Oleh: Izak YM Lattu
Pemerhati sosial budaya dan dosen pada Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
Selama bulan Maret ini penulis akan menuturkan kisah bagaimana dirinya terpapar Covid, dan bagaimana bisa sembuh dari Covid. Setiap hari akan ada satu kisah yang kami tampilkan. Ini bagian ke-3 dari tulisan bersambungnya.
Perjalanan dari Madison menuju Chicago siang tanggal 7 Maret 2020 ini, berbeda dari perjalanan pada jalur yang sama di tahun-tahun sebelumnya. Belum semua orang menggunakan masker, tetapi sudah hampir sepertiga penumpang menutup wajah dengan masker.
Pesawat jenis bombardier yang saya tumpangi penuh, tidak ada satu kursi kosong. Saya duduk persis di dekat jendela. Di samping saya duduk pemuda kulit putih yang selama perjalanan tertidur. Kami tidak saling menyapa selama perjalanan.
Penumpang dari Madison ke Chicago lebih banyak didominasi orang-orang kulit putih. Maklum ini masuk Bible Belt, daerah dominan orang kulit putih Amerika. Saya berusaha untuk tidak tidur dalam perjalanan pendek 30 menit itu.
Sapanjang jalan mata saya tidak berpindah dari jendela memandang hamparan salju yang menutupi danau-danau kecil antara Madison dan Chicago. Berteman dengan pemandangan salju menolong saya mengalahkan rasa kuatir selama perjalanan kali ini.
Pesawat mendarat di O’Hare di Chicago, bandara ini tetap penuh seperti biasa, tetapi soal masker berbeda. Hanya dalam waktu tiga hari saya melihat pemandangan lain. Masker umum dipakai di bandara, tidak semua, tetapi sudah cukup banyak. Hand sanitizer mulai ditemukan pada pojok-pojok bandara.
Saya menunggu pesawat selanjutnya ke Baltimore. Biasanya jika menunggu pesawat di Bandara saya mencari tempat untuk membaca atau mengetik. Dua jam di Bandara O’Hare terasa sangat lama. Bandara berubah menjadi tempat menakutkan. Banyak orang berkumpul ini menjadi teror bagi saya. Padahal bandara menjadi tempat yang sebelumnya sangat akrab.
Baca Juga:
Selama kuliah S3 dulu, untuk menghemat biaya ketika mengikuti konferensi akademik, saya sering tidur di bandara. Cari pesawat paling malam. Tidur di kursi atau lantai bandara. Pagi hari nyari teh atau kopi lalu naik bus atau kereta menuju tempat konferensi. Hemat, yang penting ide penelitian bisa dipresentasikan dan mendapat masukan dari peserta seminar. Namun, kali ini bandara tidak bersahabat dan menakutkan.
Selama di bandara ini masker tetap melekat di wajah saja, hand sanitizer tetap akrab dengan jari-jari saya. “Jangan pernah buka masker, kecuali makan,” kata Retno ketika melepaskan saya dari Bandara Semarang waktu itu.
Saya berusaha tidak makan dan minum sama sekali di Bandara. Padahal saya suka sekali minum Chai Tea Late yang biasa dijual pada sebuah warung kopi modern di bandara-bandara. Chai tea late ini minuman campuran teh dan rempah-rempat: cengkeh, jahe dan lain-lain. Rempah berbeda-beda itu jika diramu dengan baik dapat
menghasilkan minuman yang enak. Demi keselamatan saya tidak berani menyentuh
minuman favorit ini di Bandara O’Hare.
Pesawat berangkat menuju Baltimore sore itu. Kali ini saya duduk di dekat lorong. Di samping saya duduk dua orang lain yang sepanjang jalan tidak pernah bicara satu katapun. Pesawat Boing 737-900 berpenumpang lebih dari 100 orang itu penuh.
Berbeda dengan jalur Madison-Chicago yang penuh dengan orang kulit putih, Chicago-Baltimore, penumpang lebih beragam. Sudah banyak orang kulit berwarna seperti saya. Beberapa penumpang Asia dengan jenis kulit berbeda dari saya terlihat ikut dalam pesawat ini. Baltimore adalah salah satu Bandara yang dekat dengan Washington DC, Maryland, Virginia dan negara-negara bagian lain di DC raya ini.
Pesawat sampai di Baltimore jam sembilan malam. Baltimore tidak sedingin Madison dan Chicago. Sarung tangan dan penutup telinga saya lepaskan. Masker tetap menutup hidung dan mulut rapat. Hand sanitizer tidak pernah jauh dari tangan.
Saya berhenti sebenar di toilet Bandara. Selama di pesawat, saya tidak berani menggunakan toilet. Beranjak dari tempat duduk saja rasanya berat sekali karena kuatir Covid ini. Ketika menggunakan toilet bandara saya sama sekali tidak menyentuh apapun, Kebetulan toiletnya bisa menggunakan sensor jadi bisa menyiram sendiri. Aman. Saya berjalan keluar ke arah tempat penjemputan.
Senior saya sudah menunggu di sana. Beliau pendeta Indonesia yang sudah lebih dari 10 tahun tinggal di Amerika. Bersama anaknya, senior ini menjemput saya di malam itu. Perjalanan dari bandara ke rumah Kaka Pendeta ini hampir dua jam.
Melewati jalan tol yang tidak berbayar sama sekali. Kami bercerita banyak tentang Indonesia, tentang pelayanannya di Amerika. Tiba di rumah Kaka Pendeta ini, sudah cukup malam, hampir jam 11 malam. Lelah karena perjalanan, tetapi lebih lelah karena kekuatiran sepanjang jalan. Covid ini menguras pikiran.
Saya tinggal di rumah Kaka Pendeta ini selama beberapa hari. Tanggal 8 Maret saya memimpin ibadah dalam bentuk seminar di salah satu gereja Indonesia di Virginia. Tidak ada salaman setelah ibadah, hanya salam sikut. Jemaat yang hadir sekitar 20 orang waktu itu. Saya dijemput pendeta gereja itu yang bekerja sebagai Pendeta tetapi juga pengantar pizza. Beliau bekerja supaya jemaat tidak terbebani.
Saya bertemu dengan banyak orang Indonesia yang terpakasa berkendaraan berjam-jam untuk mengikuti ibadah dalam Bahasa Indonesia. Covid belum menghalangi kerinduan mereka pada ibadah di gereja Indonesia.
Bagi orang Indonesia yang tidak bisa pulang ke Indonesia, rumah ibadah, termasuk gereja adalah rumah. Karena banyak alasan orang tidak bisa pulang ke Indonesia, tetapi mereka ingin pulang. Pulang tidak harus dengan pesawat karena pulang adalah rasa, merasa diterima secara nyaman. Gereja menjadi tempat pulang karena bisa bertemu orang Indonesia, berbicara Bahasa Indonesia, mengikuti liturgi Indonesia, dengan Khotbah Bahasa Indonesia dan makan hidangan Indonesia.
Pulang dalam sapaan, pulang dalam nyanyian, pulang dalam nasihat dan pulang dalam gurihnya makanan. Hari itu makanan tidak disediakan, mengantisipasi Covid kata Pak Pendeta.
Senin, tanggal 9 Maret pagi, kami masih mengunjungi kampus Weslyan tempat Kaka Pendeta biasa meminjam buku. Di kampus ini saya disambut teman muda dari Indonesia yang sedang melanjutkan kuliah di sana. Sahabat cerdas yang ikut bekerja di kampus supaya bisa terus belajar di sana.
Saya jadi ingat pengalaman ikut mencuci piring di restaurant Indonesia di Berkeley, California. Setelah belajar di perpustakaan, pulang ganti baju, cuci piring sampai jam 11 malam. Meski hanya bertahan dua minggu karena sakit dan harus persiapan paper untuk American Academy of Religion (AAR 2012). Sahabat ini luar biasa. Kampus Weslyan ini seperti kampus-kampus lain, sampai tanggal 9 Maret itu belum mengenal kebijakan masker di perpustakaan dan ruang-ruang kuliah.
Tanggal 9 Maret malam, seminar Teologi Virtual. Orang Indonesia dari Virginia, Maryland, Washington DC dan bebeberapa negara bagian lain. Saya tidak ingat semua asal mereka. Belum banyak yang menggunakan masker waktu itu.
Seminar berlangsung selama 90 menit. Banyak pertanyaan terutama tentang berdoa di media sosial termasuk Facebook. “Apakah Tuhan memahami doa saya di Facebook? Apakah Tuhan memahami bahasa data? Kalau begitu beda Tuhan dan Mark Zuckerberg?” tanya beberapa warga jemaat.
Menarik pertanyaan-pertanyaannya. Seorang dokter dari Maluku yang sudah sangat lama melayani di Papua hadir di diskusi ini. Jantung beliau sudah pernah dioperasi, sangat bahaya jika terinfeksi Covid. Waktu itu belum banyak informasi tentang penyakit bawaan dan ganasnya Covid bagi orang dengan penyakit bawaan. Informasi dari pemerintah Amerika tidak jelas waktu itu.
Pemerintah Amerika waktu itu sedang sibuk dengan konflik Partai Demokrat dan Republikan. Perhatian Trump sedang tertuju pada konflik internal. Beberapa kali Trump memberikan pernyataan tentang Covid tetapi lebih banyak aspek rasismenya. Menyebut Covid sebagai virus China dan menyalahkan pemerintah China. Pola ini diikuti banyak pengikutnya. Orang Amerika yang berasal dari keturunan China, Korea, Jepang dan beberapa orang Indonesia yang berkulit kuning dan bermata agak sipit menjadi korban rasisme di ruang publik.
“Jangan bawah virus ke negara kami,” atau “Orang-orang pembawa virus” adalah kekerasan kata-kata yang sering didengar waktu itu. Bahkan beberapa orang dipukul di ruang publik hanya karena terlihat seperti orang China.
Virus dipolitisasi oleh para pengambil kebijakan. Dampaknya, Amerika tidak siap menghadapi Covid-19. Angka orang terinfeksi begitu tinggi. Banyak orang tua di rumah-rumah pensiun (retirement home) meninggal karena Covid. Politik identitas, rasisme dan penggunakan agama sebagai legitimasi menjadi alasan, antara lain, lemahnya Pemerintah Amerika menangani Covid. Virus ini sendiri sudah sangat mematikan, politisasi membuatkan menjadi alat pembunuh yang sangat efektif.
(bersambung besok yah)
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi