Oleh: Izak YM Lattu
Pemerhati sosial budaya dan dosen pada Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
Selama Bulan Maret ini penulis akan menuturkan kisah bagaimana dirinya terpapar Covid, dan bagaimana bisa sembuh dari Covid. Setiap hari akan ada satu kisah yang kami tampilkan. Ini bagian ke-2 dari tulisannya.
Banyak sahabat dan saudara bertanya seperti itu? Malah Kakak saya bilang, “maniso mau terbang di tengah Covid.” Sebagian bercanda, “mungkin kaka suanggi jadi terbang di tengah Covid aman saja?” Mungkin ada banyak kenalan yang bertanya serius tapi tidak ditanyakan pada saya.
Hanya pertanyaan-pertanyaan baterek (bercanda) ini yang langsung ditanyakan ketika saya sembuh dan keluar dari ICU Covid-19 di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dokter Kariadi, Semarang. Saya belum menjawab waktu itu, jadi saya jawab saja sekarang dalam cerita ini.
Saya sudah berencana berangkat ke Amerika untuk memenuhi undangan dari Princeton sejak Agustus 2019. Ceritanya setelah mendengar presentasi paper saya pada Sesi Religion and Practical Hybridity pada Pertemuan Tahunan Asosiasi Sosiologi Agama (Association of The Sociology of Religion – ASR) 2019 di New York, teman dosen di Princeton mengundang saya untuk bicara pada seminar tahunan di Princeton.
Waktu itu saya bahkan tidak tahu teman ini adalah profesor di Princeton. Saya malah sempat minta beliau memotret saya waktu presentasi. Setelah tahu beliau profesor besar di Princeton saya jadi malu. Teman baru ini malah menawarkan menggali bagian yang disukai dari presentasi saya.
Princeton membayar tiket saya untuk bicara di Seminar tanggal 7-8 Maret 2020. Saya yang hanya remahan rempeyek ini diundang kampus besar itu. Senang sekali rasanya.
Dua hari sebelum kegiatan, tiba-tiba kegiatan dibatalkan karena pademi Covid-19. Sebelum tanggal 5, kampus-kampus masih optimis dengan kegiatan-kegiatan tatap muka. Bahkan tanggal 4 saya masih mengikuti kegiatan di University of Wisconsin, Madison.
Kepanikan nasional hanya dalam hitungan hari melanda negara super power ini. Kampus-kampus yang awalnya memperkirakan dampak pandemi tidak terlalu besar memengaruhi kegiatan akademik, harus lekas-lekas membatalkan semua kegiatan tatap muka. Perjalanan akademik ke Princeton batal.
Dian, ponakan saya, dan Rahul, tunangannya, ikut merasakan kekecewaan saya waktu itu. Seminar batal pada menit-menit terakhir (last minute). Sudah terbang berpuluh-puluh jam, eh seminar cancel. Padahal saya sudah berjanji bertemu dengan beberapa kolega pada seminar ini.
Motivasi paling utama saya menerima permintaan bicara di Seminar Princeton karena dalam forum yang sama, dua profesor besar di bidang teologi akan hadir. Kebetulan dua orang ini sangat mendorong disertasi saya diterbitkan menjadi buku. Mereka bahkan menguruskan sendiri. Sayangnya saya belum mengerjakan bagian yang harus ditambahkan. Semoga dalam tahun ini atau tahu depan bisa terbit.
Bagi akademisi peluang-peluang berjejaring dan belajar dari pada suhu ini tidak boleh dilepas. Lagipula, ketika menawarkan saya bicara di Princeton, teman yang mengajak ini sangat tertarik dengan konsep “Bali Jawa” (Kembali ke Jawa).
Bukan soal kembali ke Jawa, tetapi soal bagaimana identitas lokal menjadi landasan teologi dan religiousitas. Saya memang sangat tertarik meneliti masyarakat lokal dan mendorong nilai-nilai hidupnya dalam diskursus agama dan demokrasi.
Jadi tawaran ini pantang ditolak, malah bagai mendapat durian runtuh. Saking tertarik pada forum dan tawaran ini saya tetap berangkat ke Amerika tanggal 3 Maret malam. Padahal tanggal 2 Maret Indonesia baru mengumumkan terinfeksi Covid-19.
Baca juga: Berjalan dalam Bayang-bayang Covid-19
Mbak Irma (Fatimah Husein, PhD) dosen di UIN Sunan Kalijaga, senior sekaligus team teaching saya di matakuliah Interreligious Dialogue di CRCS UGM masih bertanya tanggal 2 Maret itu, “masih tetap mau ke Princeton?” saya tetap mantap berangkat.
Saya minta ijin berangkat dua minggu sambil berusaha mengikuti kuliah online kelas dari Amerika. Dari kampus tempat saya mengajar, saya minta ijin untuk kegiatan akademik selama dua minggu. Memang peraturan kampus saya, jika meninggalkan kampus dalam waktu lebih dari dua hari harus meminta ijin dari pimpinan tertinggi.
Kebetulan saya memang harus menindaklanjuti kerjasama dengan satu kampus di Kota Hartford yang Presiden (Rektor) kampusnya sudah pernah saya ajak menandatangani MoU di kampus tempa saya mengajar.
Sahabat saya Muhamad Adillah, mahasiswa PhD di kampus itu, juga sudah menunggu untuk rapat Editor Jurnal di kampus Kota Hartford itu. Saya diminta untuk menjadi Guest Editor bagi edisi khusus tentang Indonesia. Sekali jalan bicara di seminar dan rapat tim editor, begitu pikir saya. Rapat ini juga batal meski saya sudah berada di New York dan siap-siap menyeberang ke Hartford.
Dekat New York, di New Jersey, saya juga punya janji dengan teman salah satu professor sosiologi di negara bagian ini. Kami kebetulan sedang merancang beberapa workshop bersama. Sebelumnya, di tahun 2019, teman profesor ini pernah mengundang saya untuk bicara di New York University (NYU).
Setelah bicara tentang agama, demokrasi dan pluralisme pengalaman Indonesia di NYU ini, teman saya mengajak untuk bekerjasama dalam beberapa hal. Sekali jalan dengan undangan dan tiket dari Princeton saya pikir bisa menindaklanjuti diskusi kami di NYU. Rencana bertemu ini juga batal karena saya tidak berani naik kereta bawah tanah (subway) di New York akibat Covid ini.
Gereja-gereja di New York selalu menyediakan mimbarnya bagi saya melayani ketika sedang berada di Pantai Timur Amerika. Dua gereja Indonesia di sana ketika tahu saya akan berangkat ke Amerika sudah mengundang saya untuk berkhotbah.
Dua jemaat ini sudah seperti keluarga besar bagi saya. Sejak saya masih menulis disertasi di Harvard University, dua jemaat ini sudah menyediakan tiket bus pulang balik Boston-New York bagi saya. Jemaat-jemaat ini selalu terbuka menerima saya di rumah dan meja-meja makan mereka. Janji bertemu dan melayani juga membuat saya harus berangkat saja.
Tahu saya akan ke Amerika, gereja-gereja Indonesia di daerah sekitar Virginia dan Washington DC meminta saya bicara di dua seminar. Satu seminar tentang topik “Gereja dan Relasi dengan Agama Lain di Indonesia,” satu lagi topik tentang Teologi Virtual.
Topik pertama memang keahlian saya karena disertasi saya membahas tentang ini. Topik kedua memang bukan persis topik disertasi saya, tetapi salah satu bab disertasi saya berbicara tentang kekuatan imajinasi dalam relasi sosial.
Berbekal studi-studi imajinasi ini, saya mengembangkan satu matakuliah baru di fakultas tempat saya mengajar: Teologi Virtual. Matakuliah ini dimulai Januari 2020, dua bulan sebelum Indonesia secara formal terinfeksi Covid.
Jemaat di dua gereja ini sudah cukup antusias dengan topik-topik ini. Kebetulan di daerah Virginia dan DC ini yang mengajak adalah senior yang saya hormati. Saya tetap berangkat meski badai Covid mulai terasa kencang. Sekali jalan dapat melakukan beberapa kegiatan akademik dan pelayanan gereja.
Dengan kegiatan akademik, jejaring dan komitmen melayani di berbagai gereja ini saya terbang dalam bayang-bayang Covid. Banyak teman dan senior yang mengingat tetapi memang ketertarikan akademik ini sulit ditolak.
Seperti cerita sebelumnya, Retno, istri saya, melengkapi saya dengan semua peralatan. Mulai dari masker bedah, hand sanitizer dan obat-obat lengkap dalam tas kecil yang terus melekat pada tubuh saya. Protokol kesehatan penuh sudah saya ikut karena sadar bahwa Covid ini berbahaya. Ketertarikan akademik, jejaring dan komitmen-komitmen memang menjadi alasan kuat saya harus tetap terbang di tengah pandemi.
(bersambung besok ya)
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi