kosong. Tiga tempat duduk panjang dan besar itu hanya ditempati saya seorang diri. Memang penumpang pesawat sebesar itu hanya sekitar 200 penumpang. Sepi sekali.

Tanggal 14 – 16 Maret itu, Amerika Serikat telah mengalami kepanikan akan Covid yang luar biasa. Bandara bagian kedatangan ke Amerika penuh padat. Trump meminta warga negara Amerika di luar negeri untuk segera pulang. Sedangkan bagian keberangkatan sepi penumpang.

Naik pesawat sangat menakutkan di tengah pandemi Covid seperti itu.
Sebagian besar penumpang di dalam pesawat terlihat seperti orang-orang Asia Selatan. Saya bisa memperkirakan dari aksen Bahasa Inggris dan simbol pakaian yang melekat pada tumbuhnya. Memang orang-orang dari Asia Selatan banyak bekerja di Amerika dan Negara-Negara Arab. Rata-rata mereka bekerja pada perusahaan-perusahaan teknologi informasi.

Jika sempat nonton film Three Idiots yang terkenal itu, pasti bisa mendapat gambaran bagaimana ahli-ahli teknologi informasi Asia Selatan menguasai Silicon Valley di Palo Alto, California, dua jam dari Berkeley tempat saya belajar dulu.

Mengusai tiga tempat duduk dalam perjalanan 12 jam itu berkah. Bisa tidur dengan nyenyak selama perjalanan lintas benua. Tarik selimut pesawat, tutup mata dan tidur nyenyak. Masker saya buka karena merasa tidak ada orang di samping, saya lupa kalau ada orang di belakang. Penumpang di belakang saya terdengar batuk-batuk cukup sering. Entah berapa kali sudah batuk terdengar. Waktu itu teori airborne atau virus bisa terbang dalam ruangan ber-AC belum terlalu populer. Karena itu, saya tidak terlalu kuatir waktu dengar penumpang di belakang kursi saya batuk-batuk. Asal bukan di samping saya, pikir saya waktu itu.

Saya tertidur cukup nyenyak karena penerbangan dengan pesawat besar dan cuaca cerah. Hampir tidak ada goncangan pada pesawat waktu itu. Entah jam berapa waktu itu, ketika saya dibangunkan pramugari untuk makan. Itu makan malam atau makan pagi saya jadi bingung karena semua jendela pesawat tertutup. Saya juga tidak sempat membuka jendela untuk mengecek keluar.

Saya ambil hand sanitizer dan makan karena merasa cukup lapar. Mungkin karena penumpang jalur ini banyak didominasi orang-orang dari Asia Selatan, makanan penerbangan kali ini berasa kare. Bukan makanan yang dekat dengan lidah saya, tetapi hanya ini satu dari dua pilihan menu. Ada pilihan red wine juga, tetapi kali ini tidak saya ambil. Air putih saja karena setelah makan saya harus minum vitamin.

Saat makan, penumpang di belakang saya masih tetap batuk. Entah droplet-nya sampai di makan saya apa tidak. Sekali lagi belum ada pengetahuan awal tentang airborne waktu itu.

IMG 20210309 WA0015
Kota Abu Dhabi, Uni Emirat Arab dari udara.(Foto: Dok. Penulis)

Pesawat mendarat di Abu Dhabi sekitar jam 10 malam waktu Timur Tengah. Bandara Abu Dhabi juga terlihat sepi. Petugas yang berjaga di tempat pemeriksaan rata-rata berasal dari Asia Selatan. Memang hampir ¼ penduduk Uni Emirat Arab ini adalah pekerja yang berasal dari luar negeri. Sebagian besar dari Asia Selatan dan Filipina. Mereka bisa laku bekerja pada ruang-ruang publik di banyak negara seperti Uni Emirat Arab karena Bahasa Inggris. Sekolah-sekolah di Asia Selatan, terutama India, dan Filipina memang menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengajaran sekolah sejak taman kanak-kanak.

Kemampuan komunikasi ini membuat banyak perusahaan asing berminat pada tenaga kerja profesional dari dua negara ini.
Karena harus pindah pesawat, saya tetap harus masuk melalui ruang pemeriksaan. Tidak perlu buka sepatu seperti di JFK New York tadi. Petugas-pertugas bandara Abu Dhabi di bagian pemeriksaan x-ray belum banyak yang menggunakan masker.

Mungkin hanya 20 persen dari petugas pemeriksaan ini yang menggunakan masker. Pertengahan Maret 2020 itu, kepanikan karena Covid-19 mulai melanda dunia, tetapi belum semua orang sadar bahwa masker itu melindungi dirinya dan orang lain. Apakah saya terinfeksi Covid-19 di Bandara JFK New York, di dalam pesawat atau di badara Abu Dhabi ini? Mungkin. Saya tidak bisa menjawab dengan pasti.

(Bersambung besok)

 


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button