PendapatGaya Hidup

Berjalan Dalam Bayang-bayang Covid-19 (4)

WASHINGTON DC, NEW YORK DAN KULIAH ONLINE

Oleh: Izak YM Lattu
Pemerhati sosial budaya dan dosen pada Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

Selama bulan Maret ini penulis akan menuturkan kisah bagaimana dirinya terpapar Covid, dan bagaimana bisa sembuh dari Covid. Setiap hari akan ada satu kisah yang kami tampilkan. Ini bagian ke-4 dari tulisan bersambungnya.

Kemarin saya sudah bercerita tentang ketidaksiapan Pemerintah Amerika menghadapi Covid-19, karena konflik internal dan politik identitas yang menguat di era Trump. Saya menyaksikan ketidaksiapan ini juga di Gedung Supreme Court dan Capitol Hill.

Tanggal 10 Maret 2020 saya bersama Kaka Pendeta dan Pak Pendeta berangkat ke Washington DC. Di DC kami sudah ditunggu Bung dari Ambon yang sudah cukup lama hidup di DC. Kami bertemu persis di samping Gedung the Supreme Court, semacam Mahkamah Agung.

Karena sudah berdiri persis di samping Supreme Court, kami masuk saja ke dalam. Lihat-lihat sejarah Amerika Serikat di dalam Gedung Mahkamah Agung ini. Sama sekali tidak ada pemeriksaan suhu di dalam Gedung Supreme Court. Orang-orang di dalam gedung ini juga tidak menggunakan masker.

Dari Gedung Supreme Court, kami berjalan menuju Capitol Hill semacam Gedung DPR/Senat. Semua keputusan penting negara Amerika diputuskan di sana. Pada pusat politik Amerika Serikat ini, para politisi, pegawai dan pengunjung tidak menggunakan masker. Dari Capitol Hill, kami bergerak ke depan Gedung Putih. Sama ceritanya. Tidak ada yang pakai masker juga. Covid-19 belum dianggap ancaman serius bagi Amerika Serikat.

Tanggal 11 Maret saya berangkat ke New York. Saya sudah berencana jauh- jauh hari untuk naik bus saja. Perjalanan Boston-New York juga empat jam. Kadang-kadang kalau beruntung dan beli jauh-jauh hari bisa dapat tiket Mega Bus seharga $1. Kira-kira Rp. 14 ribu untuk perjalanan empat jam. Murah sekali. Saya sudah sering menggunakan Mega Bus ini selama kuliah di Amerika dulu. Jadi sudah cukup familiar dengan sistemnya. Waktu mau berangkat takut sekali rasanya. Ah Covid itu memang tidak kelihatan, tetapi menakutkan. Untung ada orang yang Tuhan kirim. Begitu pikir saya.

Screen Shot 2021 03 06 at 20.21.39
Gedung The Supreme Court, The United States of America.(Foto: Dok. Penulis)

Kebetulan tanggal 10 Maret malam saya diajak makan oleh Kaka Pendeta, Pak Pendeta dan satu Bung Pendeta Ambon yang sudah puluhan tahun hidup di Amerika. Saya ditraktir makan di restaurant Vietnam di sekitar Maryland. Pengunjung restaurant juga belum pakai masker. Termasuk kami. Masyarakat Amerika belum shock dengan pandemi ini. Saya berkenalan dengan Bung Pendeta yang ternyata lulusan kampus teologi di Yogyakarta itu.

“Kalau ale mau ke New York, nanti sama-sama beta saja. Kebetulan beta besok akan melayani pemakaman orang Ambon di Queen,” begitu kata Bung Pendeta. Ah senang sekali rasanya. Tidak perlu naik bus selama empat jam. Naik bus sich tidak apa-apa, hanya stres selama empat jam di bus karena takut Covid itu yang jadi masalah.

“Danke banyak Bung, beta ikut Bung Pendeta saja ke New York,” tanpa tunggu beliau berpikir, saya sambar saja. OK.

Tanggal 11 Maret subuh, jam 5, Bung Pendeta sudah menjemput saya di rumah Kaka Pendeta tadi. “Mobilnya keren sekali Bung Pendeta,” kata saya mobil buatan Jerman, baru, yang beliau kemudikan.

“Ini mobilnya Nona di rumah. Kalau beta seng bisa beli begini,” kata Bung Pendeta sambil menjelaskan ini mobil anaknya. Kami mampir dulu di toko 24 jam untuk beli kopi dan roti.

Tancap gas. Jalan-jalan di Amerika Serikat lebar dan gratis semua. Tidak perlu bayar tol, kecuali beberapa jembatan berbayar. Kami berhenti di sekitar Kota Philadelphia untuk menggunakan toilet. Kota ini sangat historik dalam Sejarah Amerika. Ini Ibu Kota pertama Amerika sebelum pindah ke Washington DC.

Philadelphia juga historis bagi saya. Pertama kali datang dengan beasiswa Fulbright tahun 2010 saya harus ambil program Pre-Academic selama hampir sebulan tinggal dan belajar di University of Pennsylvania di kota ini. Kali ini, saya berhenti di Philadelphia hanya untuk ikut “menyumbang air” di toilet.

Baca Juga:

 

Ketika menggunakan toilet saya sama sekali tidak berani menyentuh apapun. Kuatir sekali terinfeksi Covid. Jika terpaksa menyentuh sesuatu, saya harus menggunakan tisu atau toilet paper untuk melapis tangan saya. Setelah itu, cepat-cepat mencuci tangan dengan hand sanitizer. Setelah urusan toilet, kami langsung menuju New York. Masih pagi waktu itu.

Jam 9 pagi harusnya sudah terang, tetapi karena musim dingin, masih nampak sepi dan belum banyak sinar matahari. Bung Pendeta menurunkan saya persis di rumah keluarga keturunan Maluku yang sudah saya anggap keluarga di New York. Bung Orang Ambon yang lahir besar di Priok, Jakarta, dan Usi orang Halmahera Utara, lahir besar di Epiepi dekat Tobelo.

Saya pertama kenal dengan keluarga ini ketika presentasi paper di Cornell University tahun 2012. Waktu akan menuju Cornell, saya diajak Bung Jacky Manuputty, senior saya, untuk menghadiri penghargaan yang beliau terima di Tanembaum Center for Interreligious Dialogue. Waktu kuliah S2 di Hartford dulu Bung Jacky menjadi pendeta salah satu gereja Indonesia di New York. Pulang dari Cornell saya dan Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), sekarang ini, menginap di rumah Bung dan Usi tadi. Ada papeda dan ikan kua
kuning. Mewah sekali makanan ini di New York.

Screen Shot 2021 03 06 at 20.21.30 copy
Bagian dalam Capitol Hill, Washington DC.(Foto: Dok. Penulis)

Waktu saya mendapat beasiswa penulisan disertasi dari Harvard University dan harus pindah ke Cambridge, Boston, saya jadi lebih sering ke rumah Bung dan Usi ini. Biasanya memang datang untuk memimpin ibadah di beberapa gereja Indonesia di New York. Bagi mahasiswa di rantau seperti saya, undangan dari keluarga Indonesia itu sesuatu yang ditunggu-tunggu. Pasti bisa makan hidangan Indonesia dan pasti bisa ketawa-ketawa pakai Bahasa Indonesia. Tidak perlu pikir pakai grammar. Bung dan Usi ini keluarga saya di New York.

“Kunci di tempat biasa yah. Besok Bung dan Usi kerja pagi,” kata Bung dan Usi di unjung telpon sebelum saya berangkat dari Maryland. Saking dekatnya saya dengan keluarga ini, saya sudah tahu di mana tempat menyimpan kunci rumah. Pagi itu New York dingin sekali. Minus lima derajat. Menggigil kalau berdiri lama di luar. Saya ambil kunci, buka pintu dan tarik koper ke dalam rumah.

Setelah mandi, saya ambil laptop untuk mengecek kelas-kelas di UKSW dan UGM. Di UKSW dua kelas: Sosiologi Lintas Agama dan Teologi Virtual. Untung ada asisten matakuliah, Mor Mick Mordekhay Sopacoly dan Thea Winmann, dua mahasiswa S2 cerdas yang memimpin diskusi-diskusi kelas. Siang itu saya masih sempat mengikuti diskusi online lewat Zoom dengan kelas Sosiologi Lintas Agama di S2 Sosiologi Agama.

Kelas Interreligious Dialogue di UGM bersama Mbak Irma (saya menyebut nama Mbak Irma di tulisan ke-2) mulai diskusi-diskusi kelas lewat Group WA. Awal Maret itu memang belum banyak kampus yang menggunakan Zoom. Saya sendiri baru belajar Zoom dari sahabat saya Toar Sumakul. Kebetulan disertasi Toar tentang mengajar Bahasa Inggris menggunakan teknologi. Dia jago sekali dalam soal ini.

Ceritanya waktu berangkat, Januari 2020, meneliti di perbatasan Indonesia- Timor Leste bersama Bang Doktor Rama Tulus Pilakoannu dan Nyadu Doktor Wilson Therik, Tim Rotiklot Aubah, dari Pusat Studi Agama, Pluralisme dan Demokrasi (PusAPDem) UKSW, saya sempat memberikan kuliah pakai video call WA dari Bandara Surabaya. Foto dan narasinya saya post di media sosial. Toar langsung hubungi untuk menggunakan Zoom. Saya baru tahu pada bulan Januari itu kalau ada Zoom.

Selama di New York itu saya tidak pernah pergi ke pusat kota (downtown) karena Covid. Pada tulisan kedua saya sebutkan semua janji bertemu kolega di New York dan sekitarnya saya batalkan. Tahun-tahun sebelumnya jika berada di New York, saya pasti berusaha ke Cambridge, Boston, bertemu beberapa Profesor di Harvard University dan Boston University. Juga, pasti berkunjung ke bekas Apartment di Peabody Terrace dan kantor saya di Ash Center, Harvard Kennedy School.

Kereta bawah tanah, bus dan taksi online juga tidak aman. Covid mengunci saya di Big Apple, nama gaul untuk New York. Padahal, biasanya jika sedang berada di New York saya akan bertemu dengan teman-teman sekedar berbagi informasi penelitian dan kehidupan di Indonesia dan Amerika. Covid membuat jejaring-
jejaring sosial terganggu.

(bersambung hari Senin ya)


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button