PendapatGaya Hidup

Berjalan Dalam Bayang-bayang Covid-19 (5)

IBADAH DI PUSAT MODE SAAT PANDEMI

Oleh: Izak YM Lattu
Pemerhati sosial budaya dan dosen pada Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

Selama bulan Maret ini penulis akan menuturkan kisah bagaimana dirinya terpapar Covid, dan bagaimana bisa sembuh dari Covid. Setiap hari akan ada satu kisah yang kami tampilkan. Ini bagian ke-5 dari tulisan bersambungnya.

New York, kota mode terbesar dunia, selalu jadi tempat menyenangkan, tetapi tidak kali ini. Covid mengunci saya di rumah saudara, keluarga Wattimena-Batawi di New York. Bahkan perpustakaan (public library) yang hanya berjarak 200 meter dari rumah pun tidak saya kunjungi.

Padahal setiap kali berada di New York saya pasti mampir di perpustakaan lingkungan ini. Kecil saja ukurannya, tetapi koleksi buku perpustakaan ini lengkap. Setiap lingkungan di Amerika Serikat memiliki public library yang baik. Pojok belajar untuk anak-anak sangat lengkap. Mereka percaya bahwa anak-anak yang mencintai buku akan bertumbu menjadi kritis dan merdeka berpikir. Saya sama sekali tidak berani berkunjung ke perpustakaan kali ini.

Tanggal 15 Maret 2020 saya mendapat jadwal memimpin ibadah di dua gereja Indonesia di New York. Saya sudah menjelaskan pada cerita sebelum bahwa dua jemaat ini sudah lama sangat dekat di hati saya. Gereja pertama saya kenal dari Bung Pendeta Jacky Manuputty. Kemudian, sering diminta melayani ibadah oleh Om Emile Matulessy, pendeta senior di Amerika. Om Emile dan istrinya Tante Alice adalah alumni UKSW Salatiga.

Gereja kedua adalah gereja suku di New York. Awalnya gereja ini berada di Manhattan, daerah yang tahun 1667 ditukar Pemerintah Hindia Belanda dengan Pulau Run di Banda, Maluku. Run jadi milik Belanda dan Manhattan atau New Amsterdam jadi berpindah tangan ke Inggris. Dekat dengan Twins Tower, korban peristiwa 11 September 2001.

Screen Shot 2021 03 08 at 20.57.23
Pusat Kota New York, dilihat dari sisi Hudson River.(Foto: Dok. Penulis)

Orang-orang muda dari suku ini yang lebih progresif memutuskan membangun gereja ke dua di Queen. Mereka meminjam salah satu gereja Episcopal yang sudah berumur ratusan tahun. Solid dan semangat bergerejanya luar biasa.

Sejak masih berlajar di Berkeley dan Harvard, mereka sudah banyak membantu saya. “Amang Pendeta, nda usah pulang ke Indonesia, jadi pendeta kami saja di sini,” pernah satu waktu di tahun 2014 salah satu majelisnya sambil bercanda bilang begitu.

Jika berkhotbah di sana, saya pasti menggunakan dua bahasa dalam satu khotbah. Tentu bukan bahasa sukunya karena saya hanya tahu “martangiang mahita” (mari kita berdoa) dan mauliate godang (terimakasih banyak). Saya berkhotbah menggunakan Bahasa Inggris dan Indonesia dalam khotbah yang sama. Misalnya, “saudara-saudara yang terkasih dalam Tuhan. Brothers and sisters in Christ.” Khotbah 15 menit akhirnya jadi 30 menit. Mereka senang karena generasi kedua dan suami/istri yang bukan orang Indonesia bisa mengerti.

Pagi itu, tanggal 15 Maret 2020, saya naik taksi online (Uber) menuju tempat ibadah. “Amang Pendeta, kita ibadah di rumah yah karena gereja tutup,” kata Inang Majelis yang menghubungi saya. “Olo Inang, mauliate godang (baik Ibu, terimakasih banyak), jawab saya sambil siap-siap menunggu di depan rumah.

Baca Juga: 

Tangan saya segera menyambar jas, kitab suci, catatan khotbah plus masker dan hand sanitizer. Buka pintu Uber dengan sangat hati-hati, masuk ke dalam mobil, saya bilang selamat pagi dan diam. Hand sanitizer saya pakai untuk membersihkan tangan setelah membuka pintu mobil. Karena taksi online ini dipesan dari Inang majelis tadi, saya tidak perlu menyebut alamat. Saya sangat hebat bicara di Uber kali ini.

Uber berhenti di depan rumah, datang Amang Majelis yang punya rumah. Beliau masih muda, tetapi punya pekerjaan bagus sebagai ahli teknologi informasi di sebuah perusaan besar di New York. Lulusan S1 dari Indonesia, tetapi kemampuan bekerjanya sangat luar biasa. “Horas Amang Pendeta,” katanya menyambut saya. “Horas Bang,” kata saya membalas.

Hanya majelis bertugas dan beberapa orang jemaat di dalam rumah. Hanya tujuh orang. Jemaat lain mengikuti secara live streaming di rumah masing-masing. Ini pertamakali saya memimpin ibadah secara online. Ruang empat persegi layar terpaksa mengganti ruang suci tempat ibadah. “Ibadah bukan soal tempat, tetapi soal hati. Di mana saja hati terangkat, di situ kita beribadah,” kira-kira itu inti khotbah saya.

Pandemi Covid-19 mengajarkan untuk melihat dan berpikir melampui layar (beyond the screen). “Dipasu-pasu jala diramoti DEBATA ma ho,” (Tuhan memberkati dan melindungi Engkau) saya mengangkat tangan untuk memberi berkat di depan kamera. Ibadah selesai. Kami melanjutkan dengan bercerita tentang Covid di Amerika.

“Saya mendapat diskriminasi ketika berjalan di tempat umum. Warga lian melihat Orang Asia seperti saya dengan pandangan curiga,” kata Ibu yang hadir dalam ibadah itu. Ibu ini berasal dari Jawa tetapi sering mengikuti ibadah di gereja suku tadi. Ibu ini berkulit kuning dan bermata sipit. Kekalutan membuat orang gampang curiga rupanya.

Jam tangan saya menunjukkan jam empat sore waktu pantai timur Amerika. Saya harus segera menuju gereja Indonesia lain yang berjarak hanya 10 menit berjalan. Bapak-bapak dari gereja suku tadi mengantarkan saya ke gereja kedua. “Saya mau nyari koper dulu Amang. Apa ada tempat jual koper murah-murah di sekitar sini?” tanya saya. Perlu tambah koper karena titipan baju bayi dari keluarga Wattimena-Batawi di New York. Waktu saya berangkat ke Amerika, Retno sedang mengandung dua bulan. Anak ketiga kami. Lumayan dapat lungsuran baju bayi.

Dekat sekali ternyata tempat jual koper ini dari rumah tempat ibadah tadi.Dari luar toko ini hanya seperti rumah biasa. Satu pintu biasa. Setelah masuk luas sekali. Tempatnya agak tertutup dan menggunakan alat bantu sirkulasi udara. Saya liat koper yang dijual, tetapi terlalu kecil, kami masuk terus ke dalam.

Tempat ini tertutup tetapi banyak orang di dalam. Saya tidak berani menyentuh apapun selain koper tadi. Bapak-bapak mengantar saya sampai di depan gereja Indonesia yang kedua. Jam lima sore. Majelis orang sudah menunggu di depan gereja. Gedung gereja Korea yang mereka sewa bersama Gereja Berbahasa Bangla. Para majelis menggunakan masker dan sarung tangan lengkap. Jemaat yang hadir sekitar 25 orang. Jemaat Indonesia di Amerika memang tidak besar. Total jemaat ini hanya sekitar 75 orang. Covid membuat banyak warga yang takut bertemu orang lain, termasuk di gereja.

Sama seperti di gereja pertama, gereja kedua ini juga menggunakan Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Generasi kedua Indonesia di Amerika rata-rata sulit Berbahasa Indonesia. Mereka mengerti Bahasa Indonesia sehari seperti makan, mandi dan kata-kata umum lainnya. Ketika harus mendengar khotbah mereka kesulitan. Jadi, agar mereka bisa mengerti, khotbah harus dalam dua bahasa.

Screen Shot 2021 03 08 at 20.57.32 copy
Bersama Majelis Gereja Indonesia di New York.(Foto: Dok. Penulis)

Selesai berkat, majelis dan saya berdiri di depan. Hanya memberikan salam dengan tangan di dada tanpa jabat tangan. “Kita boleh tidak berjabat tangan, tetapi harus terikat di dalam hati,” begitu khotbah saya ketika menjelaskan solidaritas sosial menghadapi pandemi. Biasanya kami akan makan bersama dan bercerita tentang Indonesia sebelum mereka pulang ke rumah. Gereja bagi mereka bukan hanya soal ibadah, tetapi soal rindu pada saudara sebangsa. Kali ini tidak ada cerita panjang.

Semua orang langsung masuk ke dalam mobil masing-masing. Pandemi Covid-19 menakutkan. Saya pulang bersama keluarga Bung Engkin Wattimena, Usi Onco Batawi dua anak dan dua keponakan mereka yang sedang kuliah di New York. Dua mahasiswa ini bekerja sambil kuliah.

Mahasiswa di Amerika memang biasanya bekerja paruh waktu (part time). Ini melatih mereka membagi waktu dan membuat mereka menjadi lebih mandiri. Banyak kampus menyediakan kerja part time untuk mahasiswa. Kerja di perpustakaan, membantu penelitian dosen, cuci piring di restaurant kampus, ini kerja yang umum dilakoni mahasiswa. Jika tidak ada kerja part time di dalam kampus, mereka cari di luar. Pengalaman mereka luar biasa.

Sebelum pulang kami mengantar dua ponakan keluarga Wattimena ini ke apartment mereka. Bagus sekali pemandangan dari apartment ini. Hanya berjarak 300 meter dari Sungai Hudson (Hudson River) yang terkenal itu. Pernah ada pesawat yang mendarat darurat di sungai ini. Sungai ini besar sekali, mirip laut. Pusat Kota New York di sore hari ini indah sekali. Pusat kota yang tidak bisa saya kunjungi kali ini karena Covid.

(bersambung besok)


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button